Deretan kampus tutup di Jogja sepuluh tahun terakhir
Pada data terbaru PPDIKTI, saat ini ada 104 perguruan tinggi swasta (PTS) di wilayah di DIY. Jumlah itu terdiri dari beragam bentuk kampus mulai dari universitas, akademi, akademi komunitas, institut, politeknik, sampai sekolah tinggi.
Kampus tutup di Jogja dalam sepuluh tahun terakhir terjadi beberapa kali. Salah satu yang menyita perhatian terjadi pada 2017 silam saat ada lima kampus yang akhirnya harus berhenti beroperasi.
LLDIKTI yang saat itu masih bernama Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) menilai sejumlah perguruan tinggi itu tidak memenuhi standar. Kelimanya yakni Akademi Kesejahteraan Sosial Tarakanita Yogyakarta, Akademi Teknologi Otomotif Nasional Yogyakarta, Akademi Sekretari dan Manajemen Indonesia Bantul Yogyakarta, Akademi Seni Rupa dan Desain Akseri Yogyakarta, dan Akademi Keuangan dan Perbankan YIPK Yogyakarta.
Salah satu kampus yang tutup di Jogja adalah Politeknik PPKP yang beralamat di Jalan Kaliurang kilometer 4,5 gang Kinanti. Pada laman PDDIKTI, keputusan penutupan tercantum pada 64/M/KPT/2019. Tapi sampai tulisan ini tayang, Mojok belum berhasil mengonfirmasi apakah kampus itu ditutup oleh kementerian atau berdasarkan keputusan lembaga sendiri.
Menyambangi lokasi bekas kampus
Kampus-kampus yang sudah tutup itu hilang. Tanpa sisa penanda pernah ada institusi pendidikan yang mencetak para sarjana di lokasi-lokasi itu saat ini.
Saya mencoba menelusuri jejak beberapa kampus tersebut. Setelah meninggalkan STISIP Kartika Bangsa, saya menuju tempat Akademi Keuangan dan Perbankan YIPK Yogyakarta pernah berdiri. Tepatnya di Jalan Lowanu No 31 Yogyakarta.
Saat sampai di lokasi tepatnya, sudah tidak ada tanda bekas keberadaan kampus yang berdiri pada 10 November 1968 ini. Di tempat dengan nomor alamat yang sama, saat ini berdiri gudang sebuah perusahaan ekspedisi.
Sudarna, satpam gudang tersebut bahkan tak tahu kalau dulu pernah ada kampus beralamat di sini. “Wah saya malah baru tahu. Setahu saya dari dulu ini gudang,” terangnya.
Seingatnya, sebelum perusahaan ekspedisi ini, gudang digunakan oleh sebuah produsen minuman multinasional. Ia menyarankan saya untuk mengecek area di sekitar yang mungkin memang jadi bekas gedung itu.
Sekitar 100 meter di sisi utara gudang tersebut memang ada kampus lain yang masih eksis yakni STIE Widya Wiwaha. Keduanya memang sama-sama punya ciri sebagai kampus dengan program studi di bidang ekonomi dan keuangan. Tapi STIE Widya Wiwaha berdiri pada 1982 dengan izin operasional Kopertis Wilayah V Yogyakarta Nomor: 206/KOPV/02/VI/84. Sehingga punya sejarah berbeda dengan Akademi Keuangan dan Perbankan YIPK Yogyakarta.
Berlanjut ke utara, saya mengunjungi lokasi yang menurut data PDDIKTI merupakan alamat Akademi Seni Rupa dan Desain Akseri Yogyakarta. Letaknya di Jalan Affandi Gejayan No 5, Mrican, Caturtunggal, Sleman. Namun alih-alih kampus, di sana berdiri gedung SMA GAMA Depok Yogyakarta.
Kampus-kampus kecil dan sudah tutup ini nyaris tak meninggalkan jejak. Hilang nama dan jejak sisa bangunannya. Sebuah kampus lain yang sudah tutup, Akademi Teknologi Otomotif Nasional Yogyakarta, tanahnya sudah beralih menjadi sebuah pom bensin. Dulu kampus ini terletak di tepi Ring Road Utara tak jauh dari Universitas Teknologi Yogyakarta.
Mengapa kampus-kampus kecil berguguran
Jogja menyandang predikat kota pendidikan. Predikat tersebut membuat Jogja menjadi magnet bagi pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah. Hal itu, menurut Prof Edy Suandi Hamid, menjadikan perguruan tinggi tumbuh subur.
“Kalau membandingkan dengan provinsi lain di Jawa, jumlah kampus di Jogja sebenarnya tidak terlalu banyak. Tapi ini provinsi kecil dengan penduduk hanya 3 jutaan jiwa, jadi jumlah kampusnya termasuk tinggi,” terangnya.
Sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (2011-2015) ini melihat banyak perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa yang kurang ideal. Beberapa ada yang hanya memiliki kurang dari 100 mahasiswa. Situasi itu kerap menjadi tantangan bagi kampus-kampus kecil.
Menurutnya, kampus-kampus gagal mendatangkan mahasiswa salah satunya karena manajemen yang buruk. Pihak yayasan dan manajemen tidak mampu menghadirkan SDM yang kompeten untuk mengisi posisi-posisi strategis di kampus.
“Kalau seandainya manajemen baik tentu tidak berakhir tutup. Saya melihat ada yayasan yang punya spirit. Tapi terkadang spiritnya juga salah, hanya berorientasi komersil semata,” papar Rektor UII 2006-2014 ini.
Kampus kecil bertahan kalau punya keunikan
Menurutnya, tidak adanya komitmen kampus untuk berkembang dan menghadirkan pendidikan berkualitas lah yang akhirnya membuat mereka mengalami krisis. Ia juga menyoroti keberadaan kampus-kampus yang tidak menegakkan norma akademik.
“Jangankan untuk menghidupkan budaya akademik yang baik, norma akademik-nya saja tidak berjalan,” terangnya. Edy menyayangkan eksistensi kampus yang hanya sekadar menjadi tempat mencari ijazah semata.
“Tanpa ujian orang bisa lulus, tanpa ikut kelas bisa lulus. Itu yang terjadi. Sehingga, kalau nggak tutup justru merugikan masyarakat,” tegasnya.
Sosok yang menjabat sebagai Rektor Universitas Widya Mataram ini menjadikan kampusnya sebagai contoh. Dulu, UWM mengalami sejumlah kendala termasuk untuk mendatangkan mahasiswa, tapi berkat perbaikan manajemen, perkembangan signifikan mulai terasa.
Ia menjelaskan, salah satu cara agar kampus kecil dapat bertahan adalah memiliki keunggulan dan keunikan sebagai nilai tawar. Spesialisasi di program studi atau bidang tertentu dapat membantu kampus untuk menarik minat mahasiswa pendaftar.
“Misalnya UII kita tahu fakultas hukumnya bagus. Hal itu membuat banyak orang ingin ke sana. Urusan IT, ada Binus, di Jogja juga ada Amikom. Kampus Muhammadiyah pun begitu, selain keunggulan mutu masing-masing, secara umum mereka menawarkan keseimbangan pengetahuan dan agama,” pungkasnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kuliah Sambil Kerja Begitu Melelahkan dan Hanya itu Pilihan Mereka dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.