Di Temanggung, tembakau membuat petani-petaninya bisa naik haji. Rata-rata mereka yang memilih meniatkan hasil panen tembakau untuk berangkat haji adalah golongan dari kelompok yang mempunyai manajemen keuangan bagus dan tentunya seneng ngaji.
***
1985. Genderang musim tanam di Temanggung baru mulai ditalu. Jalanan desa masih terselimuti halimun, tapi pagi sudah berpeluh keringat petani. Pada pagi yang tenang itu, seorang lelaki bernama Pono sedang mencangkul, mengatur dan mengelola humus tanah sawah agar bisa ditanami buncis di daerah Jaranan, Tembarak, Temanggung, Jawa Tengah.
Pono terpaksa jadi buruh pacul saat hati kecil lebih lantang memanggilnya sebagai petani tembakau. Ada dua pasal yang membuat hati kecil itu muncul di permukaan, pertama, ciut nyali mengukur kekuatan tubuhnya “opo toh kuat lambunge aku iki” kalau jadi buruh pacul. Kedua, orang tua Pono adalah perajin ahli tembakau, karena itu tembakau adalah bagian dari DNA hidupnya. Nggetih.
Di penghujung abad ke-19 kuantitas produksi tanaman tembakau di Indonesia menunjukkan perkembangan yang berarti, di masa itu orang-orang pribumi sudah mulai menguasai sektor budidaya dan pengolahan tembakau. Sartono Kartodirdjo (1991) menandai antara 1871 hingga 1913, jumlah perkebunan tembakau di Jawa dan Sumatera meningkat pesat dan berhasil menempatkan tembakau sebagai komoditas yang menonjol di bawah gula dan kopi. Sayang, perkembangan ini identik dengan geliat Kolonial Belanda dalam memberlakukan sistem tanam paksa yang sangat menyiksa.
Semua kabar itu mengilhami Pono. Jiwanya kian berontak jika menjadi buruh pacul. Tapi jikalau dia tidak memulainya dari buruh pacul, kisah hidupnya mungkin akan lain lagi. Di masa jadi buruh pacul itu, Pono yang bersikeras mengajak tubuhnya untuk hadir ketika menanam buncis itu, tiba-tiba didatangi kakaknya.
“Nanti jam 9, main ke rumahku”, kata kakaknya lugas.
“Ha ngopo to?,” tanya Pono heran.
“Tak ajari coro nandur mbako!”
Senyum Pono mengembang.
Pono tidak pernah lupa ‘hari pentasbihan’ itu. Saking gembira dan senangnya, dia tak henti-hentinya merapal mantra “matur nuwun.. matur nuwun” di hadapan kakaknya yang lebih dulu sepuluh tahun menggeluti dunia budidaya tembakau.
Di tangan kakaknya, Pono muda menyerap banyak pengetahuan ihwal budidaya tembakau. Pono mulai menyelami ilmu tembakau dari hulu ke hilir. Dia memulai dari mengantar hasil panen ke tengkulak, ngopeni tembakau, sampai bagaimana cara menjadi grader tembakau.
Pono yang sedari lulus Pendidikan Guru Agama (PGA) sudah dipesan orang tuanya untuk mencari penghasilan sendiri itu, selain buruh pacul, Pono pernah menjajal peruntungan sebagai kernet bus, tukang ojek hingga pedagang rokok asongan di pasar. Kemudian, laku hidupnya berubah sewaktu menekuni tembakau pada tahun 1985.
Pono tidak pernah lupa ‘hari pentasbihan’ itu. Hari yang membulatkan tekadnya untuk pertama-tama mengenal dirinya sebagai manusia berdarah Temanggung, “Disebut sebagai orang Temanggung itu, mau tidak mau tetap harus bertani tembakau,” katanya. Kemudian mengenal Tuhan-Nya sebagai Dzat yang maha memberi jalan keberhasilannya selama bertani tembakau.
Islam sebagaimana dipraktikkan
- Belum semenit saya merasakan empuk sofa di rumahnya, Haji Pono (59)—berpakaian serba putih, dari ujung kaki hingga ujung kepala itu—berpamitan.
“Sebentar ya, saya mau menemani anak-anak tadarus di langgar dulu.”
“Oh nggih, Pak. Sehari berapa juz, Pak?”
“Tidak tentu. Yang penting kita itu maju, toh”, tutur Haji Pono menasehati. “Saitik-saitik seng penting ono obah e,” lanjut Haji Pono yang berjalan keluar ruangan.
Tampak foto Masjidil Haram, Haji Pono sekeluarga di Mekah serta potret kiai dan ulama menjadi hiasan dinding yang menumpuk di ruang tamu. Di dalam ruangan berbentuk persegi panjang sisa keangkuhan meneer di lereng Gunung Sumbing itu, hawa sejuk hilir-mudik berhembus dari jendela kuno dan pintu utama yang menjulang setinggi dua meter. Suguhan kopi dan air hangat menambah hangat dan nikmat sambungrasa malam itu. Satu hal yang membuat lingkungan itu terasa lebih akrab adalah iringan umak-umik lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari langgar.
Tak berselang lama, Bu Hajah Pono yang masih mengenakan mukena masuk rumah, dengan ramah menyapa kami. Saya menduga, dia perempuan terakhir yang keluar dari langgar sehabis tarawih.
Menjadi penghuni di dua rumah dari sedikit rumah tua di dusun itu melengkapi personifikasi Haji Pono sebagai petani tembakau yang jaya. “Pokoknya, kalau belum haji itu, seakan-akan belum bisa benar-benar disebut sebagai pedagang tembakau. Belum benar-benar menjadi juragan,” kata Luthfi (31) anak Haji Pono yang menemani kami selagi Haji Pono tidak ada.
Luthfi menta’kid jawaban mengapa haji kemudian menjadi tren para petani tembakau. “Rata-rata juragan di sini (Tembarak-red), sudah haji semua. Nah, hal itu yang mengangkat pamor haji, makanya sekarang orang-orang daerah sini senang haji.”
Ziarah makam nabi adalah suatu ekspresi kultural, atau lebih tepat ekspresi tradisional yang berasal dari ideologi keagamaan. Secara sosiologis, simbol ‘haji’ mempunyai garis tegas dalam mendongkrak pamor seseorang, baik secara ekonomi maupun sosial. Dalam konteks petani tembakau, gelar haji memberi daya tarik kepada seseorang yang, dinilai mampu dan kuat secara finansial—karena memiliki lahan berhektare-hektare dan memiliki keahlian dalam manajemen keuangan, subsidi silang.
Selain itu, haji menjadi semacam label sosial yang mempertegas apa yang disebut Robert Jay (1969) sebagai rank atau lapisan sosial seseorang dalam kelas sosial masyarakat tertentu. Naik kasta menjadi orang kaya baru.
“Lho kok sudah, Pak?”
“Ha wis tho. Ngapain lama-lama. Aku salat aja jarang-jarang kok,” seloroh Haji Pono disambut gelak tawa.
Sekembalinya dari langgar, Haji Pono menanggalkan atribut baju koko dan peci putihnya. Hanya kaos oblong biru dan sarung putih yang melekat di tubuhnya. Meski sudah berumur, cara jalannya masih begitu tegap. Sembari menikmati lintingan tembakau Lamsi, asap yang tersembul dari mulutnya menandai kehadirannya, menyambungrasa malam itu.
Haji Pono dengan sangat hati-hati seperti tidak ingin ke-haji-annya dianggap berlebihan. Faktor yang membuat orang bisa berangkat ke tanah suci sangat beragam. Maka sebagian kelompok muslim taat kemudian menyebut haji itu sebagai sebuah ‘panggilan’.
“Temanggung, kalau (penjualan) tembakau bagus, ya banyak yang haji. Bagi yang sadar. Tapi saya sendiri ya tidak tahu. Meskipun saya sudah haji. Saya sendiri masih banyak kekurangannya,” terang Haji Pono dengan rendah hati.
Dari jawaban itu, ada frasa menarik, yaitu frasa “bagi yang sadar”. Secara tersirat, frasa ini memperlihatkan ragam latar belakang biografis para petani tembakau. Menurut Haji Pono rata-rata mereka yang memilih meniatkan hasil panen tembakau untuk berangkat haji adalah golongan dari kelompok yang mempunyai manajemen keuangan bagus dan tentunya seneng ngaji.
Kalau dua hal itu tidak ada, mereka cenderung mentasarufkan hasil panennya untuk membeli, misalnya mobil, motor, rumah sampai barang-barang yang sama sekali tidak penting. Tapi purbasangka ini relatif, tergantung preferensi kebutuhan petani pada satu tahun tertentu.
Haji Pono beserta istri naik haji pada tahun 2009,“Ha lagi untung kok,” jawab Haji Pono ringkas ketika saya tanya alasannya berangkat haji. Keuntungan ini, selaras dengan keuntungan yang diperoleh petani-petani pada umumnya saat musim panen tiba, serta ditopang oleh sikap hemat; gemar menabung dan tak lupa diniatkan untuk dipakai haji. “Jaluk sangu nang Gusti Allah, wis ngono ae.”
Menurut riwayat Haji Pono, pada beberapa tahun silam kisaran tahun 2010-2011 saat musim panen tembakau tiba dan dapat “untung yang lebih” hampir seluruh petani tembakau di Desa Katekan Temanggung bisa naik haji. “Untung yang lebih” ini sekaligus menunjukkan bahwasannya tembakau merupakan kelompok pertanian yang masuk dalam wilayah ekonomi produktif.
Banyak usaha yang dilakukan untuk bisa pergi haji. Setahun sebelum ziarah ke Tanah Suci, Haji Pono mendapat kesempatan menunaikan ibadah umroh. Dia berkisah mengenai tangisannya yang mengiringi rapalan doa yang dia panjatkan di antara Roudhoh dan Multazam, “Ya Allah, Gusti, jangan lama-lama. Kalau ada rezeki, saya dan istri akan ke sini lagi,” kenang Haji Pono.
Pada zaman itu, kursi haji dapat dipesan oleh calon jemaah dengan mahar sebesar dua puluh juta lima ratus ribu rupiah. Sementara Haji Pono baru menabung lima juta rupiah. Dengan niat dan tekad bulat, ditambah pada tahun itu sedang musim mbako, ia percaya kekurangan itu akan segera tercukupi.
Benar saja, suatu hari, dia meminta dungo restu kepada istri kakaknya kalau hendak berangkat haji. Dia cerita jika sudah menabung lima juta rupiah di bank sebagai uang muka. Dalam hati hanya berniat meminta doa, tapi yang didapat ada doa dalam arti sangu. Tak dinyana, Haji Pono mendapat pinjaman uang dari kakaknya sejumlah yang bisa dipakai untuk melunasi ongkos mendapat kursi.
“Besok, hasil penjualan mbako-mu selama satu musim ini bisa mencukupi-(hutang)-ku, bahkan masih ada sisa,” titah istri kakaknya mantap.
Titah itu terbukti ampuh. “Beneran. Ketika panen tembakau, jebret, saya mendulang rezeki yang sama sekali belum pernah saya peroleh. Ya bisa mencukupi biaya haji (40 juta). Bisa buat uang sekolah anak-anak. Coba lihat, bagaimana cara Allah memberi kita sangu. Gusti Allah nyangoni aku. Ngono iku Allah”. Tanpa menafikan keajaiban itu, usaha Haji Pono mengajarkan, pada dasarnya pergi haji tidak bisa dilepaskan dari perhitungan ekonomi.
Hitam-putih tembakau
Wajah tembakau dalam imajinasi populer begitu harum dan manis, tetapi begitu mak-deg dan sengir bagi masyarakat Temanggung sendiri.
Banyak petani yang belakangan beranggapan kalau tembakau dalam beberapa tahun ke depan sudah tidak dapat diandalkan. Anggapan ini mula-mula bermula dari gencarnya pemberlakuan simplifikasi Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang terus menekan angka produksi rokok pabrikan. Tekanan ini, selain berdampak pada produksi rokok pertahun juga menurunkan daya serap tembakau dari para petani.
“Sungguh memprihatinkan kok mbako iki. Banyak pahitnya daripada manisnya” kata Haji Pono sembari mengebulkan asap lintingannya. “Kalau menceritakan manisnya ya legi, kalau cerita pahitnya ya sudah kayak brotowali,” imbuh Luthfi.
Haji Pono juga menilai kalau kurangnya daya beli pabrik terhadap tembakau karena tren tingwe mulai bergerak secara dinamis. Tembakau yang banyak dipakai untuk tingwe merupakan ‘tembakau lembutan’ yang prosesnya lebih rumit daripada tembakau kasar yang dijual ke pabrik. Secara ekonomi, tembakau lembutan cenderung bisa menuai untung dalam waktu yang cukup panjang.
Lain dengan ‘tembakau kasar’ yang hasilnya bisa langsung dituai kala musim panen itu juga, “Sebab tembakau (kasar) itu duit gede,” kata Luthfi semangat. Sejak enam bulan silam, Luthfi yang juga vlogger tembakau itu ikut bergabung dalam kelompok pedagang tembakau lembutan bernama “Sedulur Mbako Temanggung Sindoro-Sumbing”.
“Wajar kalau banyak pahit daripada manisnya, lantas naik haji perantara tembakau itu karena niatnya,” timpal Haji Pono tenang.
Berdasar data yang terekam oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kecamatan Tembarak memiliki luas lahan perkebunan 729 ha dan sawah sebanyak 881 ha. Sementara jumlah petani di dusun Jaranan terhitung hanya 8 orang dari 144 kartu keluarga. Sebagai generasi keempat dari trah keluarga petani tembakau, Haji Pono memiliki kurang lebih satu hektare dari jumlah luas lahan itu cukup menunjukkan apabila Haji Pono merupakan petani besar di dusun tersebut.
Selain minat anak muda untuk bertani sangat kurang (repeasantation), “Sekarang banyak anak muda yang sudah pintar, masuk perguruan tinggi, jadi tidak mau kalau disuruh bertani,” terang Haji Pono sembari menghela nafas panjang dan lalu menjatuhkan pandangannya ke bawah.
Keluhan lain yang membuat Haji Pono gelisah adalah etos kerja antara orang dulu dengan orang sekarang. Bahwa orang dulu itu lugu-lugu, dalam hal mendulang untung, orang dulu cenderung takut kalau sudah menerima uang sebanyak yang belum pernah mereka punya. “Orang dulu itu kalau kebanyakan harta, rata-rata pada bingung. Makanya zaman dulu orang haji masih bisa dihitung. Tren haji cenderung baru ramai akhir-akhir ini. Karena rata-rata petani urusane ming ono ning weteng”
“Karena dulu, biasanya dapat 5 juta, lah kok terus dapat 10 juta. Akhirnya memilih berhenti—tidak ingin mencari untung lebih,” cerita Haji Pono. Secara ekonomi antusiasme orang dulu cenderung datar, tapi mengenai keberhasilan dalam bertani orang dulu tidak bisa diremehkan. Menurut Haji Pono, kekuatan intuisi atau firasat orang dulu lebih cermat dan tepat daripada orang sekarang. Kekuatan ini, menurut Haji Pono muncul dari kecenderungan orang dulu yang tidak banyak menimbun dosa, meskipun bodoh-bodoh.
Tur religius dan tingkah laku ekonomi
Mencermati praktik agama masyarakat tani tembakau, Haji Pono cenderung menasfirkan ideologi-ideologi keagamaan, terutama dalam kaitannya dengan praktik-praktik ekonomi. Kondisi material tersebut sedemikian penting dalam kehidupan para petani tembakau sehingga agama menjadi kebutuhan mewah.
Seperti praktik yang dilakukan Haji Pono ketika masih muda hingga sekarang, dia merupakan bagian dari kelompok petani tembakau yang saleh, mujahadahan, “seneng ngaji” dan gemar sowan kiai, tersebut nama-nama kiai sekaligus mursyid tarekat di daerah Kedu yang pernah dia sowani, ada Kiai Mad Watucongol, Kiai Nawawi Berjan, Kiai Hamim Ngleto, Kiai Asrori Tempuran, Kiai Ya’qub Parakan dan lain sebagainya.
***
Besar sebagai muslim yang taat mendorong Haji Pono untuk itibak nasehat-nasehat para kiai dan ulama yang pernah dia sowani. Kiai Asrori Tempuran yang terkenal dengan karangan kitab pethuknya pernah memberi nasehat Haji Pono, “No, kamu kalau kerja siang itu yang sungguh-sungguh, kerja malam ya yang sungguh-sungguh”. Dengan tafsir bahwa kerja malam itu merupakan perintah untuk beribadah, Haji Pono kemudian meyakininya dengan ungkapan seperti ini “pagi macul di sawah, malam macul di langit”.
Haji Pono tidak pernah lupa ‘hari pentasbihan’ itu. Hari dimana dia menemukan tambatan hatinya; tembakau melalui wasilah kakaknya. Kakak Haji Pono ini bernama Haji Nur Qomar, yang belakangan, kata Luthfi (31) menjadi teman musyawarah orang-orang Djarum ketika hendak membeli tembakau di daerah Tembarak, Temanggung Jawa Tengah.
Haji Nur Qomar yang selalu memakai akad kontan ketika membeli tembakau dari petani itu hampir setiap tahunnya melaksanakan ibadah umroh dan haji. Lebih dari itu, sebagai rasa terima kasihnya atas jasa para petani, Haji Nur Qomar sering menghajikan para petani.
Berdasar riwayat yang disampaikan Luthfi, dulu Haji Nur Qomar merintis karir sebagai pengepul barang bekas, “Rumahnya dulu masih gedhek”.
Sedangkan menurut Haji Pono, kakaknya itu sudah dekat dengan tembakau sejak tahun 1975, ketika dia masih mengenyam pendidikan di PGA Magelang. Setiap hari, sepulang sekolah, Nur Qomar menjadi pedagang tembakau asongan keliling. Saat untung banyak, Nur Qomar muda memberi gurunya bingkisan, masing-masing sebuket tembakau.
Kemampuan melihat proses yang berlangsung secara lintas sektoral dan lintas waktu ini menggugah daya tahan kelompok petani dari gempuran internal dan eksternal. Dari teladan dua bersaudara Haji Nur Qomar dan Haji Pono kita menemukan bahwa haji selain prestise moral juga merupakan sikap politik. Karena itu kesalehan sebagai ideologi keagamaan menjadi barang mewah ditampakkan melalui praktik-praktik sosial dan ekonomi.
Reporter:Afrizal Qosim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Toko Kecil dari Poris yang Menjaga Peradaban Tembakau dan liputan menarik lainnya di Susul.