Di Kota Pendidikan, seorang anak muda yang jauh dari hidup berkecukupan menyisihan waktu dan uangnya. Ia membelikan nasi untuk mahasiswa kelaparan dan orang-orang yang belum makan seharian.
Reporter Mojok mengikuti aktivitas anak muda tersebut sembari membantu membagi nasi bungkus pada orang-orang yang sangat berharap bisa makan di hari itu.
***
Hujan tiba-tiba turun saat saya menjumpai Evan di Jalan Kaliurang KM 5, Sleman, Yogyakarta, Selasa (14/2/2023). Sebelumnya, saya sudah membuat janji dengan sosok yang belakangan viral di media sosial lewat akun @stefanaezer lantaran aksinya yang mengantar nasi ke kos mahasiswa dan rumah warga yang kelaparan.
“Ya aku pengin jadi semacam call center bagi mereka yang butuh,” katanya sambil memasang mantol berwarna hijau yang resletingnya sudah sobek itu.
Evan lalu mengantar saya menaruh kendaraan di sebuah tempat parkir terdekat. Setelah itu, saya menjadi joki motor Vario 150 berwarna hitam yang ia bawa. Evan membonceng supaya bisa lebih mudah membuka titik-titik lokasi Google Maps penerima nasi.
Hari ini, Evan mulai kembali aktif bekerja sehingga ia baru bisa mengantarkan makanan setelah jam empat sore. Pagi sampai siang, ia gunakan untuk bekerja sebagai freelance videographer.
“Maaf ya Mas, tadi agak susah dihubungi sebelum jam empat,” katanya saat kami sudah mulai berjalan. Beberapa hari lalu, ia sempat kosong pekerjaan sehingga bisa seharian berbagi nasi.
Banyak mahasiswa kelaparan di kos
Motor saya pacu menuju Gang Pandega Manggala, lalu berbelok-belok menuju gang-gang sempit yang tak kami ketahui namanya. Kata lelaki berusia 26 tahun di belakang, tujuan kami adalah seorang mahasiswa kelaparan yang mengaku sudah seharian menahan rasa melilit di perutnya.
Kami pun tiba di titik sesuai kiriman mahasiswa itu. Evan turun dari motor lalu sibuk dengan ponselnya Samsung Galaxy A5 keluaran 2016 miliknya. Berusaha menghubungi calon penerima nasi. Hampir sekitar lima menit, ia masih tampak kebingungan.
“Begini kadang tantangannya. Padahal saya minta mereka standby WhatsApp dan mengirim lokasi yang pas,” ujarnya sambil menggaruk kepala.
Calon penerima nasi, mengirim sebuah foto gambar gang. Evan lalu melihat ke sekeliling, mencari gang sesuai gambar kiriman tersebut. Ia lalu menunjuk sebuah gang kecil di selatan.
Ia kembali naik ke motor dan mengarahkan saya menuju tujuan. Tempat itu, hanya sekitar 30 meter dari tempat kami menunggu. Namun, sedikit tersembunyi di gang kecil.
Di depan sebuah bangunan kos dua lantai, seorang anak muda berkaos oblong duduk menunggu. Ia lalu beranjak menghampiri kami. Tampak, bibirnya pucat keputihan. Setelah berbincang singkat, Evan memberikan dua bungkus nasi kepadanya.
“Terima kasih ya, Mas,” ujar anak muda itu.
“Oh iya, minumnya mana, Mas?” sambungnya, saat kami mau beranjak pergi. Evan menepuk jidatnya sendiri lalu berujar bahwa ia lupa. Sejurus kemudian, ia mengeluarkan uang Rp10 ribu dari kantongnya dan memberikannya pada sang lelaki. Ucapan terima kasih pun terucap kembali.
Evan mengaku tadinya sudah bernjanji akan membawakan minuman. Hal itu lantaran sang penerima bercerita kalau ia juga kehabisan air. Tapi karena banyak hal yang harus Evan urus seorang diri, ia kelupaan.
Lelaki tua yang belum makan seharian
Kami pun melanjutkan perjalanan ke selatan. Hari ini, untuk kloter pertama, Evan membawa lima belas bungkus nasi dengan lauk sayur dan bakso. Sebelum bertemu saya, ia sudah mengantarkan ke tiga penerima. Lelaki barusan adalah penerima keempat.
Tujuan kami selanjutnya bukan mahasiswa yang kelaparan tapi seorang tua yang tinggal sendiri. Laki-laki itu tinggal di daerah Ngampilan. Kami masuk ke sebuah gang kecil padat permukiman di utara Jalan KH A Dahlan. Setelah membelah gang sempit nan berkelok, kami berjumpa dengan seorang lelaki paruh baya.
Usai kami turun dari motor dan menyapa, lelaki itu mengarahkan kami menelusuri sebuah jalan sempit yang muat untuk kendaraan roda dua. “Nanti njenengan lihat sendiri kondisinya,” kata lelaki itu.
Setelah, berjalan sekitar 50 meter, tibalah kami di sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu. Lelaki itu, mengetuk beberapa kali, lalu seseorang membuka pintu dari dalam. Lelaki paruh baya, mungkin pertengahan enam puluhan dengan badan kurus, tersenyum melihat kami.
Evan bertanya, “sampun dahar dereng, Mbah?”
Sang lelaki, lalu berujar lirih kalau ia belum makan seharian. Evan pun menyerahkan dua bungkus nasi padanya. Berbincang singkat lalu beranjak meninggalkan rumah kecil ini.
Saat berjalan kembali menuju tempat parkir motor, lelaki yang mengantarkan kami bercerita kalau penerima nasi tadi adalah kakaknya. Ia lalu melangkah pelan, mengucapkan terima kasih, disusul permintaan maaf.
“Ngapunten ya Mas. Kebetulan, saya juga lagi susah uangnya. Ada, tapi cukup buat sendiri dan keluarga di rumah. Jadi beberapa hari ini, belum bisa ngasih kakak saya,” ujarnya.
“Nggak papa Pak. Besok, kalau butuh lagi hubungi saja. Kalau saya lagi ada, nanti saya kirim lagi,” ujar Evan.
Banyak mahasiswa yang kehabisan uang dan sulit mencari bantuan
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Evan selalu mengecek ponselnya demi memastikan rute yang tepat untuk berkeliling. Area jelajahnya memang cukup jauh, lelaki asal Gunungkidul ini tinggal di sebuah kos yang terletak di Pugeran, Maguwoharjo, Sleman.
Ia sendiri mengaku enggan mengungkap nama lengkapnya ke publik. Ia tidak mau pribadinya terlalu dikenal. Selain itu ada juga alasan yang cukup konyol.
“Nama asli saya Kristen banget, Mas. Pernah ada penerima kaget kalau saya bukan muslim, dikiranya ada maksud terselubung,” ujarnya tertawa. Saat berjalan, ia memang sering mengucap Alhamdulillah, Masyaallah, hingga Astaghfirullah.
Evan lanjut bercerita kalau kebanyakan penerimanya memang dari kalangan mahasiswa kelaparan. Tapi ada juga yang seperti lelaki paruh baya tadi. Asal ada yang tampak benar-benar membutuhkan, ia mengaku berupaya menolong.
Titik selanjutnya, di dekat kantong parkir Ngabean, kami juga mengantar ke seorang anak muda yang mengaku baru berhenti kuliah. Ia sedang mencari tempat kuliah baru dan belum ada pekerjaan. Sedangkan uang kiriman orang tua pun sedang sedikit terhambat. Sehingga perlu bantuan makan.
Perjalanan paling selatan pada rute kali ini berada tak jauh dari Masjid Jogokarian. Di sana kami menjumpai seorang perempuan yang mengaku mahasiswi semester akhir di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Sebut saja namanya Lisa* (23).
Perempuan asal Jakarta ini tinggal sendirian di sebuah rumah kecil milik saudaranya. Keberadaan tempat tinggal ini cukup membantu, lantaran sejak awal pandemi ia sudah lepas uang kiriman dari orang tua.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia bekerja sebagai freelancer. Menggarap desain dan juga copywriting untuk media sosial.
“Tapi, sudah semingguan ini invoice belum cair. Di Jogja tidak ada saudara, om pemilik rumah ini juga tidak tinggal di sini,” curhatnya.
Sekilas, ia tampak lemas. Rumah kecil yang ia tinggali juga tampak lengang tanpa banyak perabotan. Selepas menyerahkan sebungkus nasi, kami pun beranjak pergi.
“Banyak mahasiswa kelaparan dengan kondisi seperti ini. Tapi kan, mereka ini jarang terjangkau bantuan dan terdeteksi. Kadang mereka malu juga minta-minta. Makannya, saya benar-benar coba menempatkan diri agar yang menghubungi itu nyaman. Tidak malu,” ujarnya.
“Sering juga ada yang tanya, ‘Mas ini difoto dulu nggak ya?’, saya jawab nggak usah. Saya cukup update rute tidak perlu foto sosok penerimanya,” sambung lulusan SMK ini.
Baca halaman selanjutnya…
Lulusan SMK yang terinspirasi perjuangan mahasiswa
Lulusan SMK yang terinspirasi perjuangan mahasiswa
Evan mengaku selalu kagum dengan perjuangan para mahasiswa yang bertahan di perantauan. Mereka bertahan di tengah segala keterbatasan demi meraih cita-citanya.
“Saya ini lulusan SMK saja. Saya tidak pernah merasakan apa yang mahasiswa ini rasakan. Berjuang mengejar mimpi, belajar, pengin membanggakan orang tua, sebuah kesempatan yang nggak saya rasakan,” terangnya di jalan.
Menurut lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai frelaance videographer ini, ada satu momen yang akhirnya mendorongnya untuk melakukan gerak nyata. Hal itu terjadi saat ia mendengar ada seorang mahasiswi UNY meninggal, karena sakit, saat berjuang membayar UKT pada awal tahun ini.
“Itu benar-benar menyadarkan saya. Membuat saya yakin untuk bergerak,” jelasnya.
Setiap membeli makanan, ia pastikan dirinya sendiri doyan dan suka makanan tersebut. Ia anggap standar makanan yang ia beri adalah yang ia suka. Baginya, seleranya masih lumayan sesuai dengan para mahasiswa lantaran sama-sama suka makan di warmindo.
Namun, jauh sebelum momen itu, ada rentetan kejadian yang membuat hatinya terketuk. Ia mengaku sempat mengalami stress berkepanjangan dalam hidup.
Sebelum bekerja sebagai freelance videographer, lulusan SMK Pelayaran ini mengaku sempat bekerja di berbagai tempat. Mulai dari di kapal sampai bekerja sebagai karyawan sebuah gudang logistik.
Sempat bekerja dengan penghasilan yang menurutnya lumayan, tekanan membuatnya mundur. Setahun belakangan ia tinggal di Jogja dan bekerja dengan hasil yang menurutnya pas-pasan, bahkan kurang.
“Ini Mas, gaji saya sebulan segini,” terangnya saat kami beristirahat di sebuah warmindo. Ia menunjukkan bukti pembayaran gaji sebesar Rp1,4 juta yang ia terima.
Bertahan karena menemukan makna hidup
Sempat, di akhir 2022 silam, ia mengalami kondisi kesulitan keuangan. Bayarannya nunggak beberapa hari. Sedangkan ia nyaris tak punya uang simpanan. Kesulitan ekonomi sampai ia merasakan kondisi susah makan.
“Saya ingat betul, sampai saya itu makan sukun dari pohon yang ada di depan kos saya,” kenangnya.
Di saat kondisinya begitu terpuruk, ia mengaku terpikir untuk mengakhiri hidup. Tapi di saat itu, ada rekan yang membantunya. Memberinya bantuan logistik untuk bertahan.
“Orang kalau sudah tidak merasakan makna, itu bawaannya ya pengin mati,” katanya.
Kondisi ini juga yang mendorongnya untuk mencari makna agar terus bertahan. Salah satunya, lewat berbagi. Setiap bisa membantu menolong orang lain, ia merasakan kebahagiaan dalam hati. Sesuatu yang memberinya semangat untuk terus melewati hari.
Mendapat donasi
Di masa-masa awal melakukan aktivitas ini, ia selalu menggunakan uang pribadinya. Berbagi nasi semampu yang ia bisa. Bahkan untuk berkeliling saja, ia hanya menggunakan sepeda butut lantaran tak punya motor.
Evan mengaku, motor Vario 150 yang ia pakai ini kebetulan merupakan pinjaman dari saudaranya di Wonosari. Baru ia gunakan beberapa hari terakhir ini. Sebelumnya, setiap keliling ia menggunakan sepeda, menerabas hujan, untuk jarak yang lumayan jauh.
“Dulu dari kos nyepeda bisa sampai Mlati sama Pleret. Ya sekuatnya saja. Kalau kira-kira masih bisa dijangkau, saya antarkan,” paparnya.
Namun, sejak unggahannya viral di Twitter, Jumat (10/2) lalu, banyak donasi yang masuk kepadanya. Ia mengaku ada sekitar Rp21 juta dana bantuan yang masuk rekeningnya sejak saat itu sampai kami berjumpa. Donaturnya dari berbarai latar belakang. Sebagian juga masih mahasiswa.
“Ya saya nggak pernah minta. Tidak juga mencantumkan rekening. Tapi kalau ada yang menghubungi, minta rekening, saya beri,” terangnya.
Sejauh ini, ia berusaha melaporkan bantuan yang disalurkan setiap hari lewat cuitannya di Twitter. Mulai dari jumlah nasi yang ia beli sampai titik-titik rute ia menyalurkannya. Semua itu ia unggah secara berkala.
Evan mengaku, sampai saat ini belum bisa melakukan pendataan dengan detail donasi dan pengeluarannya selama melakukan aksi. Misalnya, saat membeli nasi ke warung, tidak setiap saat ia bisa meminta kuitansi pembayaran.
“Kadang-kadang, saya kehabisan nasi di jalan, terus beli di penjual nasi goreng keliling. Keburu juga, saya sering nggak bisa minta nota dan semacamnya,” paparnya.
Uang panas yang ingin ia kelola dengan benar
Ia punya keinginan agar nanti, bisa lebih tertata urusan ini. Bagaimana pun, menurutnya, uang bantuan seperti ini adalah ‘uang panas’ yang harus ia kelola dengan benar.
Evan tidak ingin, ke depan gerakannya menjadi terlalu formal bahkan terlembaga. Hal yang sebenarnya merupakan saran dari beberapa warganet di media sosial. Baginya, lewat jalan yang ia lalui, bantuan bisa lebih personal. Orang yang meminta bantuan pun, tidak sungkan untuk meminta.
“Sebenarnya sudah banyak ya instansi atau perseorangan yang melakukan hal serupa. Kalau saya pribadi sih, inginnya ya seperti ini saja. Tidak terlalu besar nggak papa, yang penting terus jalan dan tepat sasaran,” ujarnya.
Hujan sempat reda, namun kembali turun membasahi Jogja. Sekitar pukul sembilan, Evan hendak melanjutkan perjalanan membagi nasi. Saya tak bisa ikut bersamanya meneruskan perjalanan. Sampai tengah malam hari itu, lewat Twitternya, Evan mengabarkan telah mengantar 24 bungkus nasi ke sejumlah titik.
Sebagian di antaranya adalah orang-orang dan mahasiswa kelaparan di Hari Kasih Sayang. Mereka tidak ingin mendapatkan setangkai bunga mawar atau sebungkus cokelat. Mereka hanya berharap mendapatkan sebungkus nasi untuk mengganjal perutnya barang sehari.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Mahasiswa yang Nggak Ikut Wisuda karena Merasa Nggak Sakral-sakral Amat dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.