Membuat penumpang rewel jadi bahagia
Senada, Arif (31), sopir bus pariwisata lain yang saya temui di tempat itu juga berprinsip saat menyopiri itu harus tenang. Baginya, kepuasan penumpang memang jadi prioritas utama.
“Ya memang permintaan penumpang itu macam-macam. Tapi asal bisa menyikapinya dengan pas ya oke-oke saja,” tutur sosok yang mengaku sudah empat tahun jadi sopir tetap di sebuah PO bus pariwisata ini.
Ia mengaku punya cara khusus untuk membuat penumpang senang penumpang. Membuat mereka nyaman dan terlena selama perjalanan.
“Kuncinya kalau saya cuma satu. Sepanjang perjalanan full musik dan audio-nya yang jos. Sudah itu penumpang pasti senang,” ujarnya terkekeh.
Alih-alih soal permintaan dan komplain penumpang, tantangan terberat menurut Arif justru saat proses antar jemput. Saat menjemput, biasanya ia harus membawa kendaraan ini melintas di gang-gang kecil. Sesuatu yang jadi momok bagi para sopir. Konsentrasi penuh mereka butuhkan.
“Sebab di sekitar ya ada pohon, kabel, inilah yang paling susah,” keluhnya.
Terlepas dari persoalan itu ia mengaku senang menjalani pekerjaan ini. Setiap singgah di kantong-kantong parkir, ia bisa berkumpul bersama rekan senasib di kota-kota lain. Kota yang jauh dari asalnya.
Jogja di mata para sopir bus pariwisata
Deretan bus pariwisata setiap hari mewarnai jalanan Jogja. Bahkan terkadang mereka melintas dengan pengawalan Patwal Polisi. Sentimen buruk terhadap wisatawan pun sering muncul. Mereka kerap dianggap menyumbang kemacetan.
Kedua sopir ini juga turut berbagi pendapatnya soal hal itu. Fajar misalnya, menganggap Jogja sebagai lintasan penuh tantangan. Selain ruas jalan yang cukup sempit dengan volume kendaraan padat, wilayah ini punya lampu merah terlalu banyak.
“Dari Klaten sampai kota sini, rasanya dikit-dikit kok lampu merah. Itu yang agak berat buat para sopir,” paparnya.
Fajar juga mengaku punya pengalaman mendapat pengawalan polisi. Kondisi itu terjadi karena kehendak penyewa armada bus. Biasanya pengawalan dilakukan jika rombongan lebih dari lima bus. Selain itu juga saat membawa rombongan haji.
Secara pribadi, ia memahami keluhan masyarakat yang merasa terganggu. Di sisi lain, pengawalan itu menurut Fajar terkadang justru membuat bingung para sopir.
Patwal kan mobilnya kecil. Kadang kami yang dikawal juga tetap terputus di jalan dan nggak pasti semua dapat jalan. Sebagai driver itu kadang bingung kalau yang ngawal nggak pinter buka jalan,” terangnya.
Senada, Arif beranggapan bahwa sopir tidak punya kuasa. Pengawalan hanya terjadi karena permintaan pihak biro dan penyewa. Jika mendapat pengawalan ya ia hanya manut. Hitung-hitung bisa sedikit lebih cepat di perjalanan.
“Perkara ada keluhan dari masyarakat, ya bagaimana lagi, kami cuma ngikut,” ujarnya.
Tak berselang lama, rombongan yang mereka antar sudah kembali dari Malioboro. Mesin bus kembali dinyalakan. Para sopir ini bersiap kembali ke jalan. Tempat mereka sehari-hari mencari penghidupan.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Dilema Kota Wisata, Keresahan Warga Jogja Melihat Maraknya Bus Pariwisata dengan Patwal Polisi dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.