Dampak pembangunan JJLS
Selain kurangnya ketersediaan makanan di hutan, kawanan monyet ini sering masuk ke lahan pertanian milik warga akibat kehilangan habitat. Maraknya peledakan bukit-bukit karst untuk pembangunan JJLS dan kepentingan pariwisata di Gunungkidul, diduga menjadi salah satu pemicu tergusurnya monyet ekor panjang.
JJLS sendiri merupakan program nasional yang melewati lima provinsi yang ada di Pulau Jawa tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di DIY, proyek pelebaran jalan ini melalui tiga kabupaten, yakni Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunungkidul. Nantinya, JJLS di Gunungkidul memiliki panjang sekitar 80 kilometer, yang ditargetkan selesai pada 2024.
Saat ini, pembangunan JJLS di Gunungkidul masih berlangsung, salah satunya ruas jalan yang menghubungkan Kapanewon Girisubo dengan Kapanewon Tepus. Banyak pihak yang menilai bahwa proyek pengerjaan jalan yang menghabiskan anggaran ratusan miliar itu, memberi dampak bagi kehidupan monyet ekor panjang di Gunungkidul.
Pengurangan kawasan karst membuat monyet marah
Saat ditemui Mojok, Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul, Agus Nurcahyo (57), membenarkan bahwa pengurangan kawasan karst menjadi salah satu penyebab monyet ekor panjang sering berkeliaran di pemukiman dan lahan pertanian. Menurutnya, ada beberapa pohon berbuah di hutan yang mulai berkurang lantaran pembukaan lahan. Hal ini yang kemudian menyababkan monyet “marah” dan akhirnya mencari makan di lahan pertanian milik warga.
“Ya, memang ada beberapa aduan dari warga terkait MEP yang sering masuk ke pemukiman dan lahan pertanian. Tidak sedikit warga yang mengaku kewalahan mengatasi monyet ekor panjang ini. Maka dari itu, Kamis lalu, kami melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait di Kantor Gubernur DIY,” tutur Agus Nurcahyo di Kantor Dinas Lingkungan Hidup Gunungkidul, Selasa (24/01/2023).
“Kemudian dari hasil pembahasan mengenai rencana konservasi satwa lokal yang dilaksanakan di Paniradya, Kepatihan, tersebut, menyimpulkan bahwa memang pembangunan JJLS menjadi salah satu faktor penyebab MEP masuk ke pemukiman dan lahan pertanian milik warga. Hal ini mengakibatkan kawanan monyet kehilangan habitat dan kesulitan mencari makan,” imbuhnya.
Konflik monyet dan manusia sudah lama terjadi di Gunungkidul
Agus Nurcahyo mengaku bahwa selama ini belum ada regulasi resmi yang dikeluarkan DLH Gunungkidul, yang mengatur permasalahan monyet ekor panjang. Hal ini terjadi lantaran belum ada pemetaan atau pengkajian penyebaran MEP di Gunungkidul. Namun, dalam waktu dekat, DLH akan segara melakukan upaya penanganan MEP yang sering masuk ke lahan pertanian tersebut.
“Saat ini, kami tengah fokus melakukan koordinasi sama pihak DLHK DIY, BKSDA, dan BAPPEDA DIY untuk menyelesaikan masalah MEP di Gunungkidul. Tahun ini berencana juga ingin mendata populasi MEP, penyebaran MEP, dan wilayah terdampak. Kalau sudah melakukan pendataan, kami akan segera menentukan langkah-langkah konkret terkait konflik MEP dan warga,” paparnya.
Setelah melakukan pendataan, Agus Nurcahyo menuturkan bahwa nantinya pihak DLH Gunungkidul akan melakukan beberapa langkah penanganan MEP. Mulai dari menyediakan barrier alami termasuk bibit-bibit tanaman di dalamnya, melakukan pengebirian terhadap MEP, melakukan penanaman pohon yang menjadi sumber makan MEP, serta penentuan kawasan penyangga dan pengelolaan habitat MEP.
Konflik antara monyet ekor panjang dan manusia sebenarnya sudah berlangsung lama di Gunungkidul. Namun, tidak bisa dimungkiri, bahwa 10 tahun terakhir ini kondisinya semakin memprihatinkan. Bahkan, tidak sedikit warga yang menembak kawanan monyet tersebut agar tidak mengganggu dan merusak tanaman.
Terancam punah tapi belum ada regulasi resmi yang atur monyet ekor panjang
Maraknya peledakan bukit-bukit karst untuk pembangunan JJLS dan pariwisata di sepanjang pantai selatan, turut andil memperparah situasi konflik ini. Tidak sedikit akhirnya lahan pertanian yang dulu tidak tersentuh kawanan monyet ekor panjang, kini ikut terdampak.
Meski keberadaan monyet ekor panjang masih sering dijumpai, tetapi jenis satwa satu ini sudah masuk daftar merah dan terancam punah. Pada Maret 2022 lalu, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), menyatakan bahwa populasi monyet ekor panjang diprediksi akan terus menurun hingga 40 persen. Kurangnya regulasi yang tepat mengenai perlindungan monyet ekor panjang menjadi ancaman nyata bagi kepunahan primata ini.
Menanggapi hal ini, pihak DLH Gunungkidul masih berpedoman pada aturan yang berlaku. Sebab, di Indonesia, sampai saat ini spesies MEP belum masuk kategori hewan yang dilindungi. Sehingga hanya fokus pada upaya penanganan agar MEP tidak mengganggu aktivitas sehari-hari warga terdampak.
“Ya, kan, saat ini, memang monyet ekor panjang belum termasuk satwa yang dilindungi. Jadi, kami cuma fokus melakukan upaya penanganan saja. Ya, salah satunya, rencana bikin kawasan penyangga dan pengelolaan habitat MEP itu,” terang Agus Nurcahyo.
Belum adanya regulasi peraturan UU yang sah mengenai perlindungan terhadap MEP tersebut, tentu menjadi ancaman tersendiri bagi keberadaan satwa ini. Tidak sedikit orang yang akhirnya menembak dan memperjualbelikan MEP di media sosial.
Saat saya membuka YouTube, masih banyak konten perdagangan MEP yang dilakukan dengan bebas. Bahkan, beberapa di antaranya terdapat unsur penyiksaan, seperti rambut di-bleach, gigi dicabut pakai tang, dan pembunuhan terhadap induk untuk merenggut anak-anaknya agar bisa sampai ke kandang penjual.
Maraknya perdagangan serta unsur penyiksaan terhadap monyet ekor panjang ini, tentu cukup memprihatinkan. Bukan hanya merusak ekosistem satwa, tetapi juga bisa mengganggu kesehatan manusia. Ya, jenis monyet ini berpotensi menularkan beberapa penyakit, seperti penyakit hepatitis, TBC, dan rabies ke manusia.
Pengurangan kawasan karst, ancaman nyata satwa di Gunungkidul
Warga Gunungkidul yang hidup di kawasan karst Gunung Sewu, sejak dulu sudah berdampingan aneka jenis satwa, tak terkecuali monyet ekor panjang. Sebelum marak pembanguan JJLS dan pariwisata, kawanan satwa ini hidup “berkecukupan” di dalam hutan. Namun, sejak sektor wisata di Gunungkidul kian melejit, kawanan monyet ini kehilangan habitat dan harus mencari makan di pemukiman dan lahan pertanian warga.
Menurut penuturan Pak Pujiman, yang sudah hidup puluhan tahun di Bumi Handayani ini, baru tahun-tahun belakangan merasakan betul kegelisahannya terhadap MEP. “Dulu sih ada monyet, tapi ya ndak sampai masuk ke lahan pertanian seperti sekarang, Mas. Akhirnya, para petani harus ngeluarin modal lebih secara mandiri untuk menanggulangi,” ujar petani di kalurahan Karangasem itu.
Beliau sadar betul bahwa kondisi tanah kelahirannya belakangan mulai berubah. Banyaknya pembangunan di sektor wisata, yang memangkas bukit-bukit karst, cukup berpengaruh terhadap situasi pertanian di desanya. Monyet yang terbiasa hidup di hutan kawasan karst, kini tergusur dan masuk ke lahan pertanian.
Sementara itu, ancaman terhadap MEP semakin nyata, ketika Pemkab Gunungkidul pada November 202 lalu, memiliki wacana untuk mengurangi Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Luas KBAK yang semula 75.835,45 hektar ini, akan dikurangi menjadi 37.018, 06 hektar atau 51,19 persen.
Banyak pihak yang menilai bahwa wacana pengurangan kawasan karst tersebut akan mengancam ekosistem di Gunungkidul. Tidak hanya merusak instalasi sumber air bawah tanah, tetapi juga mengancam aneka satwa di Gunungkidul, seperti monyet ekor panjang dan jutaan kelelawar yang hidup di Bumi Handayani.
Perlu solusi konkret
Maka dari itu, sudah seharusnya semua pihak, terutama para pemangku kebijakan, bertanggung jawab dengan kondisi alam yang saat ini terjadi di Gunungkidul. Tidak hanya sibuk memangkas bukit-bukit karst saja, tetapi harus mampu menawarkan solusi yang konkret untuk mengatasi masalah ini. Sebab, kondisi ini tidak hanya berdampak buruk pada satwa, tetapi juga kelangsungan hidup manusia.
Bagi petani seperti Pak Pujiman, tidak banyak yang bisa diperbuat selain terus menanam agar bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga. Sebab, beliau sadar betul bahwa kondisi yang saat ini tengah terjadi bukan kesalahan monyet ekor panjang, melainkan ulah manusia itu sendiri.
“Sama seperti saya, mereka (MEP) kan juga butuh makan. Jadi, ya, biarkan nanti diurus pemerintah mau gimana. Yang jelas, sebagai petani, ya, saya cuma bisa menanam dan menunggu tanaman di ladang seperti ini biar bisa panen,” pungkasnya mengakhiri percakapan sore itu.
Reporter: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Pariwisata Untuk Kesejahteraan Rakyat Gunungkidul? Kenapa Bukan Pertaniannya Dulu Sih? Dan reportase menarik lainnya di rubrik Liputan.