Di Jogja ada mahasiswa-mahasiswa yang memilih untuk tidak tinggal di kos atau kontrakan. Mereka lebih memilih nomaden atau berpindah-pindah dengan menumpang tidur di kamar kos teman, sekretariat organisasi, atau tidur di warung kopi yang buka 24 jam.
Mojok berbincang dengan Fajri dan Agus sebagai mahasiswa yang hidup nomaden. Kemudian mendengar cerita dari Kamil, orang yang kamar kos-nya kerap disinggahi temannya yang berpindah-pindah.
***
Diambilnya sebuah hoodie dari balik pintu kamar lalu dikenakannya. Ia terlihat bersiap-siap hendak keluar. Penasaran, membuat saat bertanya, akan ke mana dia. “Mau mandi dulu di kos temen,” jawabnya sambil berlalu. Malam itu sekitar pukul 19.00 WIB.
Namanya Fajri, teman saya di unit kegiatan mahasiswa (UKM), seorang mahasiswa angkatan 2021 asal Pulau Sumatra yang kuliah di salah satu kampus negeri di Yogyakarta. Sudah sekitar satu tahun ia memilih hidup berpindah-pindah. Malam itu, ia harus mandi di kos temennya karena tak membawa baju ganti.
Saya bertemu dengannya lagi esok hari. Sinar matahari yang redup ditemani dengan hembusan angin yang sedikit lembab, membersamai obrolan kami siang itu. Fajri punya banyak stok baju. Namun, karena ia tak punya kos sama sekali, bajunya ia titipkan di kos temennya. Mandi dan tidur kadang tak menentu. Asal sedang membawa selembar baju ganti, ia bisa mandi di manapun.
“Mandi bisa di mana aja, siap-siap di mana aja. Yang penting ada baju,” katanya dengan santai. Ia juga melanjutkan bahwa hidupnya tidak terlalu repot karena tak perlu punya banyak barang.
Dengan begitu bila ia lupa membawa baju, tentu harus kembali dulu ke kos temannya atau bahkan langsung mandi di situ. Meski menurut penuturannya ia lebih sering menginap di sekretariat UKM di kampusnya.
Kiriman dari orang tua yang tak mencukupi
Sambil genjreng-genjreng gitar tanpa bernyanyi sedikitpun, Fajri memaparkan alasan mengapa ia harus hidup seperti masyarakat prasejarah. Fajri memilih nomaden karena alasan ekonomi. Kiriman orang tuanya, kalau dihitung-hitung tak mampu menutupi kebutuhan apabila memilih ngekos sendiri. Selain itu, kondisi mental akibat permasalahan ekonomi tadi sedikit mengganggunya, sehingga butuh baginya hidup dalam keramaian.
“Ya alasan ekonomi satu, jelas. Yang kedua kondisi yang mengikuti ekonomi, jadi banyak masalah-masalah. Bukan belum berani sih, [tapi] pengen di keramaian terus, pengen ada temen terus,” sambungnya tanpa menunjukkan raut muka kesedihan.
Beberapa bulan yang lalu demi menambal sedikit bolong-bolong masalah ekonominya, Fajri bekerja sebagai karyawan di warung kopi daerah Sorowajan. Warung kopinya ramai, tapi gaji Fajri bahkan tak sampai separuh dari UMR Jogja. Padahal kerjaan yang katanya part time itu menyita waktunya delapan jam juga, sama seperti full time.
“Uang ku dari sana [orang tua] gak nentu sih, sebulan tuh gak ada pastinya. Kalau lagi ada rejekinya alhamdulillah ya. Tapi jarang juga sih nyampai satu juta sebulan tuh. Kadang gak ada sama sekali,” kata Fajri. Kondisi ketika tidak ada kiriman membuatnya kemudian menjadi pekerjan part time.
Hanya enam bulan ia kerja di kafe itu. Kini telah resign karena kuliahnya yang sudah tatap muka. Selanjutnya ia mencoba mencari pekerjaan baru yang waktunya bisa sesuai dengan jadwal kuliah.
Menurut penuturan Fajri, angka pengeluaran satu juta rupiah sebulan itu tak ada rincian khusus. Yang jelas itu sudah menanggung kehidupannya selama sebulan. Jika dihitung-hitung, kos-kosan sederhana daerah kampusnya rata-rata Rp400 ribu per bulan. Bila ia ambil, sisa uangnya merupakan jumlah yang sedikit untuk memenuhi kebutuhan pangan. Itu dengan catatan ia mendapat kiriman rutin sejumlah Rp1 juta, tapi seringnya tidak ada kiriman.
Di tempat lain ada Agus (bukan nama sebenarnya), yang juga hidup berpindah-pindah. Tapi bagi saya ini top tier di kalangan mahasiswa nomaden. Bagaimana tidak, semenjak menjadi mahasiswa baru di tahun 2014, Agus berselancar dari kos teman ke satu ke kos teman yang lain hingga ia menginjak semester sepuluh.
Semua itu terjadi dengan sebuah alasan, rumahnya yang di Magelang mepet ke Jogja. Orang tuanya berpikir bahwa Agus lebih baik ngelaju, sayang bila ngekos. Namun, karena Agus sendiri hendak merasakan hidup sebagai anak kos, ia kerap mencari alasan dan memilih tidur di kosan teman.
“Karena di kampus itu banyak yang ngekos, aku pengen di kos temenku. Nah ku pikir ini adalah sebuah kesempatan lah buat nyobain jadi anak kos. Aku selalu nyari-nyari alasan pada orang tua biar bisa selalu nginep di kos temenku apapun itu alasannya,” imbuh Agus.
Selain ingin merasakan menjadi anak kos, sebenarnya jarak rumah yang memakan waktu kurang lebih 45 menit itu membuatnya sedikit lelah bila harus pulang pergi. Karena itu, beberapa teman ia datangi untuk numpang menginap dan memilih pulang bila lagi pengen atau uang saku sudah habis saja.
“Itu kan jarak yang tanggung gitu lo. Mau ngekos juga rasanya sayang kalau nggak ngekos juga capek,” kata Agus.
Masih ada warung kopi dan sekretariat organisasi
Tidak punya kos tentu lah tak punya tempat kembali yang pasti ketika seusai berkegiatan. Ada beberapa tempat yang Fajri sering singgah untuk numpang menginap. Selain kos-kosan teman dan sekre organisasinya, ia juga pernah menginap di kafe atau warung kopi.
Ada banyak kafe yang buka 24 jam di Jogja, terutama di daerah Sorowajan, kawasan bekas tempat Fajri bekerja. Fajri bercerita bahwa ia pernah bermalam di Sang Kopas, Basa-basi Sorojawan, dan juga Blandongan.
Beberapa kefe ada yang buka 24 jam. Meskipun tidak, pelanggan tetap boleh menetap di situ walau sudah close order. Sebelum Covid-19, Basa-basi Sorowajan bahkan menulis di temboknya dengan kalimat “buka sampai H-3 kiamat”. Tulisan itu masih ada hingga hari ini. Menandakan bahwa kafe itu beroperasi secara terus menerus.
Hal semacam inilah yang dimanfaatkan oleh Fajr. Ia bercerita bila sedang di kafe, kadang ia tidur, kadang juga tetap terjaga hingga pagi menjelang. Bila esoknya kuliah, ia akan pergi di lokasi tempat baju-baju ia titipkan. Kalau libur, maka ia akan tidur di kos temannya.
Karena merasa hidup bersama teman, ia perlu memberikan kontribusi meski tak seberapa. Fajri siap jika teman-temannya minta ditemani ke suatu tempat. Ia juga dengan senang hati membantu temannya jika butuh sesuatu selagi dia mampu.
Selain tindakan seperti itu, kalau ada rezeki kata Fajri, beberapa kali ia juga membelikan makan ataupun rokok untuk dinikmati bersama.
“Ya walaupun jarang tapi ya sekalinya ada uang sebisa mungkin beliin rokok atau beliin makan. Walaupun jarang walaupun kehitung jari,” kata Fajri sambil meletakkan gitar yang ia genjreng tanpa nyanyian tadi.
Pindah-pindah kamar
Cerita lain disampaikan oleh Agus. Sejak semester satu sampai tiga, ia sering menginap di kos temannya di daerah Klebengan. Karena ia punya dua temen dalam satu kos yang sama, jadi selama tiga semester itu ia hanya berpindah-pindah kamar.
“Kebetulan dua orang temenku sekelas ini ngekos di tempat yang sama. Jadi cuma pindah-pindah kamar doang. Satu di lantai satu, satu di lantai dua. Itu adalah tempat numpang yang paling lama yang pernah ku singgahi,” kata Agus.
Ia juga pernah menginap di warung kopi. Katanya itu tidak seperti orang berandalan yang tak punya tempat tinggal, karena itu adalah milik temannya sediri. “Warung kopi pernah sih. Cuma kebetulan warung kopinya punya temen kan,” Katanya
Cerita menarik pernah ia alami ketika memaksa menginap di sekretariat UKM. Berbeda dengan Fajri yang sekretariatnya terletak di luar kampus, di tempat Agus ada di dalam kampus. Kampusnya punya regulasi bahwa di atas jam sepuluh malam sudah tidak boleh ada kegiatan, termasuk menginap.
Kala itu, Agus memilih memaksa untuk tidur di sana. Tentu saja tindakan itu dilakukan secara diam-diam. Namun, ketika bangun, ada satpam di depan matanya yang menegur. Pertama meminta identitas berupa Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Setelah memastikan Agus adalah mahasiswa di situ, tindakan selanjutnya, satpam mencerahami Agus tentang aturan.
Karena sebenarnya Agus sudah tau tentang aturan itu, iya hanya menganggung-ngangguk mengiyakan. Menurut pengakuannya, itu adalah kali pertama dan satu-satunya momen memaksa tidur di sekretariat organisasi.
Baca halaman selanjuntya
Perkara barang pinjaman
Perkara barang pinjaman
Bila tidur di kos temen, Agus sesekali memakai barang milik teman yang ia tumpangi. Ini juga karena barang bawaannya yang terbatas. Tak punya kos-kosan tentu sulit untuk bawa barang yang banyak.
Perkara barang, Agus biasanya berangkat dari rumah membawa baju dan celana yang cukup untuk beberapa minggu ke depan. Baju dan celana itu ia laundry sehingga bisa untuk dipakai kembali. Tapi tetap saja kadang itu kurang.
Karena hidup yang berpindah-pindah, barang-barangnya sering ia bawa semua ke kampus. Itu karena ia tak membawa buku yang banyak. “Kadang ku bawa semuanya pernah. Jadi kuliah itu bahkan jarang banget bawa buku deh. Buku tu satu atau dua. Lepas tu ya udah sisanya baju-baju doang,” imbuhnya.
Selain itu, Agus melanjutkan, sebagai bentuk balas budi meskipun tidak seberapa paling tidak ia ikut membantu beli makan dan bersih-bersih. Kadang kala temannya pindahan ia turut serta mengangkat barang. Dalam hal lain ia juga ikut bantu memperbaiki barang temannya yang bermasalah.
“Jadi kayak hidup ngekos aja cuma bedanya aku tu numpang. Jadi gak ikut bantu bayar kos. Paling kalau ikut bantu ya bantu bayar makan doang. Saling bantu aja kurang lebih gitu lah,” imbuh Agus.
Hilangkan gengsi demi hidup menumpang
Fajri sebenarnya juga merasa gak enak sama teman-temannya karena beberapa kali numpang menginap. Namun, menurutnya perasaan semacam itu harus ia lawan karena yang penting adalah bisa bertahan hidup dulu.
Tapi sejauh ini rasa gak enakan hanya timbul dari perasaannya saja. Ia belum pernah melihat raut muka temannya yang kesal karena ia menginap. Entah itu disembunyikan atau juga karena memang temannya bisa menerima.
“Tapi kalau menurut aku ya. Aku orangnya gak ngesel-ngeselin amat sih. Ya temen butuh antu, apa-apa, aku ayo-ayo aja. Temen ngajak apa, aku ayo orangnya,” katanya percaya diri. Ia merasa bisa jadi teman yang mengimbangi obrolan teman. Itu yang menurutnya jadi modal untuk bisa dekat dengan mereka.
Sementara Agus, karena sudah menjadi pemain senior di dunia nomaden, ia beberapa kali melihat raut wajah temen yang masam. Sebenarnya Agus sangat menerima bila temannya menolak ia numpang menginap. Itu lebih membuatnya senang daripada harus diem-dieman dan menunjukkan raut muka yang kurang sedap.
“Bilang aja kalau bisa jangan nginap lagi ya soalnya gini gini. Ya udah nggak papa, malah seneng. Daripada cuma diem-dieman itu saling gak enakan aja,” tuturnya.
Suara dari yang menarima tumpangan
Saya bertemu dengan Kamil, itu bukan nama sebenarnya. Ia tidak ingin identitas aslinya disebut karena ia ada pengalaman buruk dengan teman yang menumpang di kosnya.
Kamil bercerita, pada awalnya ia begitu senang bila ada teman menginap di kosnya. Terlebih bila teman itu adalah seorang kakak tingkat (kating). Ekspektasinya, ia bisa bertanya banyak hal, entah itu tentang tugas, perkuliahan, organisasi, dan lain sebagainya. Namun, rasa itu seketika patah ketika ada suatu saat ia harus kehilangan uang setelah temannya numpang menginap.
“Uang yang ada tuh biasanya aku taruh di amplop bawah meja, kosong gak ada isinya. Padahal waktu aku bawa itu masih ada dan waktu pagi masih ada jumlahnya. Waktu dia habis nginep terus dia cabut, uang itu hilang,” imbuh Kamil.
“Ya aku gak so’uzon sih ya tapi ya faktanya gitu kan,” lanjutnya.
Kamil mengatakan, orang yang nomaden itu biasanya tidak membawa barang banyak, karena itu mereka biasanya meminjam baju temannya.
“Terus dia pernah pakai pinjem bajuku. Nah ku kira bakal dikembaliin. Eh ternyata bablas diembat sama dia,” katanya sambil tertawa.
Ternyata menurut Kamil, hal semacam itu tidak hanya ia yang mengalami. Beberapa teman yang sering memberikan tumpangan juga merasakan kehilangan uang dan tidak kembalinya baju yang dipinjam.
Ini belum perkara kontribusi. Kamil merasa tak pernah menerima kontribusi apapun dari temannya itu. “Merokok terus bikin kotor, dia gak ada kontribusi buat bersihin dan lain-lain enggak ada,” katanya.
Selepas kejadian itu, Kamil selalu mencari alasan bila teman yang hendak menginap di kosannya. “Malam ini kamu di kosan gak gitu? Enggak aku lagi di kos temen,” kata Kamil mempraktekkan dialognya ketika mencari alasan.
“Aku selalu bikin alasan seperti itu ya pasca-kehilangan uang terus bajunya diembat. Jadi nyari-nyari alesan gitu biar dia gak ke kosan karena bakal tau ending-nya gitu,” tuturnya.
***
Fajri menyadari, hidup nomaden dengan numpang di kos teman sebenarnya membuat ia lelah.
“Kalau idealnya pengennya punya kos sendiri sih atau ngontrak sama temen rame-rame [ikut iuran]. Tapi ya emang belum bisa aja. Pengennya punya tempat, nggak luntang-lantung kek gini,” ungkap Fajri.
Sedangkan Agus, kini sudah lulus kuliah. Ia sedang mengadu nasibnya di Jakarta dengan bekerja. Di ibu kota, ia tinggal di kos, tentu bukan menumpang, ia sudah punya pendapatan untuk kos sendiri.
Reporter:
Editor: Agung Purwandono