Lulusan SMK yang terinspirasi perjuangan mahasiswa
Evan mengaku selalu kagum dengan perjuangan para mahasiswa yang bertahan di perantauan. Mereka bertahan di tengah segala keterbatasan demi meraih cita-citanya.
“Saya ini lulusan SMK saja. Saya tidak pernah merasakan apa yang mahasiswa ini rasakan. Berjuang mengejar mimpi, belajar, pengin membanggakan orang tua, sebuah kesempatan yang nggak saya rasakan,” terangnya di jalan.
Menurut lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai frelaance videographer ini, ada satu momen yang akhirnya mendorongnya untuk melakukan gerak nyata. Hal itu terjadi saat ia mendengar ada seorang mahasiswi UNY meninggal, karena sakit, saat berjuang membayar UKT pada awal tahun ini.
“Itu benar-benar menyadarkan saya. Membuat saya yakin untuk bergerak,” jelasnya.
Setiap membeli makanan, ia pastikan dirinya sendiri doyan dan suka makanan tersebut. Ia anggap standar makanan yang ia beri adalah yang ia suka. Baginya, seleranya masih lumayan sesuai dengan para mahasiswa lantaran sama-sama suka makan di warmindo.
Namun, jauh sebelum momen itu, ada rentetan kejadian yang membuat hatinya terketuk. Ia mengaku sempat mengalami stress berkepanjangan dalam hidup.
Sebelum bekerja sebagai freelance videographer, lulusan SMK Pelayaran ini mengaku sempat bekerja di berbagai tempat. Mulai dari di kapal sampai bekerja sebagai karyawan sebuah gudang logistik.
Sempat bekerja dengan penghasilan yang menurutnya lumayan, tekanan membuatnya mundur. Setahun belakangan ia tinggal di Jogja dan bekerja dengan hasil yang menurutnya pas-pasan, bahkan kurang.
“Ini Mas, gaji saya sebulan segini,” terangnya saat kami beristirahat di sebuah warmindo. Ia menunjukkan bukti pembayaran gaji sebesar Rp1,4 juta yang ia terima.
Bertahan karena menemukan makna hidup
Sempat, di akhir 2022 silam, ia mengalami kondisi kesulitan keuangan. Bayarannya nunggak beberapa hari. Sedangkan ia nyaris tak punya uang simpanan. Kesulitan ekonomi sampai ia merasakan kondisi susah makan.
“Saya ingat betul, sampai saya itu makan sukun dari pohon yang ada di depan kos saya,” kenangnya.
Di saat kondisinya begitu terpuruk, ia mengaku terpikir untuk mengakhiri hidup. Tapi di saat itu, ada rekan yang membantunya. Memberinya bantuan logistik untuk bertahan.
“Orang kalau sudah tidak merasakan makna, itu bawaannya ya pengin mati,” katanya.
Kondisi ini juga yang mendorongnya untuk mencari makna agar terus bertahan. Salah satunya, lewat berbagi. Setiap bisa membantu menolong orang lain, ia merasakan kebahagiaan dalam hati. Sesuatu yang memberinya semangat untuk terus melewati hari.
Mendapat donasi
Di masa-masa awal melakukan aktivitas ini, ia selalu menggunakan uang pribadinya. Berbagi nasi semampu yang ia bisa. Bahkan untuk berkeliling saja, ia hanya menggunakan sepeda butut lantaran tak punya motor.
Evan mengaku, motor Vario 150 yang ia pakai ini kebetulan merupakan pinjaman dari saudaranya di Wonosari. Baru ia gunakan beberapa hari terakhir ini. Sebelumnya, setiap keliling ia menggunakan sepeda, menerabas hujan, untuk jarak yang lumayan jauh.
“Dulu dari kos nyepeda bisa sampai Mlati sama Pleret. Ya sekuatnya saja. Kalau kira-kira masih bisa dijangkau, saya antarkan,” paparnya.
Namun, sejak unggahannya viral di Twitter, Jumat (10/2) lalu, banyak donasi yang masuk kepadanya. Ia mengaku ada sekitar Rp21 juta dana bantuan yang masuk rekeningnya sejak saat itu sampai kami berjumpa. Donaturnya dari berbarai latar belakang. Sebagian juga masih mahasiswa.
“Ya saya nggak pernah minta. Tidak juga mencantumkan rekening. Tapi kalau ada yang menghubungi, minta rekening, saya beri,” terangnya.
Sejauh ini, ia berusaha melaporkan bantuan yang disalurkan setiap hari lewat cuitannya di Twitter. Mulai dari jumlah nasi yang ia beli sampai titik-titik rute ia menyalurkannya. Semua itu ia unggah secara berkala.
Evan mengaku, sampai saat ini belum bisa melakukan pendataan dengan detail donasi dan pengeluarannya selama melakukan aksi. Misalnya, saat membeli nasi ke warung, tidak setiap saat ia bisa meminta kuitansi pembayaran.
“Kadang-kadang, saya kehabisan nasi di jalan, terus beli di penjual nasi goreng keliling. Keburu juga, saya sering nggak bisa minta nota dan semacamnya,” paparnya.
Uang panas yang ingin ia kelola dengan benar
Ia punya keinginan agar nanti, bisa lebih tertata urusan ini. Bagaimana pun, menurutnya, uang bantuan seperti ini adalah ‘uang panas’ yang harus ia kelola dengan benar.
Evan tidak ingin, ke depan gerakannya menjadi terlalu formal bahkan terlembaga. Hal yang sebenarnya merupakan saran dari beberapa warganet di media sosial. Baginya, lewat jalan yang ia lalui, bantuan bisa lebih personal. Orang yang meminta bantuan pun, tidak sungkan untuk meminta.
“Sebenarnya sudah banyak ya instansi atau perseorangan yang melakukan hal serupa. Kalau saya pribadi sih, inginnya ya seperti ini saja. Tidak terlalu besar nggak papa, yang penting terus jalan dan tepat sasaran,” ujarnya.
Hujan sempat reda, namun kembali turun membasahi Jogja. Sekitar pukul sembilan, Evan hendak melanjutkan perjalanan membagi nasi. Saya tak bisa ikut bersamanya meneruskan perjalanan. Sampai tengah malam hari itu, lewat Twitternya, Evan mengabarkan telah mengantar 24 bungkus nasi ke sejumlah titik.
Sebagian di antaranya adalah orang-orang dan mahasiswa kelaparan di Hari Kasih Sayang. Mereka tidak ingin mendapatkan setangkai bunga mawar atau sebungkus cokelat. Mereka hanya berharap mendapatkan sebungkus nasi untuk mengganjal perutnya barang sehari.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Mahasiswa yang Nggak Ikut Wisuda karena Merasa Nggak Sakral-sakral Amat dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.