Ada anggapan bahwa harga menu warung nasi padang belakangan jadi lebih terjangkau. Di sisi lain, menu warung tegal alias warteg yang katanya merakyat justru harganya jadi agak mahal. Benarkah demikian?
Demi mendapatkan jawaban atas hal itu, Mojok ngobrol dengan pengelola warung nasi padang dan warteg. Mereka memberikan pandangannya tentang tren kancah dua warung makan populer yang hampir ada di seluruh penjuru Indonesia ini.
***
Setiap pagi Rahmad Fikri (25) belanja ke pasar membeli berbagai bahan baku untuk warung nasi padang yang dikelola keluarganya. Tiga tahun terakhir, ia mulai aktif membantu usaha yang sudah dirintis keluarganya sejak 1997 silam ini.
“Orang tua buka warung padang sejak sekitar 1997 begitu merantau ke Jogja. Ayah kelahiran Padang Panjang dan ibu dari Bukittinggi,” kata Rahmad yang berbincang dengan Mojok usai menunaikan kewajiban belanjanya.
Sejak mulai aktif membantu mengelola usaha, Rahmad mulai memahami seluk-beluk warung nasi padang. Mulai dari detail bumbu dan resep sampai urusan harga jual. Ia mengaku merasakan bahwa belakangan, warung nasi padang banyak yang menawarkan menu dengan harga-harga yang terjangkau.
“Memang itu kerasa belakangan. Nasi ayam ada yang jual Rp10 ribu bahkan Rp8 ribu,” ujarnya Rabu (4/1).
Empat cabang warung padang yang kini dikelola keluarga Rahmad, menu yang sama dibanderol seharga Rp13 ribu per porsi. Masih sedikit di atas harga-harga yang tergolong sangat terjangkau tadi.
Jika diamati, di Jogja misalnya, banyak warung padang yang menggunakan label “murah” di belakang namanya. Penanda menghadirkan menu dengan harga yang relatif aman di kantong pelajar.
Sebab harga di rumah makan padang terkesan murah
Menurut Rahmad, harga miring yang ditawarkan warung-warung tersebut disebabkan sejumlah hal. Salah satunya karena memang persaingan harga untuk menyasar segmen pelajar dan menengah ke bawah.
“Apalagi di Jogja yang UMR-nya terhitung nggak besar. Dimahalin nggak laku, jadi dibuat murah. Lalu banyak yang ngikut,” jelasnya.
Sebenarnya, Rahmad melihat kalau masakan padang dibanderol semurah itu, susah untuk mengambil margin keuntungan. Apalagi jika bumbu-bumbu yang dipakai memang menggunakan standar masakan nasi padang yang ideal baginya.
“Ya ada harga, ada rasa. Jadi mungkin harga murah, bisa jadi dikompromikan bumbunya, misalnya santannya dikurangin dan sebagainya,” ujarnya.
Menurut Rahmad, keberadaan daun ketela, sambal hijau, kuah kuning, rendang, dan ayam oleh banyak orang sudah cukup menjadi penanda warung padang. “Padahal ya detailnya, secara bumbu dan olahan, lebih banyak lagi,” tuturnya.
Belakangan juga banyak bermunculan warung-warung padang yang dikelola oleh mereka yang bukan keturunan Minang. Menurut Rahmad, hal itu memungkinkan para pengelolanya lebih berkompromi urusan bumbu sehingga harga jual bisa ditekan.
Sebelumnya, Ketua Ikatan Keluarga Besar Minang Yogyakarta (IKBMY), Gusremon pada suatu kesempatan wawancara dengan Mojok pernah menyampaikan kalau warga Minang memang terbuka urusan dapur usahanya.
Dalam lini usaha warung padang misalnya, resep masakan warung tidak ditutup-tutupi dari para pegawainya. Alhasil, banyak pegawai yang merupakan warga lokal di luar Minang akhirnya membuka usaha sendiri.