Perkara barang pinjaman
Bila tidur di kos temen, Agus sesekali memakai barang milik teman yang ia tumpangi. Ini juga karena barang bawaannya yang terbatas. Tak punya kos-kosan tentu sulit untuk bawa barang yang banyak.
Perkara barang, Agus biasanya berangkat dari rumah membawa baju dan celana yang cukup untuk beberapa minggu ke depan. Baju dan celana itu ia laundry sehingga bisa untuk dipakai kembali. Tapi tetap saja kadang itu kurang.
Karena hidup yang berpindah-pindah, barang-barangnya sering ia bawa semua ke kampus. Itu karena ia tak membawa buku yang banyak. “Kadang ku bawa semuanya pernah. Jadi kuliah itu bahkan jarang banget bawa buku deh. Buku tu satu atau dua. Lepas tu ya udah sisanya baju-baju doang,” imbuhnya.
Selain itu, Agus melanjutkan, sebagai bentuk balas budi meskipun tidak seberapa paling tidak ia ikut membantu beli makan dan bersih-bersih. Kadang kala temannya pindahan ia turut serta mengangkat barang. Dalam hal lain ia juga ikut bantu memperbaiki barang temannya yang bermasalah.
“Jadi kayak hidup ngekos aja cuma bedanya aku tu numpang. Jadi gak ikut bantu bayar kos. Paling kalau ikut bantu ya bantu bayar makan doang. Saling bantu aja kurang lebih gitu lah,” imbuh Agus.
Hilangkan gengsi demi hidup menumpang
Fajri sebenarnya juga merasa gak enak sama teman-temannya karena beberapa kali numpang menginap. Namun, menurutnya perasaan semacam itu harus ia lawan karena yang penting adalah bisa bertahan hidup dulu.
Tapi sejauh ini rasa gak enakan hanya timbul dari perasaannya saja. Ia belum pernah melihat raut muka temannya yang kesal karena ia menginap. Entah itu disembunyikan atau juga karena memang temannya bisa menerima.
“Tapi kalau menurut aku ya. Aku orangnya gak ngesel-ngeselin amat sih. Ya temen butuh antu, apa-apa, aku ayo-ayo aja. Temen ngajak apa, aku ayo orangnya,” katanya percaya diri. Ia merasa bisa jadi teman yang mengimbangi obrolan teman. Itu yang menurutnya jadi modal untuk bisa dekat dengan mereka.
Sementara Agus, karena sudah menjadi pemain senior di dunia nomaden, ia beberapa kali melihat raut wajah temen yang masam. Sebenarnya Agus sangat menerima bila temannya menolak ia numpang menginap. Itu lebih membuatnya senang daripada harus diem-dieman dan menunjukkan raut muka yang kurang sedap.
“Bilang aja kalau bisa jangan nginap lagi ya soalnya gini gini. Ya udah nggak papa, malah seneng. Daripada cuma diem-dieman itu saling gak enakan aja,” tuturnya.
Suara dari yang menarima tumpangan
Saya bertemu dengan Kamil, itu bukan nama sebenarnya. Ia tidak ingin identitas aslinya disebut karena ia ada pengalaman buruk dengan teman yang menumpang di kosnya.
Kamil bercerita, pada awalnya ia begitu senang bila ada teman menginap di kosnya. Terlebih bila teman itu adalah seorang kakak tingkat (kating). Ekspektasinya, ia bisa bertanya banyak hal, entah itu tentang tugas, perkuliahan, organisasi, dan lain sebagainya. Namun, rasa itu seketika patah ketika ada suatu saat ia harus kehilangan uang setelah temannya numpang menginap.
“Uang yang ada tuh biasanya aku taruh di amplop bawah meja, kosong gak ada isinya. Padahal waktu aku bawa itu masih ada dan waktu pagi masih ada jumlahnya. Waktu dia habis nginep terus dia cabut, uang itu hilang,” imbuh Kamil.
“Ya aku gak so’uzon sih ya tapi ya faktanya gitu kan,” lanjutnya.
Kamil mengatakan, orang yang nomaden itu biasanya tidak membawa barang banyak, karena itu mereka biasanya meminjam baju temannya.
“Terus dia pernah pakai pinjem bajuku. Nah ku kira bakal dikembaliin. Eh ternyata bablas diembat sama dia,” katanya sambil tertawa.
Ternyata menurut Kamil, hal semacam itu tidak hanya ia yang mengalami. Beberapa teman yang sering memberikan tumpangan juga merasakan kehilangan uang dan tidak kembalinya baju yang dipinjam.
Ini belum perkara kontribusi. Kamil merasa tak pernah menerima kontribusi apapun dari temannya itu. “Merokok terus bikin kotor, dia gak ada kontribusi buat bersihin dan lain-lain enggak ada,” katanya.
Selepas kejadian itu, Kamil selalu mencari alasan bila teman yang hendak menginap di kosannya. “Malam ini kamu di kosan gak gitu? Enggak aku lagi di kos temen,” kata Kamil mempraktekkan dialognya ketika mencari alasan.
“Aku selalu bikin alasan seperti itu ya pasca-kehilangan uang terus bajunya diembat. Jadi nyari-nyari alesan gitu biar dia gak ke kosan karena bakal tau ending-nya gitu,” tuturnya.
***
Fajri menyadari, hidup nomaden dengan numpang di kos teman sebenarnya membuat ia lelah.
“Kalau idealnya pengennya punya kos sendiri sih atau ngontrak sama temen rame-rame [ikut iuran]. Tapi ya emang belum bisa aja. Pengennya punya tempat, nggak luntang-lantung kek gini,” ungkap Fajri.
Sedangkan Agus, kini sudah lulus kuliah. Ia sedang mengadu nasibnya di Jakarta dengan bekerja. Di ibu kota, ia tinggal di kos, tentu bukan menumpang, ia sudah punya pendapatan untuk kos sendiri.
Reporter:
Editor: Agung Purwandono