Mbah Sukijo (71) adalah perajin sawangan merpati yang punya pengalaman lebih dari 50 tahun. Di masa jaya-jayanya karyanya disukai pehobi burung dara dari Singapura dan Tiongkok.
***
Di Purworejo, ada satu desa yang terkenal sebagai desa yang menghasilkan kerajinan sawangan merpati. Sawangan adalah alat bunyi-bunyian yang diselipkan pada punggung burung merpati. Alat yang mekanisme kerjanya serupa peluit itu akan berbunyi nyaring ketika burung merpati terbang dengan kecepatan tinggi.
Kawasan tersebut bernama Desa Tanjunganom, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo. Di tahun 1950-an hingga 1990-an desa ini sangat berjaya. Satu-satunya perajin yang merasakan 3 dekade masa kejayaan sawangan merpati Purworejo adalah Mbah Sukijo (71).
“Pembuatan sawangan itu seperti sudah membudaya di Desa Tanjunganom tapi entah sejak kapan, saya tidak paham,” tuturnya saat saya temui di rumahnya, belum lama ini. Sukijo hanya mengingat, pada saat dirinya masih kecil, sekitar tahun 1950-an, Desa Tanjunganom sudah menjadi sentra produksi sawangan merpati dengan kualitas bagus. Industri kecil sawangan jadi gantungan hidup.
Hampir di setiap rumah, pasti penghuninya adalah perajin sawangan. “Budaya membuat sawangan itu juga yang membuat saya memutuskan untuk jadi perajin sawangan,” ujarnya.
Sukijo belajar membuat sawangan merpati yang bagus dari almarhum ayahnya, Simbah Wodo Semito. “Tapi pas saya kecil, para orang tua sangat ahli membuat sawangan, perkiraan saya, tidak mungkin kalau mereka baru belajar. Tapi, mereka belajarnya kapan, sejak zaman apa, saya tidak tahu,” ungkap perajin sawangan tertua di desa itu.
Desa Tanjunganom dikenal sebagai desa penghasil sawangan merpati yang bagus. Kini masih ada sekitar 20 perajin sawangan merpati di desa ini, meski rata-rata merupakan pekerjaan samben. Mbah Sukijo kini satu-satunya perajin sawangan berusia lanjut yang masih tersisa di Desa Tanjunganom. Rekan-rekan perajin sebayanya, sudah tidak berproduksi lagi, karena fisiknya tidak mampu atau karena mereka sudah meninggal dunia.
Kulit pohon cangkring yang kian langka
Mbah Sukijo mewarisi kemampuan membuat sawangan yang terbuat dari bahan utama kulit pohon cangkring. Pernah dengar? Pohon cangkring dengan nama latin Erythrina fusca adalah sejenis tanaman kayu yang mampu tumbuh besar, dan biasanya terdapat di tepian sungai atau hutan.
Pohon yang juga dikenal bernama Dadap ri atau Dadap duri ini tidak dibudidayakan. Sebab pohonnya penuh duri dan pada zaman saya kecil, pohon cangkring ini sering dikait-kaitkan dengan hal yang supranatural.
Tapi ternyata, pohon itu sangat kaya manfaat, terutama bagi kalangan penghobi burung merpati. Mbah Sukijo sendiri tidak begitu paham filosofi yang digunakan perajin sawangan merpati dulu memilih bahan dari kulit kayu cangkring. “Tapi yang jelas, kulit kayu cangkring itu ringan, teksturnya sepintas mirip gabus, tapi keras. Saat dibuat sawangan, suaranya nyaring,” terangnya.
Cara pembuatannya, kulit pohon cangkring yang sudah kering akan dibuat pola dan perajin akan merautnya dengan pisau kecil. Ruang bulat serupa bola penghasil suara dibuat lalu direkatkan dengan lem khusus dengan bagian pangkal.
Selembar seng yang sudah dicetak melengkung membentuk pola setengah bola, direkatkan di atas sawangan. Tidak lupa, lubang kecil jalur angin masuk ke dalam ruang suara, juga dibuat. Setelah selesai, tinggal dicat dan dijemur sampai kering. Kira-kira begitu.
Nah, populernya kulit cangkring untuk bahan sawangan menyebabkan terjadinya perburuan besar-besaran. Memang tidak perlu menebang dan mematikan pohon untuk mendapatkan kulitnya, cukup dikupas saja. Tapi, setelah kulitnya diambil, pohon itu tidak akan menumbuhkannya lagi.
Maka, sama saja, perburuannya pun membuat kulit kayu cangkring kini kian langka. Jika dulu Mbah Sukijo bisa dengan mudah mendapat pasokan kulit dari Purworejo dan sekitarnya, kini ia dipasok pengepul dari Jawa Timur. “Nyari kulitnya juga tidak hanya di Jawa saja, sampai luar pulau. Maka, bahan sekarang susah dan harganya naik terus,” ucapnya.
Dulu jadi perajin sawangan dua terbaik di Indonesia
Mbah Sukijo mengaku sudah memproduksi sawangan sejak tahun 1965. Ketika itu usianya masih awal belasan tahun, kira-kira sekolah SMP. Sejak berhasil belajar dari ayahnya, ia langsung mandiri, membuat sawangannya sendiri, lalu menjualnya.
Ketika itu, membuat sawangan tergolong jenis pekerjaan yang terpandang dengan penghasilan yang cukup besar. Bahkan pada masa awal Mbah Sukijo menggeluti kerajinan itu, ia sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri, sampai lulus sekolah kejuruan.
Jadi setelah lulus, ia memutuskan menekuni kerajinan sawangan ketimbang jadi petani, PNS, atau merantau ke ibu kota. Saking tekunnya, sawangan buatan Mbah Sukijo pun memiliki kualitas prima, dibuat dengan detail yang halus, indah, dan suaranya, mau bunyi ngong atau nging, dijamin kuenceng. Sawangan merpati buatan Mbah Sukijo pun tenar, tidak hanya di Purworejo tapi sampai ke jantung Jakarta.
Pada dekade 1970-an hingga 1990-an, selama lebih dari 30 tahun, sawangan Desa Tanjunganom, khususnya buatan Mbah Sukijo sedang jaya-jayanya di Jakarta. “Dulu salah satu pusatnya permainan merpati di Jakarta ada di Lapangan Terbang Kemayoran. Pehobi merpati Jakarta saat itu sudah sangat kenal dengan saya, mereka cocok dengan sawangan buatan saya,” terangnya.
Bisa dikatakan sawangan buatan Mbah Sukijo tidak ada lawan berarti di pasaran. Kecuali 1, yakni sawangan buatan Kasbun, perajin dari Kabupaten Temanggung. “Saya nomor 2, nomor 1-nya sawangan Kasbun. Dulu, di Jakarta, soal sawangan hanya Kasbun dan Sukijo,” ujarnya.
Berkah sawangannya yang terkenal, Sukijo mengaku setiap 2 minggu berangkat ke Jakarta mengantar hasil kerajinannya kepada pedagang atau pehobi yang memesan. Hasilnya, kala itu pun sangat lumayan. Sukijo menghidupi keluarganya dari kerajinan sawangan.
Lengking sawangan merpati dari Purworejo sampai ke Singapura dan Tiongkok
Kualitaslah yang membuat sawangan buatan Mbah Sukijo tenar seantero negeri. Permintaan pun mengalir deras. Sekali setor ke pedagang besar di Jakarta, Sukijo selalu membawa tidak kurang dari 100 sawangan aneka jenis.
Saat muda dulu, memproduksi ratusan sawangan dalam 2 minggu, hal mudah bagi Mbah Sukijo. “Tenaga saya masih ada dan karena memang fokus, sehari bisa membuat 10 sawangan,” ujarnya.
Sebenarnya, lanjut Mbah Sukijo, untuk memproduksi lebih dari itu sangat bisa, namun hasilnya akan kurang baik. Untuk produksi massal itu, warga setempat mengistilahkan sawangan koden atau dibahasa Indonesiakan kerja. Kerja bikin sawangan, sebanyak-banyaknya memproduksi peluit merpati. Hanya saja, harganya pun lebih rendah, untuk sawangan koden sekarang dibeli pengepul Rp 2.500 sebutir, sedangkan kualitas bagus seperti buatan Sukijo Rp 15.000.
Berbeda dengan sawangan Sukijo yang berani ia jamin kualitasnya dan nyata-nyata sudah mendapat pengakuan. “Tidak hanya di Jakarta saja, tahun 1970-an hingga awal 1990-an, sawangan buatan saya digunakan penghobi merpati di Singapura dan Tiongkok,” ungkapnya.
Kedekatannya dengan para juragan berdarah Tionghoa penggemar merpati di Jakarta-lah penyebab ia dikenal di Singapura dan China. Mereka percaya dengan kualitas produk buatan Sukijo, hingga mempromosikan kepada koleganya di Singapura dan Tiongkok.
“Sawangan saya dibawa pada pengepul besar ke Singapura dan China daratan, dipasang di punggung merpati di sana. Saya bangga,” tuturnya.
Pelanggan yaitu meminta Mbah Sukijo membuat merek untuk sawangan buatannya. Agar pemasaran luas dan sawangannya mudah ditandai. Tapi, ia bergeming, tidak mau, memilih produknya tetap polosan tanpa merek.
Mbah Sukijo tidak mau sawangannya dipalsukan, seperti yang marak terjadi saat ini. Sebab, sawangan itu bendanya kecil, bentuknya mirip, yang membedakan hanya kualitas suaranya saja.
“Saya tidak mau barang dipalsu orang, sudah banyak contohnya, beli sawangan bermerek yang katanya kualitasnya bagus, saat dipasang ternyata tidak bunyi, atau kualitas suaranya jelek. Jadi kalau mau sawangan Sukijo, tinggal datang saja ke Desa Tanjunganom,” tegasnya.
Bersyukur ada anak yang meneruskan keahliannya
Berbisnis sawangan, sudah menjadi bagian dari kehidupan Sukijo. Bayangkan, ia sudah membuat sawangan sejak tahun 1965, saat usia belasan. Artinya 57 tahun Sukijo bergulat dengan kulit cangkring dan pisau kecil.
Selama ini pula, Sukijo sudah merasakan asam garam, geliat pasang surut usaha itu. Masa jaya dirasakannya pada dekade 1970-an hingga 1990-an. Benar-benar bisa hidup cukup makmur dari usaha itu. Lalu badai krisis moneter 1997 menerpa, pun ia tetap dan UMKM sawangan di Desa Tanjunganom tetap bertahan. Semua karena hobi bermain merpati masih ada, dan selama itu sawangan selalu dibutuhkan.
Kemudian, krisis belum usai, Indonesia kembali dihantam penyakit flu burung atau avian influenza, pada awal dekade 2000-an. Jutaan unggas mati dan menyebabkan ketakutan karena penyakit itu bersifat zoonosis alias menular kepada manusia. Awal merebaknya flu burung, Mbah Sukijo galau, apakah usahanya akan tetap bertahan karena adanya ketakutan itu.
Namun, nyatanya bertahan. Pehobi merpati pantang menyerah menghadapi flu burung. Mereka tetap beraktivitas dan itu membawa angin segar bagi Mbah Sukijo dan kawan-kawannya, pelaku usaha sawangan di Desa Tanjunganom
Nah, baru ketika Covid-19 mendera awal 2020, Sukijo baru ampun-ampunan. Sebab virus yang tidak ada hubungannya dengan merpati ini, menular dengan cepat, sehingga menyebabkan pemerintah kala itu melarang aktivitas kerumunan. Termasuk kolongan burung merpati. “Baru kali ini ada perintah dari pengepul, untuk tidak setor dulu, libur sampai kondisi membaik. Sebab mereka juga kesulitan menjual sawangan,” katanya.
Tapi libur setor kepada pengepul, tak membuatnya berhenti total. Pesanan masih ada meskipun cuma cethal-cethil. Orderan datang dari pehobi langsung atau pengepul luar daerah yang juga mendapat pesanan sawangan kualitas super buatan Mbah Sukijo. Ia tetap setia meraut dan mengukir kulit kayu cangkring.
Meski untuk produktivitas, sudah turun jauh dibandingkan saat muda dulu. Sekarang, tubuh renta kakek itu, hanya dapat menoleransi 4-5 biji sawangan sehari. “Ya kemampuan saya tinggal segitu, tapi tidak masalah, selama masih kuat akan terus membuat sawangan,” ujarnya.
Mbah Sukijo masih tetap akan terus memproduksi sawangan merpati. Ilmu membuat sawangan merpati yang bagus sudah ia turunkan pada dua anaknya. Meski bukan pekerjaan utama, ia bersyukur ada anaknya yang mau menggeluti kerajinan sawangan merpati. Baginya, sawangan sudah seperti bagian tak terpisahkan dari dirinya.
Reporter: Jarot Sarwosambodo
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Kopi Lemah Abang dan Alasannya Tak Mau Pakai Listrik PLN