Iming-iming hunian dengan harga murah di tanah kas desa di DIY membuat banyak kalangan tergiur. Uang tabungan senilai ratusan juta rupiah sampai dana pensiun mereka alokasikan demi investasi hingga mimpi punya rumah. Sayang, angan-angan itu kini berubah jadi nestapa karena harta yang mereka investasikan belum jelas bisa kembali atau tidak.
***
Belasan orang berkumpul di halaman Universitas Proklamasi 45. Dengan wajah datar tanpa senyum, mereka menenteng berkas terkait hunian di tanah kas desa. Berkas yang kini mereka andalkan untuk menagih hak mereka setelah uang ratusan juta rupiah mereka serahkan ke pengembang.
Di hadapan para wartawan, mereka berbagi cerita bagaimana iming-iming dan bujuk rayu investasi hunian murah di tanah kas desa DIY membuat terkesima. Sehingga mereka berani menggelontorkan dana senilai ratusan juta hingga lebih dari satu miliar rupiah.
Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Proklamasi 45 (LKBH UP 45), Philip Joseph Leatemia membuka jumpa pers dengan menegaskan kerugian para korban. Kasus penyalahgunaan izin tanah kas desa di Maguwo, Condongcatur, Caturtunggal, hingga Pakem membuat banyak orang terzalimi.
“Banyak cerita mengharukan, ada yang gagal honey moon perkawinan karena kasus ini. Ada suami istri menabung sepuluh tahun sampai karyawan Transmart tertipu,” tegasnya.
Sampai Sabtu (27/5) saat jumpa pers, LKBH UP 45 telah menerima sekitar 200 laporan korban investasi hunian murah di tanah kas desa DIY. Perkiraan kerugian total mencapai lebih dari Rp200 miliar.
Sebagai informasi, Pergub DIY Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Kas Desa menyebutkan bahwa penggunaan tanah kas desa untuk sewa harus mendapatkan izin dari Kasultanan atau Kadipaten, serta izin dari Gubernur DIY.
Pembangunan rumah di atas tanah kas desa juga melanggar Pergub DIY Nomor Nomor 34 Tahun 2017. Setiap pengguna atau penyewa dilarang menggunakan tanah desa sebagai rumah tempat tinggal.
Curhat para korban yang kehilangan ratusan juta di rumah murah
Seorang pensiunan bernama Darno bercerita ia telah mengeluarkan dana sebesar Rp375 juta untuk dua kaveling tanah dengan total luas 235 meter persegi di Nologaten, Caturtunggal, Sleman. Marketing pengembang menjanjikan kontrak tanah dengan durasi 20 tahun dan bisa diperpanjang hingga dua kali.
Tanah itu tanpa sertifikat. Hanya bermodalkan surat perjanjian investasi (SPI) di depan notaris. Darno mengaku tahu bahwa status tanah itu merupakan tanah kas desa.
“Dengan durasi pemakaian sampai 60 tahun saya niatkan untuk investasi. Rencana ingin saya bangun kos-kosan,” paparnya.
Darno memperkirakan bisa balik modal cepat mengingat lokasi tanah terbilang strategis di sekitar beberapa kampus. Namun sayang, angan-angannya kini di ambang pupus.
“Dari awal saya tergiur harga murah dari marketing,” ujarnya.
Mojok juga berjumpa dengan seorang lelaki paruh baya bernama Gunawan. Ia datang mewakili anaknya yang membeli hunian di tempat yang sama seperti Darno. Gunawan mengaku saat ini proses pembangunan sudah 80 persen.
“Dapur sudah hampir jadi. Tangga sudah bagus. Sudah 80 persen,” cetusnya.
Tia, anak Gunawan, saat ini sedang bekerja di Jakarta. Menurut sang bapak, anaknya membeli hunian untuk ditinggali pribadi saat kelak nanti kembali ke Jogja. Pembayaran sudah lunas lantaran anaknya terlalu percaya dengan pengembang.
Gunawan bercerita kalau dulu pihak pengembang menjelaskan proposal pembangunan kompleks hunian berdampingan dengan sentra kuliner. Rencananya dahulu pembangunan sentra kuliner dibuat terlebih dahulu.
“Tapi sama pengembangnya dibalik, dibangun perumahan dulu, tapi malahan kulinerannya belum jadi sampai sekarang,” terangnya.
Paling parah, ratusan korban Jogja Eco Wisata
Selain mereka masih ada sejumlah korban lain yang memberikan testimoninya. Hingga saat ini, proses hukum di Kejaksaan Tinggi DIY masih terus berlanjut. Beberapa tersangka telah ditetapkan, salah satunya Robinson dari PT Deztama Putri Santosa.
Di antara titik tanah kas desa bermasalah, area hunian berkonsep vila Jogja Eco Wisata. Kompleks tersebut menempati kawasan seluas 22 hektare di Candibinangun, Pakem, Sleman yang terdiri dari ruko dan hunian.
Juru bicara paguyuban korban JEW, Putra mengungkapkan lahan itu terdiri dari tujuh kluster yang terdiri dari ruko, vila dengan Hak Pengelolaan atas Tanah (HPL), dan vila dengan janji mendapatkan SHM.
Pihak paguyuban menuturkan, berdasarkan estimasi mereka, marketing pengembang menawarkan 972 unit di JEW. Hingga saat ini, mereka berhasil mengoordinir 110 orang yang menjadi konsumen.
“Saat ini kami mendata kerugian baru Rp30 miliar. Tapi berdasarkan estimasi kita dengan total unit yang ada, mengingat unit sudah closing semua, kalau misal harga Rp200 juta per unit itu kerugian sampai Rp194,5 milar,” papar Putra.
Sampai saat ini, perkiraan ada 30 persen dari total unit di Candibinangun yang sudah menjalani Berita Acara Serah Terima (BAST) antara pengembang dengan konsumen. Sisanya masih merupakan kaveling dan bangunan yang masih berupa pondasi.
Investor sudah sewakan ke pihak lain
Sebelumnya Mojok mengunjungi area JEW dan melihat sudah banyak aktivitas penghuni di sana. Seorang petugas keamanan menyatakan bahwa sudah lebih dari 50 unit hunian yang sudah jadi. Investor atau konsumen bahkan sudah menyewakan bangunan ke pihak lain.
“Sejak tahun lalu sudah banyak yang menempati. Mayoritas investor menyewakan ke anak kos dan mahasiswa. Saya kurang tahu sudah berapa unit yang terisi, mungkin 50 unit ada,” ujar KD, petugas kemanan di JEW pada Minggu (21/05).
Area tersebut menawarkan panorama Gunung Merapi yang tampak jelas saat cuaca sedang cerah. Lokasinya juga strategis, dekat dengan salah satu perguruan tinggi swasta besar di Jogja.
Sampai saat ini, Satpol PP DIY masih belum menyegel area ini, sehingga aktivitas penghuni masih berjalan seperti biasa. Proses hukum di salah satu tanah kas desa terbesar dengan izin bermasalah ini masih terus berlanjut.
Bagaimana mereka tergiur rumah murah di tanah kas desa
Bagaimana mereka tergiur rumah murah di tanah kas desa
Putra mengaku para investor di JEW tergiur tawaran pengembang karena harga yang murah. Selain itu, saat awal mereka disodori sejumlah berkas-berkas dan jaminan legalitas yang mereka rasa meyakinkan.
Putra menjabarkan beberapa berkas yang ia lihat seperti izin menyewa TKD dari Pemdes Candibinangun tertanggal 4 Juli 2012, SK Bupati tertangal 2 Mei 2012, dikuatkan SK Gubernur 2 Mei 2012. Selain itu ada pula izin sewa TKD dengan PT JEW, membangun Jogja Eco Park yang dalam lahan TKD di dalamnya meliputi tanah kaveling pembangunan resort.
“Hal-hal itu yang kami jadikan landasan investasi dahulu,” paparnya.
Saat mengunjungi JEW, Mojok juga bertemu salah satu investor yang sedang mengecek bangunannya. Jaya* (49) mengaku sudah bertransaksi secara lunas sebesar Rp135 juta pada 2020 silam.
Ia enggan jika para investor mendapat sebutan pembeli. Jaya, sejak awal sadar kalau tanah kas desa tidak bisa diperjualbelikan.
“Kami adalah investor. Jadi pengembang maupun kami tidak melakukan transaksi jual beli. Kami tidak pernah membeli. Setelah masa pemakaian yang kami sepakati ya kami ngikut kebijakannya bagaimana,” ujarnya.
Saat ini, Jaya mengaku terus memantau informasi kelanjutan proses hukum. Ia hanya berharap kalau kawasan ini tidak dirobohkan sampai masa sewa habis.
Para korban memiliki harapan agar bangunan yang sudah jadi bisa mendapatkan legalitas sesuai masa sewa lahan. Jika tidak, mereka masih terus mengejar pihak pengembang supaya bisa memberikan restitusi sesuai nominal yang tertera di SPI.
Pelaksana lapangan LKBH UP 45, Ana Riana mengaku pihaknya akan terus mendampingi para korban yang telah melapor. Namun, mereka fokus pada persoalan antara konsumen dan pengembang. Bukan pada persoalan kerugian negara pada permasalahan ini.
Upaya pertama yang Rian tempuh adalah dengan menjalankan langkah nonlitigasi terhadap pengembang. Besar harapan, pengembang dapat mengembalikan kerugian para korban secara utuh. Namun, jika proses itu terkendala maka LKBH UP45 siap menempuh jalur hukum.
Keunikan dan persoalan tanah kas desa di DIY
Ahli politik agraria UGM, Bayu Dardias mengungkapkan bahwa tanah kas desa di DIY memang punya sejumlah keunikan. Penggunaan lahan ini sebagian besar berasal dari Hak Anggaduh Kasultanan yang penggunaannya melalui izin gubernur yang tertuang pada Pergub.
Ia menilai pengawasan tanah kas desa harus terus dijaga lantaran adanya potensi pemanfaatan oleh individu oknum perangkat desa hingga pejabat. Upaya menjaga tanah ini terus dilakukan melalui penerbitan aturan sejak Sri Sultan HB X menjabat Gubernur DIY pada 1998.
Bayu menilai salah satu alasan penyalahgunaan tanah kas desa, karena harga tanah di Jogja yang terbilang mahal. Para investor mencari celah mendapat tanah murah agar lebih mudah menjual propertinya.
“Bertemunya penawaran dan permintaan yang meningkat, tanpa pengawasan yang kuat, menyebabkan kasus penyalahgunaan TKD akan berpotensi terus terjadi di masa depan,” jelas Bayu.
Ia juga melihat para pengembang semakin lihai mencari cara untuk mengakali regulasi. Salah satunya dengan menawarkan instrumen investasi hunian vila untuk disewakan kembali dengan jangka waktu tertentu.
Kehadiran regulasi terbaru lewat Pergub DIY Nomor Nomor 34 Tahun 2017 membuat banyak permasalahan tanah kas desa bermunculan. Praktik penyalahgunaan sebelum terbitnya aturan itu menurutnya sudah banyak terjadi.
“Aturan itu mendorong penindakan. Ada beberapa perangkat desa yang dipidana. Tapi jumlahnya masih sedikit dibanding penyalahgunannya,” jelasnya pada Mojok.
Ia menyarankan ada kajian ulang terkait proses izin pemanfaatan tanah kas desa. Selain itu, Bayu berharap masyarakat desa bisa lebih banyak terlibat dalam prosesnya sehingga tidak semata antara perangkat desa dan investor. Jika tidak maka kondisinya seperti sekarang, masyarakat tidak mengetahui bahwa alat berat sedang mengeruk tanah desa mereka tanpa izin yang jelas.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Derita Mahasiswa Tinggal di Kos Kumuh dan Suram di Surabaya
Cek berita dan artikel lainnya di Google News