Hantu di Bantul Curhat, Dampak PPKM Memang Menyeramkan

Hantu di Bantul Curhat, Dampak PPKM Memang Menyeramkan

Pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 diperpanjang hingga Senin 2 Agustus 2021. Kebijakan ini ternyata bukan hanya berimbas pada manusia, tapi juga mahluk tak kasat mata atau hantu.

Mulai dari hantu yang merasa gabut karena sepinya manusia yang melintasi jalan sunyi Imogiri di atas pukul sebelas malam sampai hantu sekolah yang bingung mau gangguin siapa, Mojok.co “ngobrol” dengan para demit di Bantul Yogyakarta yang terkena dampak PPKM Level 4.

***

“Motor saya terasa berat ketika melintasi jalan Imogiri Timur, setelah perempatan Jejeran menuju Makam Raja-raja Imogiri. Tujuan saya bukan Wukirsari. Setelah bersua dengan patung kuda, alih-alih ambil kiri menuju Makam Raja-raja, saya belok ke kanan menuju Siluk,” kata Ganang (23) dengan suara berat saat bercerita ke saya.

Menurut Ganang, Jalan Imogiri Timur saat itu nampak lengang dan panjang. Saat itu penerangan masih amat gelap, menuju area Kajor pada pukul sepuluh setara dengan menantang maut. Naik motor di jalan sepi, malam hari, dan sunyi, rasanya lehernya sedang disebul-sebul oleh angin yang pating sembribit.

“Motor saya tiba-tiba uglik-uglik gitu, Mas. Pikir saya, paling juga motor matik tua kecapekan karena saya gunakan dari area Babarsari, Sleman, di mana kampus saya berada. Makin lama dirasa, ketika saya ambil jalan desa menuju Kajor, bukan hanya berat, kok ya ditambah tercium aroma melati yang begitu kuat. Begitu pekat.

“Saya ambil jalan kecil di antara sawah. Jalan itu, adalah jalan paling cepat menuju rumah. Suara burung hantu seperti sambutan kurang enak ketika saya melewati jalan kecil itu. Apalagi aroma melati yang bikin kepengin muntah.

“Saya akhirnya memutuskan untuk melihat spion, dan…. Bajingan! Begitu kata-kata yang saya ucap alih-alih nyebut atau berdoa. Ada mas-mas hadap samping yang sedang nangkring di motor saya. Ia memakai beskap rapi khas kusir delman.

“Saya gas makin banter motor itu. Tiba-tiba bapak-bapak muka pucat dan memakai beskap berkata, Ha kok jadi ngebut, Mas?” Ganang mulai mengendurkan suaranya. Nampak menjadi jauh.

“Lalu, Mas?” pancing saya.

“Dengan pikiran yang cunthel, saya menjawab, nggih, mas, lagi kepising (ang artinya iya, pak, lagi kebelet). Lalu…”

Tiba-tiba jaringan telepon kami tersendat. Notifikasi mengatakan bahwa telpon kami menyambungkan ulang. “Mas?” tanya saya dengan perhatian seperti seorang lelaki yang menanti sahutan dari pacarnya di seberang sana.

“Mas? Oh, iya, sudah tersambung…” katanya. Lantas Ganang melanjutkan, “Lantas sosok itu memegang gulu saya dan betapa dinginnya tangan sosok itu. Di telinga saya, terdengar lonceng delman. Sayup-sayup, sosok itu berkata, tenan e? Sedang kepising opo wis ngerti nek aku demit?”

Hantu beskap yang nggak bisa nakuti orang karena PPKM

“Ketika dia bilang lagi kebelet atau sudah tahu bahwa ia hantu, aku njrantal jatuhkan motor. Geger satu desa. Ternyata, bukan hanya saya saja yang diprimpeni,” begitu cerita Ganang ketika dijumpai via telepon. Memang, hantu beskap amat terkenal dan jadi desas-desus di desanya.

Lelaki yang menempuh studi di salah satu kampus swasta favorit ini mengakui bahwa nggak hanya dirinya saja yang diprimpeni. “Hampir anak-anak di sini yang pulang malam, pasti melihat atau digangguin sama hantu beskap,” terangnya.

Saya mengajak Kipli (26) dan nama ini tentu saja bukan nama sebenarnya. Seorang anak yang mendaku indigo dengan catatan pernah menangani enam kasus kesurupan yang berakhir menggelikan. “Soalnya saya juga ikut kesurupan,” katanya ketika janjian via chat dan tentu saja saya balas dengan kata-kata pujian walau dalam hati ngguyu cekakakan.

Ia mendaku indigo sejak SD. “Saat itu kelas dua SD, saya pindahan dari Sleman. Di kelas hanya ada enam orang, padahal saya melihatnya ratusan. Ada yang sedang merayap di langit-langit ruangan, ada juga yang sedang hilir mudik nembus tembok.”

Kipli saya ajak motoran dari Banguntapan menuju Imogiri pada Minggu (25/07). Saya berkata, ada hantu yang sering gangguin dan apakah ia bisa melihatnya. “Hantu Beskap? Kayaknya familiar di area Jogja Utara, kasusnya mendiang para leluhur dan nggak mungkin ganggu,” katanya.

Jam menunjukan pukul satu. Hari sudah berganti dan bulu kuduk saya tentu saja meremang sejak tadi. Walau sering liputan horor, jelas saya ini jirih setengah mati. Setelah diberikan lokasi pasti oleh Ganang, saya dan Kipli bergegas menuju lokasi.

“Kekuatannya besar sekali. Dulu di sini ada kecelakaan delman. Delman masuk ke area sawah dan kepala kusirnya terbentur batu,” katanya. Sedang saya sibuk pura-pura main ponsel dan mencatat apa yang ia katakan, padahal ya sedang keweden semisal hantu beskap tiba-tiba muncul.

“Mau nanya apa, Mas?” tanya Kipli.

“Coba tanya, Mas, hantu beskap kan sering gangguin orang ketika malam, nah pas PPKM begini, ketika seluruh akses dibatasi sampai jam 8 malam, apakah blio nggak kesepian karena nggak ada warga yang lewat ketika malam? Kan otomatis nggak ada yang bisa blio gangguin?” kata saya disambut oleh pisuhan dari Kipli. 

“Lho, aku serius, Mas,” kata saya berbisik.

Setelah menghembuskan napas panjang dan tangannya terus mengawang ke sebuah pohon besar samping persawahan, Kipli berkata, “Sejak pandemi terlebih PPKM, jarang ada warga desa yang pulang malam. Hantu Beskap jarang dapat mangsa untuk diusili.”

Kurang puas dengan jawabannya, saya kembali bertanya, kenapa target Hantu Beskap kebanyakan para remaja dan anak kecil. Kipli bagai translator antara dunia astral dan dunia nyata pun berkata, “Karena para orang tua sudah kebal dan merasa nggak takut lagi. Hantu ini sudah lama, lama sekali. Sekitar medio 2010an.”

Sejak pandemi, anak-anak yang kuliah di Kajor memang menjalankan studi daring. Ada pula yang ngekos lantaran di sebagian area desa, sinyal masih ndlap-ndlup.

Genderuwo, ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co
Genderuwo, ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co

“Sebenarnya Hantu Beskap nggak jahat, hanya usil saja. Maklum, ketika terjerembab ke sawah, blio ini masih usia belasan tahun. Ia pulang dari kota dengan harapan dapat uang lebih dari hasil delman. Namun nahas, ia kelelahan dan kehilangan fokus,” tambah Kipli.

Kusir itu bertujuan ngajak main para pemuda atau anak-anak yang melintas, namun yang ada justru ia menakuti para pemuda desa. Selama PPKM Level 4 ini, ia kehilangan kawan untuk diajak main. “Blio ini gabut,” kata Kipli. Sepinya jalan jadi sesuatu yang menyeramkan bagi Hantu Beskap karena nggak ada yang diusili.

Tiba-tiba angin mak serrrr menerjang kami. Leher saya seperti sedang dibelai oleh seseorang dari belakang. Jelas saya merinding sekaligus meremang. Apalagi Imogiri ketika malam bagai petala langit yang merindukan cahaya. Benar saja…. Tiba-tiba terdengar suara lonceng khas delman.

“Ada berita baik dan buruk,” kata Kipli. 

“Berita buruknya udara di sini makin dingin. Aku nggak pakai jaket. Nah, berita baiknya, Hantu Beskap sudah menemukan kawan mainnya,” setelah Kipli berkata seperti itu, ia memutuskan untuk pulang dengan keadaan kaki ngewel.

Kuntilanak di sekolah bingung mau nakutin siapa karena pelajaran daring

Dinas Pendidikan DIY dalam surat edaran nomor 800/0734 melaporkan bahwa menengok keadaan belum memungkinkan, maka pembelajaran jenjang SMA dilaksanakan dengan model pembelajaran di rumah atau online.

Dalam surat edaran tersebut melanjutkan, apabila terdapat kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan dengan tatap muka khususnya jenjang SMA, maka pelaksanaannya harus menggunakan Prosedur Operasional Standar (POS) dan dilakukan setelah PPKM dicabut.

“Sepi sekali. Kadang hanya ada yang Pramuka itu pun hanya sampai sore dan hanya panitia saja, bukan seluruh siswa satu sekolahan,” kata penjaga salah satu sekolah angker di Bantul. Blio melanjutkan, suasana suwung di sekolah ini makin terasa ketika malam hari.

Bersama Kipli pada pagi dini hari, sekitar pukul tiga setelah kami beranjak dari daerah Imogiri, kami mengitari pagar sekolah tersebut. Samping adalah sungai kosong, sedang bagian belakang sekolah beririsan langsung dengan kebun ketela.

Embun-embun membuat badan saya menjadi basah. Sedang udara makin dingin saja. Kipli di depan, sedang saya mengikuti. Katanya, walau kami mengitari di luar pagar, kekuatan spiritual sekolah ini begitu kuat. Ada sosok kuntilanak merah, pocong gendut, dan juga beberapa genderuwo besar.

“Mereka suka sepi. Sejatinya selama pandemi, mereka lebih nyaman dengan kondisi suwung seperti ini,” katanya.

Dikonfirmasi ke salah satu guru, sekolah ini memang sudah “ditinggalkan” sejak pemerintah menetapkan PSBB yang pertama. “Kami ikut aturan dari Provinsi. Keselamatan siswa nomer satu. Soalnya, walau yang ke sekolah hanya guru, penularan Covid-19 tetap ganas.”

Guru yang baru saja melaksanakan isoman dan baru saja sembuh dari Covid-19 ini menuturkan bahwa nggak pernah merasakan hal-hal yang gaib. “Pernah dari pagi sampai sore saya di sini sendirian dan aman-aman aja. Walau suara-suara seperti keran, benda jatuh, dan suara lirih acap kali terdengar.”

“Saya rasa itu wajar aja,” tutupnya.

Sedang Kipli berkata bahwa para hantu memang ada yang menikmati kondisi suwung seperti ini, namun ada juga yang gabut dan bingung mau gangguin siapa. “Biasanya di sekolah ini siswa berkegiatan sampai malam. Ada yang teater, rapat OSIS, dan lainnya. Ada hantu yang sering godain mereka dan ketika para siswa sekolah daring, hantu ini muring-muring.”

Saya menghubungi salah satu siswa yang pernah kesurupan di sekolah ini. Sebuat saja Bima. Katanya, penghujung sore dan raibnya matahari dari ufuk barat, suasana di sekolah ini sudah nggak enak sama sekali. “Waktu itu aku sedang kukut Pramuka, ndilalah dari belakang seperti ada yang nyebul dan ketika sadar badanku udah lemes sekali.”

Kipli berkata bahwa itu adalah gangguan spirit dari kuntilanak yang usil di sekolah ini. “Ada kuntilanak yang tenang, ada juga yang begajulan. Kuntilanak ini biasanya menjilati pembalut bekas para siswi ketika pergantian pelajaran olahraga. Sekolah daring membuat asupan mereka berkurang drastis.”

Informasi tambahan dari Bima pun seakan memperkuat. Katanya, “Salah satu kawan ada yang masih aktif mengurus Pramuka. Beberapa bulan yang lalu, ketika ia ke sekolah dan pulang malam, ia mendengar ada suara perempuan menangis di dekat kamar mandi perempuan.”

Saya dan Kipli mengitari sekolah ini sampai jam menunjukkan pukul empat. Doa-doa menyambut Azan Subuh pun bersahut-sahutan. Dan ketika hati saya mulai lega, Kipli justru berkata, “Kita diikuti, Gus.”

Bajingaaaan. Hanya kata itu yang saya pikirkan dari sekian juta kata yang baik untuk menenangkan hati dan pikiran. Saya clingak dan clinguk, nggak ada sosok putih berambut panjang seperti yang digambarkan.

Jantung saya seperti habis main roller-coaster—padahal seumur hidup belum pernah main itu—saat ada seberkas sinar menerangi tubuh saya dan Kipli. Kami disenteri oleh sosok besar garang, dengan wajah yang samar.  

“Nyolong telo yo!” Ini sih urusannya lebih geger ketimbang ketemu demit.

Hantu yang bingung karena lampu Ring Road dimatikan

Banyak cerita lucu yang tersaji perihal hantu dan PPKM. Selain dua kisah di atas, ada pula hantu yang kebingungan karena lampu di jalanan Ring Road dimatikan. Kata Kipli, mereka bingung kok ya manusia bisa berbuat hal yang lebih menyeramkan ketimbang perbuatan demit. Arti menyeramkan di sini, tentu saja merujuk kepada betapa berbahayanya lampu jalan yang dimatikan ketika malam.

Pun ada pula hantu di kafe angker yang ikutan duduk merenung karena saking sepinya kafe tersebut. “Lha kalau sepi begitu, mau gangguin barista juga percuma lha mereka sudah kebal dengan gangguan-gangguan hantu itu,” katanya.

Ia banyak bercakap perihal dunia perdemitan dan PPKM. Sambil cekikikan dalam perjalanan pergi, maupun pulang, ia sempatkan untuk guyon yang menurut saya pribadi masuk kategori gelap. “Lampor di Jawa Timur itu isyarat kepada pemerintah, ketika ambulans sudah kelimpungan, keranda terbang turun tangan.”

Kipli bercerita banyak perihal kebijakan PPKM yang tentu saja saya nggak menulis di sini. Edan po, UU ITE jhe, buos. Yang jelas, kita tunggu saja, apakah PPKM akan diperpanjang atau tidak. Kalau iya, hantu-hantu tentu akan masih terus terdampak. 

“Hantu itu nggak serem kok, Gus. Justru manusia yang melahirkan kebijakan buruk di saat pandemi ini yang lebih serem,” kata Kipli. Saya hanya manggut-manggut. Menyetujui sekaligus enggak menyetujui.

Saya setuju karena kebijakan pemerintah itu memang menyeramkan. Namun, saya nggak setuju ketika Kipli berkata hantu itu nggak serem. Nggak serem apanya, lha wong pas angin sembribit di Imogiri saja blio langsung ngibrit dan ngajak pulang.

 

BACA JUGA  Menelusuri Jejak Suster Yani: Penghuni Sekolah Angker Bekas Rumah Sakit dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version