Mereka Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja sejak usia remaja. Kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan. Kerap dipandang sebelah mata, tak punya jam kerja yang pasti, mendapatkan pelecehan adalah beberapa hal yang kerap mereka alami.
Mojok ngobrol dengan beberapa orang yang sejak usia remaja bekerja sebagai PRT. Sampai saat ini mereka punya harapan yang sama, dianggap sebagai pekerja, bukan sekadar pembantu.
***
Jumiyem (47) terpaksa mengubur mimpinya untuk lanjut SMA karena orang tuanya tak mampu membiayai. Jadilah di usianya yang ke-15 ia putus sekolah dan memilih menjadi pekerja rumah tangga. Ia dibawa ke rumah majikan tanpa kepastian jam kerja, libur, tupoksi yang jelas, dan bayaran hanya Rp20 ribu rupiah sebulan.
“Setelah lulus SMP pengen sekolah, tapi kondisi ekonomi tidak memungkinkan (lanjut sekolah). Saya juga tidak memiliki keterampilan dan info lain selain PRT,” katanya, terbang mengenang peristiwa 33 tahun lalu.
Gaji tak dibayar dan dapat pelecehan seksual
Jumiyem yang ingin berdaya dan membantu perekonomian keluarga akhirnya mencoba peruntungan meski tahu tak punya keahlian. Ia melihat beberapa temannya juga sudah menjadi PRT. Namun, situasi di rumah majikan sangatlah berbeda dari bayangannya. Ia yang sehari-harinya tak lepas dari orang tua terpaksa menjalani perpisahan yang sulit hingga tak bisa tidur.
“Saya merenung kenapa harus seperti ini. Tapi kesedihan itu saya lawan dengan harapan bisa dapat uang dan membeli apa yang saya inginkan, lebih-lebih bisa bantu ortu,” ujarnya menepis kesedihan kala itu.
Kesedihan itu berwujud nyata kala Jumiyem juga mendapat perlakuan tak menyenangkan seperti caci maki, tas digeledah saat hendak memutus hubungan kerja, tidak mendapat gaji, dihalangi beribadah, hingga yang paling parah dan berdampak pada dirinya hingga kini ialah pelecehan oleh majikan laki-lakinya.
“Pelecehan itu membuat saya tidak bisa percaya dengan orang lain, terutama kepada laki-laki,” katanya dengan berat.
Perempuan asal Bantul ini menegaskan lebih banyak pengalaman tidak senangnya. Satu-satunya hal menyenangkan yang mampu ia ceritakan hanya memori ketika menyuapi anak majikan dan bisa keluar bercengkerama dengan teman-teman PRT (tetangga). Selebihnya istirahat Jumiyem tak tentu sedang pekerjaan rumah tangga tak ada habisnya.
Didiskriminasi, ancaman, dan sulit dapat surat perjanjian tertulis
Berganti-ganti majikan selama pengalaman 23 tahunan bekerja jadi PRT, tak menjamin Nanik mudah dapat perjanjian tertulis. Menjadi satu perjuangan yang masih terus ia usahakan sampai hari ini.
“Perjanjian tertulis memperkuat ikatan kerja. Masih sulit saya dapat,” kata Nanik.
Nanik (42) menjadi PRT dengan alasan sederhana; lihat tetangga keliatan makin terawat dan bisa mengurus diri setelah kerja.
“Saat itu saya kepikiran ingin bisa mencari uang dan bisa beli baju bagus serta mempercantik diri juga,” katanya. Usianya masih 15 tahun, baru lulus SMP, ketika ia bekerja di rumah majikan di Nganjuk, Jawa Timur.
Orang tua Nanik tak sepenuhnya setuju karena ia masih di bawah umur. Tetapi karena majikannya pun tinggal di kota yang sama, akhirnya orang tua mengizinkan.
Tanpa keahlian dan masih di bawah umur, Nanik merasakan hambatan-hambatan dalam bekerja. Ia pun merasa sedih ketika majikannya terlalu keras dalam memberi instruksi dan akhirnya minta pulang. Gaji pertamanya di tahun 1999 sejumlah Rp35 ribu rupiah.
Ia kemudian diajak oleh seorang tetangga yang menjanjikannya bekerja di sebuah keluarga di Surabaya. Akan tetapi, omongan itu tak sesuai dan ia bekerja di rumah lain. Di sana ia mendapat diskriminasi tak boleh nonton tv dan tak boleh dandan karena ia hanya seorang ‘pembantu’, menurut majikannya.
“Saat gajian pertama, saya beli alat make up, dandan. Tapi majikan (perempuan) saya bilang ‘ngapain kamu dandan? Kalau suami saya naksir kamu gimana?’ Padahal saya masih kecil, nggak ngerti hal seperti itu, loh, Mbak,” ucapnya mengelus dada. Ia bekerja satu tahun di sana dan tak kembali setelah Lebaran.
Setelahnya Nanik bekerja di Bali dan pengalaman yang tak akan ia lupakan ialah pelecehan oleh majikannya yang senang mabuk dan pulang malam. Ia akhirnya pindah bekerja di Jakarta, kondisinya tak lebih baik, termasuk saat bekerja dengan ekspatriat.
Tak lebih baik saat kerja dengan eskpatriat
“Ini kaos harganya satu bulan gaji kamu,” Nanik menirukan teriakan majikannya beberapa tahun lalu. Saat itu, majikannya itu melempar wajahnya dengan baju anak. Ia mendapat perlakukan seperti itu hanya karena ia tak jadi mengucek baju tersebut sebab jam kerja sudah habis.
Nanik membela diri dengan menjelaskan waktu kerjanya sudah habis. Akan tetapi, majikannya semakin murka dan mengancam akan memotong gaji. Nanik yang tak terima langsung protes dan berakhir adu argumen, ia pun mengalah.
“Saya rasa takut juga tapi sok sok kuat. Bukan takut gimana tapi cenderung sedih, kaosnya dilempar ke muka,” kenangnya.
Teman-temannya pun sering bercerita mengalami pengalaman buruk serupa. Jam kerja panjang, libur mingguan susah dengan upah sangat minim. Sepengalaman Nanik, ekspatriat yang banyak memberi kesulitan dan diskriminasi kepada PRT kebanyakan dari Asia.
“Jangan mengira kerja dengan ekspatriat lebih baik,” ujarnya. Dengan majikan yang tak memberinya libur itu, ia hanya mampu bertahan dua minggu.
Kini Nanik bekerja untuk seorang ekspatriat Turki. Ia diberi kesempatan berserikat, izin di tengah jam kerja untuk melakukan aksi, dan bahkan mengajak anak-anak Nanik ke rumahnya saat libur sekolah.
Jadi PRT sambil Kejar Paket C
Nur Kasanah (32) adalah mantan pekerja anak. Menjadi PRT pertama kali di tahun 2005. Sekarang ia bukan PRT lagi tapi dunianya tetap dunia PRT, bedanya kini ia bertindak sebagai pengadvokasi kasus-kasus PRT di Semarang.
Ia yang putus sekolah langsung mengiyakan ketika dapat tawaran kerja. Tanpa keahlian dan di bawah umur, ia mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga termasuk menjaga dua orang anak. Mengajari mereka dan menjemput sekolah. Tak ada libur dan tak ada kepastian.
“Saya tidur jam 10 malam dan bangun jam 04.30 pagi,” katanya.
Sejak awal tekadnya adalah lulus sekolah. Majikan mengizinkan Nur belajar ikut Kejar Paket C dengan syarat kerjaan rumah harus selesai. Ia belajar di malam hari saat semuanya sudah beres. Namun, Kejar Paket C bukannya tanpa tantangan, kerap kali Nur harus bawa-bawa anak majikan.
“Sedihnya itu (bawa anak majikan) kalau mereka sedang keluar kota,” ujarnya. Ini membuat Nur tak leluasa sepenuhnya padahal niatnya hanya ingin belajar dan lulus.
Di 2009, situasi tak menguntungkan menghampiri Nur saat tiba-tiba di PHK sedangkan kejar paketnya harus terus jalan di Semarang. Ia segera mendapat kerja lagi dan kembali di PHK.
“Saya sering di PHK dulu, Mbak,” ungkapnya.
Ia lalu masuk di serikat. Seorang teman yang berserikat lebih dulu mengenalkan Nur pada dunia di mana ia bisa membela haknya dan bernegosiasi dengan majikan. Ketika merasa sudah mantap dan percaya diri, Nur memberanikan diri untuk minta libur.
“Akhirnya merasakan libur. Saya juga nego masalah antar jemput anak, saya sarankan pakai antar jemput sekolah. Ketika anaknya nggak mau, akhirnya saya dapat tambahan gaji,” katanya.
Awalnya merasa sungkan tapi setelah berulang kali mencoba, ia perlahan merasakan hak-haknya.
Berserikat bukan PRT nglunjak
“Berserikat bukan hanya soal melawan atau ngelunjak ke majikan tapi menambah kapasitas. PRT bukan pekerjaan tanpa keahlian. Sangat membutuhkan keterampilan agar tidak dibilang bodoh atau cuma tenaga ‘nggak pakai otak’,” kata Nur penuh percaya diri.
Memang saat ini Nur telah jadi fasilitator, narasumber, dan pengorganisir aksi. Ia tergabung dengan Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Merdeka Semarang sejak 2009 akhir. Di tahun 2016 ketika Nur menamatkan sekolah, ia memutuskan keluar jadi PRT dan bergabung jadi relawan LBH Apik Semarang, kemudian menikah dan kini telah dikaruniai buah hati.
Begitu pun Jumiyem dan Nanik. Keduanya masih PRT, tapi bukan sosok yang sama lagi sejak tergabung dalam serikat pekerja rumah tangga. Selain mencari nafkah, mereka pun terus menyuarakan hak-hak PRT, mengadvokasi kasus, melakukan aksi, dan mendorong pengesahan RUU PPRT.
Jumiyem adalah pengurus di Tunas Mulia Yogyakarta, serikat PRT pertama di Indonesia yang nantinya ikut melahirkan Jala PRT dan Rumpun Tjoet Nja Dien. Suat saat secara kebetulan, ia mengikuti diskusi di acara pertemuan anggota serikat yang membahas isu perempuan di Yogya.
Esoknya ia langsung mendaftarkan diri di sekolah PRT melalui ajakan seorang teman.
Sekarang kegiatannya yang tak lagi jadi PRT purna waktu, membuatnya bisa mengurus serikat sembari buka usaha jualan dengan temannya.
“Setelah berserikat, saya jadi tahu hak-hak saya. Persoalan PRT pasti tidak hanya di DIY, tapi juga seluruh Indonesia,” katanya. Ia menyampaikan, saat ini gaji rata-rata PRT di DIY hanya berkisar Rp500-800 ribu sebulan. Jarang sekali menyentuh Rp1 juta.
Aksi Aksi Lilin dan Doa Bersama di depan gerbang DPR RI, Kamis, 16 Maret 2023 oleh aktivis Jala PRT. (Sumber: Instagram @jalaprt)
Sedangkan Nanik tergabung dalam Serikat Sapulidi di Jakarta enam tahun belakangan. Ia mengakui sebelum bergabung, dirinya tak tahu apa-apa dan merasa malu jadi PRT.
“Sejak bergabung dengan Sapulidi tidak ada rasa malu (jadi PRT) karena bekerja ini sebagai pilihan saya. Manfaatnya banyak sekali, bisa negosiasi hak saya, dulu nggak berani,” kata Nanik yang kini jadi pengurus bidang pengorganisasian.
Berharap pengesahan RUU PPRT
Berkaitan dengan penetapan RUU PPRT jadi RUU inisiatif DPR, Mojok juga ngobrol dengan Lita Anggraini, koordinator Jala PRT yang juga merekomendasikan tiga narasumber lainnya. Ia mengapresiasi DPR sekaligus mendorong segera berkirim surat kepada presiden.
“Kami menunggu langkah-langkah tersebut segera dilakukan supaya pembicaraan dengan pemerintah segera berlangsung dan terwujud RUU yang implementatif di lapangan,” ujar perempuan yang sudah mendedikasikan diri bagi hak PRT sejak di bangku kuliah ini.
Seterusnya ia bersama Jala PRT yang menaungi berbagai serikat PRT daerah akan terus berkampanye. Lita ingin mengajak masyarakat ikut mensosialisasikan RUU PPRT. Ia pun bertekad terus menjalin lobi komunikasi politik dengan DPR atau pemangku kepentingan.
Perjuangan advokasi yang dilakukan Jumiyem dan aktivis lainnya memang masih terganjal hukum yang belum memihak PRT. Seringkali orang-orang menganggap PRT bukan pekerja melainkan hanya pembantu.
Misal, saat melaporkan kasus kekerasan kepada PRT dan minta tolong kepada ketenagakerjaan, petugas bakal jawab, ‘Ini tidak diatur UU Cipta Kerja’.
“Memang RUU PPRT yang jadi inisiatif DPR jadi kebahagiaan saya dan teman-teman PRT di seluruh Indonesia, termasuk PRT migran. Ini bikin kami lebih semangat untuk advokasi,” pungkas Jumiyem.
Lita, Jumiyem, Nanik, dan Nur pernah menghadapi masalahnya masing-masing. Berangkat dari kesadaran untuk mendapat keadilan. Jumiyem pernah merasa putus asa, Nanik dan Nur pernah merasa gentar, sedang Lita melawan rasa lelah sebab di Jala PRT ia mengadvokasi banyak kasus berat hanya dengan dua orang lainnya. Semuanya kembali bersemangat dan berjuang saat mengingat bahwa PRT harus hidup layak.
Reporter: Ussy Sara Salim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Curhatan Miris Mantan PRT: Dalam Satu Bulan Bobotku Turun 8 Kilo dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.