Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit, sial betul. Kedatangannya ke Solo tidak bermaksud untuk ngumpet dalam jangka waktu yang panjang. Pemimpin tertinggi Partai Komunis Indonesia ini diduga kuat hanya transit sebelum mencari tempat yang tepat.
***
“Malam itu pukul 02.00 mobil-mobil tentara berseliweran,” kata Suprapto (70), warga Kampung Sambeng, Kelurahan Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, Solo mengingat kejadian 22 November 1965. Prapto, saat kejadian masih berusia sekitar 13 tahun. Rumahnya hanya berjarak satu petak pekarangan dengan rumah tempat persembunyian DN Aidit.
Malam itu, Kampung Sambeng bisa dibilang mencekam, warga di Sambeng tidak tahu jika rumah tersebut menjadi tempat persembunyian buronan paling dicari di Indonesia saat itu, Ketua PKI DN Aidit. Tentara dari Brigade Infanteri IV Kostrad, pimpinan Kolonel Jasir Hadibroto mengepung rumah tersebut.
Usai menangkap DN Aidit, malam itu seluruh lelaki dewasa di Kampung Sambeng dikumpulkan. Dibawa oleh tentara ke suatu tempat.
”Semua laki-laki dibawa ke Baluwarti, markasnya tentara di sana. Saya nggak dibawa karena saat itu saya dianggap masih kecil, wong saya masih SR (sekolah rakyat). Bapak saya ikut dibawa,” kata Prapto.
Semua laki-laki dewasa itu dibawa untuk diinterogasi. Sebagian dipulangkan, sebagian lagi tidak kembali. “Karena nggak salah apa-apa dan nggak ada kaitannya, bapak saya terus dipulangkan,” katanya.
Disembunyikan warga bernama Kasim
Keluarga Prapto dan Warga Sambeng hanya tahu bahwa rumah tersebut dikontrak dan dihuni oleh orang yang bernama Kasim. Penghuni itu dikenal keluarga dan tetangganya sebagai pegawai bea cukai.
Setelah peristiwa itu, Kasim pun tidak pernah terlihat kembali ke kampung Sambeng. ”Nggak pernah kembali. Dia kan ngontrak di situ awalnya, setelah ditangkap dia nggak pernah kembali lagi. Istri dan ketiga anaknya juga nggak kembali. Nggak tahu, kemananya mereka (setelah peristiwa penangkapan) saya nggak tahu,” katanya.
Warga pun tak pernah menyangka jika rumah tersebut ditinggali oleh DN Aidit. Sebab selama ini Kasim pun terlihat sebagai tetangga yang baik. Bahkan warga tidak tahu jika ada tamu yang tinggal di rumah Kasim.
”Kami tahunya ya tiba-tiba ada banyak tentara yang datang. Pak Kasim awalnya keluar dan menemui tentara, setelah terdesak, itu (Aidit) keluar dari dalam rumah. Malam-malam jam 2 pagi. Paginya semua laki-laki juga dibawa tentara itu. Istri-istri saat itu kaget dan khawatir,” urai Prapto.
Prapto tengah mengenang peristiwa tersebut. Dimana saat itu dia masih kecil dan mendengar para orang dewasa selalu bercerita tentang peristiwa penangkapan Aidit ini.
Dia mengenang rumah yang dikontrak Kasim merupakan rumah sederhana. Rumah dengan lapisan dinding tembok setinggi satu meter dan sisanya ditutup dengan kayu. Ia mengingat betul kondisi rumah tersebut.
Sebab rumahnya yang saat itu ditinggali Kasim hanya berjarak satu pekarangan rumah dengan lebar tak sampai sepuluh meter.
Saat ini bangunan yang sempat ditinggali Aidit itu berubah total. Karena berganti pemilik, rumah ini diubah dengan bangunan yang lebih modern. ”Dulu rumah itu milik Bu Harjo, kemudian disewa Pak Kasim itu. Sekarang sudah ganti pemilik,” katanya.
Hubungan dekat DN Aidit dengan Solo
Ketua Solo Societeit Dani Saptoni, komunitas yang menggeluti tentang sejarah, mengatakan bahwa DN Aidit memang memiliki hubungan yang cukup erat dengan Kota Solo. Ia pernah tinggal selama beberapa tahun di Solo dan memiliki istri orang Solo.
”Dia memang sempat tinggal di Bumi, Laweyan. Bahkan istrinya pun orang Solo,” katanya.
Bahkan pasca-peristiwa PKI di Madiun tahun 1948, Aidit pernah ditangkap di daerah perempatan Pasar Legi dan kemudian dibawa untuk dikurung di Kantor Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo.
Namun, ia kemudian berhasil lolos dan bergabung dengan kekuatan kaum kiri. ”Itu jauh sebelum peristiwa tahun 1965,” katanya.
Menurut Dani, pelarian Aidit di tahun 1965 yang kemudian bersembunyi di Kampung Sambeng hanya sebuah kebetulan belaka. Hal ini merujuk pada beberapa literatur yang pernah ia baca. Aidit tertangkap di Sambeng karena kampung ini berlokasi di dekat Terminal Gilingan yang saat ini bernama Terminal Tirtonadi dan Stasiun Balapan. Saat itu Aidit hanya berniat singgah saja di Solo.
”Jadi mudah untuk pelarian karena lokasinya strategis. Kalau melihat fakta tertangkapnya DN Aidit, melalui acuan buku-buku yang saya baca, Aidit dimaksudkan di situ cuman transit. Nggak ada niatan menetap,” katanya.
Sejak era pasca-proklamasi, Solo sudah dikenal sebagai pusatnya oposisi. Bahkan Tan Malaka menetap di kota Solo. ”Sudah sejak dulu Solo dikenal sebagai kota revolusi,” katanya.
Namun, dengan adanya fragmen tertangkapnya Aidit di Sambeng, bukan berarti saat itu Kampung Sambeng merupakan basis komunis. Sebab pada periode tersebut kaum kiri di Solo itu banyak dan merata, tidak hanya di Sambeng.
”Apalagi saat itu PKI partai besar,” katanya.
Menurutnya masyarakat secara psikologisnya tidak mengaitkan antara Sambeng dengan basis PKI. Jika dikaitkan dengan Aidit, Sambeng hanya berupa lokasi penangkapannya saja.
Hanya saja, Sambeng memang dikenal sebagai tempat dengan masyarakat heterogen.
Lokasinya sangat dekat dengan Stasiun Balapan dan Terminal Tirtonadi menyebabkan Sambeng lekat dengan keramaian. Sehingga membuat masyarakatnya sangat heterogen dan banyak muncul kerawanan serta kriminalitas tinggi.
”Ini merupakan ciri hunian perkotaan. Jika lokasinya di pusat-pusat keramaian seperti pusat transportasi dan pasar pasti rawan konflik dan banyak gesekan juga. Karena dipastikan tempat semacam ini banyak pendatangnya. Dan ini lumrah terjadi,” katanya.
DN Aidit, dieksekusi sehari kemudian
Setelah satu bulan lebih dalam pelarian, DN Aidit akhirnya ditangkap oleh Brigadi Infanteri IV Kostrad. TNI AD menggelar operasi intelejen untuk mencari sosoknya. Perlu waktu tiga minggu bagi pasukan pimpinan Kolonel Jasir Hadibroto untuk menemukan lokasi pasti persembunyian DN Aidit.
Mengutip Historia.id yang melansirnya dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang, wartawan Senior Julus Pour menulis, setelah tiga minggu melakukan operasi intelejen ditemukan informasi bahwa pada 21 November, persembunyian Aidit pindah dari Kletjo, yang terletak di Solo bagian barat ke Kampung Sambeng.
Pengepungan sendiri seperti tertulis dalam buku tersebut dilakukan mulai pukul 21.00 WIB oleh pasukan yang dipimpin oleh Letnan II Inf Ning Prajitno. Konon, sosok DN Aidit kemudian ditemukan di balik sebuah lemari pakaian.
Usai ditangkap, DN Aidit meminta kepada Kolonel Yasir untuk dipertemukan dengan Presiden Soekarno. Namun, permintaan itu kemudian ditolak mentah-mentah.
Sehari setelah penangkapan, di pagi buta tanggal 22 November 1965, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo menuju Boyolali, ke markas Batalyon 444. Di tempat itu, Yasir membawa DN Aidit ke sebuah sumur tua. Saat diminta menyampaikan permohonan terakhir, DN Aidit justru berpidato berapi-api. Yasir kemudian memberondong tubuh DN Aidit dengan AK 47, membuat pimpinan PKI tersebut jatuh ke sumur tua.
Reporter: Novita Rahmawati
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Etika Kaum Komunis Tidak Memaksa Mereka yang Beragama Meninggalkan Kepercayaannya