Kalau urusannya cuma fashion show di zebra cross, simpang empat Pingit, di Kota Jogja bisa jadi pilihan. Sampai sekarang, ini jadi lampu merah terlama di Jogja, tapi bukan yang terpanjang antreannya.
***
Suara klakson bersahut-sahutan. Wajah Jogja yang kata banyak orang ramah dalam hal klakson tampaknya sulit menemuinya di titik ini. Persimpangan dengan durasi lampu merah atau alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL) yang disebut-sebut terlama dengan volume kendaraan terpadat se-provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Mana lagi kalau bukan perempatan Pingit.
Saking lamanya, alih-alih di Jalan Gejayan atau Malioboro, kalau Citayam Fashion Week diadaptasi ke Jogja, banyak orang yang mengusulkan di perempatan ini. Di zebra cross, barangkali Bonge, Jeje, dan kawan-kawan bisa berjalan manja sambil melambaikan tangan ke pengendara tanpa perlu khawatir tiba-tiba lampu hijau menyala.
Senin (1/8) sore sekitar pukul 17.00, raut lelah tampak di wajah para pengendara yang sedang berhenti salah satu simpang empat dengan volume kendaraan paling padat di Jogja ini. Hari Senin yang bertepatan dengan awal bulan, orang-orang yang pulang kerja dan harus bersabar karena berjumpa durasi lampu merah yang bikin ngelus dada.
Masalahnya bukan cuma urusan durasi, antrean kendaraan yang padat membuat pengendara harus mengalami dua bahkan tiga kali lampu merah. Lantaran lampu hijau hanya bisa meloloskan sebagian kendaraan saja. Urusan ini membuat banyak guyonan di antara kawan, “kalau ada jalan lain, sebaiknya tidak lewat Pingit.”
Jadi tempat nyanyi atau curhat
Kholilulloh (23), pemuda yang tiga tahun belakangan bekerja di sebuah roastery kopi di Jalan Magelang mengaku kerap menghadapi cobaan di simpang Pingit. Bukan sekadar durasi lampu, ada hal lain yang membuatnya kerepotan.
“Nah, sebelum simpang Pingit itu kan ada persimpangan-persimpangan kecil di kanan jalan. Itu bikin tambah macet. Apalagi di sana, sambil nunggu antrean kadang disamperin pengamen waria. Wes pokok e kalau ada acara jam 17.00, terus jam 16.30 kamu masih di sana, ojo ngarep cepet,” curhatnya.
Jika Kholil penuh sambat, mahasiswi MMTC semester akhir bernama Ida Setyaningsih mengaku punya cara menikmati lamanya waktu tunggu di tempat itu. Saat menaiki motor dari arah Tugu, ia bisa sing along bersama suara merdu pengamen yang sempat mangkal di sudut antara Jalan Diponegoro dengan Jalan Magelang.
“Idealnya kan lewat alternatif masuk Jalan Asem Gede yang polisi tidurnya berjajar itu. Tapi kadang bablas ke bangjo situ. Bosennya nunggu ketolong sama pengamen yang niat banget itu pake sound. Kalau lagi boncengan sama teman malah bisa disambi curhat,” ujarnya.
Simpang empat Pingit yang legendaris ini mempertemukan Jalan Magelang (utara), Jalan Tentara Pelajar (selatan), Jalan Kyai Mojo (Barat), dan Jalan Diponegoro (timur). Sore itu, saya datang dari selatan ke arah utara. Motor saya parkirkan di depan sebuah toko yang letaknya di Jalan Poncowinatan, sisi timur Jalan Magelang.
Misi saya kali itu adalah menghitung durasi lampu merah dan hijau di setiap sisi simpang empat ini. Berurutan mulai dari sisi utara, timur, selatan, dan barat. Saya yakin setiap sisinya punya durasi yang berbeda. Sebab volume kendaraan dari masing-masing arah juga beragam.
Sisi utara (Jalan Magelang)
Perhitungan saya lakukan secara manual menggunakan pencatat waktu di ponsel. Sekilas tampak mudah, namun perlu ketelitian tinggi. Sebab konsentrasi kadang-kadang bisa pecah karena klakson pengendara yang bisa tiba-tiba berbunyi di depan Anda.
Menurut pengamatan saya, arah dari utara punya volume kendaraan yang paling banyak ketimbang sisi lainnya. Jika sedang padat-padatnya, antrean kendaraan bisa mengular panjang sampai mendekati simpang tiga Jalan RW Monginsidi, dekat Borobudur Plaza.
Sore itu memang antrean kendaraan di sisi utara tak sampai sana. Tapi tetap saja, paling padat di antara sisi yang lain. Perhitungan sempat saya ulangi beberapa kali. Beberapa kali saya luput memencet tombol berhenti di pewaktu. Ada saja yang mengalihkan perhatian saya di titik ini.
Setelah mencoba beberapa kali, perhitungan saya menunjukkan lampu merah di sisi utara punya durasi 2 menit 55 detik. Sedangkan lampu hijaunya punya durasi 50 detik.
Sisi timur (Jalan Diponegoro)
Perhitungan usai, saya lanjut berjalan ke sisi timur. Sambil duduk di bawah pohon, saya coba hitung durasi lampu lali lintas di sisi ini. Volume kendaraan di sisi ini tak seramai utara. Tapi perhitungan saya menunjukkan kalau durasi berhenti kendaraan justru lebih lama. Sisi timur ini lampu merahnya punya durasi 3 menit 5 detik. Sedangkan hijaunya sama yakni 50 detik.
Sisi selatan (Jalan Tentara Pelajar)
Saya lanjut menyeberang ke selatan. Ngemper di teras bengkel Yamaha sambil melihat pengamen berkostum Sasuke mengais rezeki di tengah lamanya durasi lampu merah di sini. Perhitungan saya menunjukkan kalau sisi selatan punya durasi yang sama dengan utara. Lampu merahnya berdurasi 2 menit 55 detik sedangkan lampu hijau 50 detik.
Saya hendak menyeberang ke arah timur, tapi penasaran untuk berbincang dengan pengamen berkostum Sasuke tadi. Saat ia membuka topengnya, tampak wajah seorang pria yang penuh keringat.
Pria bernama Ari Dwi Santoso (32) itu mengaku kelelahan setelah menggunakan kostum Sasuke di tengah terik siang hingga sore ini. Belum lagi, ia juga mengalungi music box sekaligus wadah untuk menampung uang receh dari pengendara.
Awalnya saya punya asumsi kalau durasi lampu merah yang lama membuat pemasukan Ari bertambah banyak. Sebab tentu ia punya lebih banyak kesempatan untuk menghampiri kendaraan.
“Lebih capek iya, kalau duitnya lebih banyak belum tentu,” katannya dengan nafas yang masih terengah-engah.
Ari mengaku sudah pernah menjajal beberapa titik untuk mengamen. Mulai dari simpang empat Wirobrajan hingga pertigaan menuju Jalan Godean dari arah timur. Semua titik itu punya durasi lampu merah yang lebih cepat ketimbang di Pingit.
“Tapi ternyata, duitnya ya sama saja. Malahan kadang lebih banyak di tempat lain. Mungkin karena orang-orang yang berhenti di sini mood-nya jelek, udah capek terus kudu menunggu lama,” ucapnya tertawa.
Sebelum mulai mengamen, ia mengaku sudah melakukan riset terkait durasi lampu merah.
Namun, ternyata riset yang ia lakukan menunjukkan durasi lampu merah di sini rata-rata empat menit. Kami pun berdebat alot soal hal ini.
“Iya bener, dulu saya hitung itu empat menit semua ini rata-rata lampu merahnya di keempatnya,” ujarnya kekeh.
Sisi barat (Jalan Kyai Mojo)
Debat dengan Ari tidak menemui titik tengah. Saya berpegang teguh pada hitungan yang baru saja saya lakukan, ia pun tetap bertahan pada hasil risetnya dulu. Hendak kami hitung ulang bersama-sama tapi kok rasanya lelah juga. Akhirnya saya lanjut ke titik terakhir di sisi barat.
Ada pos polisi cukup besar di sisi ini. Beberapa mobil patroli polisi terparkir. Ketimbang bergabung bersama aparat di pos polisi, saya memilih menghitung sembari duduk di depan warung yang tampak kosong dan tak berpenghuni. Ternyata perhitungan saya menunjukkan sisi barat punya kesamaan dengan timur. Durasi lampu merahnya 3 menit 5 detik dan hijau 50 detik.
Perhitungan saya menunjukkan kalau titik yang saling berhadapan punya durasi yang sama. Sisi barat dan timur sedikit lampu merahnya sepuluh detik lebih lama ketimbang dua sisi lainnya. Sedangkan hijaunya sama semua. Untuk lampu kuning tanda bersiap, semua titik punya durasi sekitar tiga detik.
Sekali siklus APILL di Pingit memang hampir cukup untuk menghabiskan sebatang rokok Marlboro Merah. Menurut sebuah penelitian mutakhir yang dilakukan saudara Prabu Yudianto, sebatang Marlboro Merah punya durasi hisap sekitar 6,5 menit.
Itu artinya, sambil menghitung durasi APILL di sana memang cocok sambil nyebat. Ingat, ini menghitung di pinggir jalan, bukan sambil berkendara. Merokok sambil berkendara merupakan hal hina, bahkan di antara sesama perokok. Namun, saat itu saya memlih untuk tidak melakukannya, lantaran butuh konsentrasi penuh untuk memencet pewaktu secara tepat.
Perhitungan memang sudah selesai, tapi saya rasa ini belum tentu valid. Saya akui, sulit menghitung durasi pasti dengan cara manual. Maka dari itu, saya menghubungi Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta untuk mengonfirmasi beberapa hal penting terkait simpang Pingit.
Dari Pingit, saya pindah ke Giwangan, tempat Kantor Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta berada. Saya bertemu dengan Harry Purwanto, Analis Kebijakan Ahli Muda Kelompok Substansi dan Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta.
“Jabatan saya panjang sekali kan, Mas,” kata Harry tertawa. Betul sekali Pak, batin saya, sepanjang antrean kendaraan di bangjo Pingit.
Menurut Harry, simpang Pingit memang menjadi perhatian pihaknya sejak lama. Volume kendaraan dari berbagai sisi sudah sangat tinggi. Terutama dari sisi utara. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya kendaraan yang masuk ke Jogja dari arah Jombor.
“Dari arah utara paling besar volumenya. Keberadaan flyover Jombor membuat tidak ada lampu merah di bawahnya, jadi langsung masuk, arusnya lebih cepat. Akhirnya di kaki utara (simpang Pingit) durasi hijaunya lebih lama (untuk mengurai kepadatan),” jelasnya.
Saat ini, APILL simpang Pingit menggunakan teknologi detektor khusus. Detektor ini bisa membaca kepadatan antrean kendaraan dan melakukan penyesuaian durasi lampu merah dan hijau.
“Detektor bisa membaca ketika antrean sudah maksimal, nanti otomatis akan menambah durasi waktu lampu hijau dan mengurangi merahnya. Jadi meskipun simpang Pingit itu waktu tunggunya lama, tapi rata-rata begitu sudah hijau habis lah antreannya gitu” katanya.
Namun, pada kondisi tertentu saat ada lonjakan volume kendaraan di semua sisi, detektor itu dinonaktifkan. Hal itu sering dilakukan saat musim liburan.
“Kondisi anomali seperti liburan begitu, alat itu tidak kita fungsikan, kita pakai manual. Sebab ketika hijau di satu ruas bertambah, nanti akan mengurangi atau menambah merah di ruas yang lain. Padahal semuanya padat,” tambahnya.
Sampai saat ini, APILL di simpang Pingit belum dibekali teknologi Area Traffic Control System (ATCS) yang memungkinkan penyesuaian durasi dikontrol dari Dishub. Harry menuturkan, baru tahun depan ATCS akan memasangnya.
Saya lantas memaparkan hasil perhitungan manual yang saya lakukan. Harry berujar bahwa perhitungan tersebut sepertinya betul. Tapi belum yakin. Ia berkata akan menyusulkan data siklus APILL Pingit versi Dishub kepada saya. Namun, sampai tulisan ini terbit, data tersebut belum saya terima.
Lampu merah Condongcatur yang termasuk lama
Selain itu, saya juga berkunjung ke Dishub DIY di Babarsari, Sleman untuk menggali informasi persimpangan padat lain di Jogja. Terdapat 64 simpang dengan ATCS di Yogyakarta (10), Sleman (28), Bantul (19), dan Kulon Progo (7) yang berada di bawah kewenangan Dinas Perhubungan DIY. Simpang Pingit tidak termasuk di dalamnya.
Dalam data yang saya terima dari Dinas Perhubungan DIY, APILL dengan durasi terlama di bawah kewenangan mereka yakni simpang Condongcatur. Meski terlama, ternyata total durasi persinyalan simpang Condongcatur yang menghubungkan Jalan Afandi dengan Jalan Anggajaya ternyata hanya 184 detik.
Siklus 184 detik itu sudah termasuk lampu merah, kuning, dan hijau. Sedangkan di simpang Pingit, menurut perhitungan saya 180 detik itu baru lampu merahnya saja.
Seperti di Pingit, siklus APILL arah utara-selatan dan barat-timur di Condongcatur juga berbeda. Arah utara-selatan durasi lampu merahnya 151 detik, hijau 30 detik, dan kuning 3 detik. Sedangkan arah barat-timur durasi lampu merahnya 131 detik, hijau 50 detik, dan kuning 3 detik.
Dulu, simpang Kentungan di barat Condongcatur juga punya kepadatan serupa. Tapi kehadiran underpass yang mulai beroperasi di Kentungan tahun 2020 lalu lumayan bisa mengurai kepadatannya.
Namun, sebenarnya, durasi APILL kerap berubah-ubah. Terutama di titik-titik yang sistem ATCS sudah terpasang. Melalui control room di Dishub, lampu merah dan hijau bisa diatur sedemikian sesuai situasi dan kondisi di lapangan.
“Sering juga ada keluhan yang masuk dari masyarakat atau permintaan dari Satlantas di lapangan. Itu bisa kita atur sesuai kondisi,” ujar pihak Dinas Perhubungan DIY yang enggan disebut namanya, Kamis (4/8).
Simpang terpadat di DIY
Dinas Perhubungan DIY juga memberikan data panjang antrean kendaraan simpang ATCS tertinggi dalam sehari di bulan Juli 2022 untuk daerah Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Berhubung teknologi yang tersedia di DIY belum menggunakan Artificial Intelligence (AI), maka baru bisa mengukur panjang antrean, belum bisa detail jumlah kendaraan.
Di Kota Yogyakarta, antrean terpanjang berada di simpang Demangan dengan panjang antrean tertinggi dalam sehari mencapai 370 meter. Tentu bagi yang biasa berkendara di Jogja, tak asing lagi dengan kepadatan kendaraan di depan Lippo Plaza. Ketika sudah bisa melihat boneka angin di Toko Cat WAWAWA, berarti Anda sudah berhasil melewati kepadatan di sana.
Selanjutnya di Sleman, seperti yang sudah dipaparkan tadi, antrean terpanjang ada di simpang empat Condongcatur. Panjang antrean kendaraan maksimal yang tercatatat dalam sehari di bulan Juli 2022 pernah mencapai 480 meter.
Terakhir, untuk Bantul memang cenderung lebih lengang ketimbang dua tetangga daerahnya tadi. Antrean terpanjang ada di simpang Ketandan. Rekor panjang antrean di sana ada di angka 256 meter. Berbahagialah warga Bantul.
Menurut narasumber, ada beberapa titik lampu APILL yang sudah sulit untuk mensiasati kepadatannya. Pertumbuhan kendaraan di Jogja begitu tinggi, sedangkan lebar jalan ya segitu-gitu saja.
“Kalau kami menyebut titik-titik tersebut sebagai titik ‘jenuh’,” ujar narasumber.
Jogja memang semakin padat. Pihak Dishub DIY mengakui beragam langkah pengendalian yang mereka lakukan di simpang maupun ruas jalan, tidak berguna banyak kalau jumlah kendaraan yang memadati jalanan Jogja terus bertambah. Lalu bagaimana solusinya? Nah ini yang belum kami diskusikan lebih lanjut.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Rasanya Nyobain Terapi Peninggi Badan dari Brosur Lampu Merah