Asrama mahasiswa Pondok Mesudji yang sudah ditempat mahasiswa dari Sumatra Selatan di Jogja sejak tahun 1960-an menyimpan banyak kenangan. Melintas zaman menjadi wadah berkumpulnya mereka yang sedang menimba ilmu di Kota Pendidikan. Namun, kini mereka terancam terusir dari sini karena sengketa lahan dengan pihak yang mereka sebut mafia tanah.
***
Jumat (4/12/2020) pagi, dua truk dan sejumlah mobil yang dipenuhi orang mendatangi Pondok Mesudji yang terletak di selatan Lapangan Mancasan, Wirobrajan, Yogyakarta. Mereka datang dengan maksud melakukan pengosongan lahan.
Beberapa mahasiswa dari Sumatra Selatan (Sumsel) yang tinggal di sana berusaha menahan. Namun, mereka kalah jumlah. Bangunan Pondok Mesudji hendak dirobohkan. Plang tua bertuliskan “Jajasan Batanghari Sembilan Pondok Mesudji” dicopot dari bagian depan bangunan.
“Jumlah mereka mungkin sekitar 200-an orang. Kami kalah jumlah. Kami menghubungi alumni untuk minta bantuan,” kata Muhammad Hafidz (23), seorang penghuni Pondok Mesudji, sambil menunjukkan video detik-detik kejadian melalui ponselnya saat ditemui Rabu (3/7/2022).
Sore itu Hafidz menyambut kedatangan saya di Pondok Mesudji dengan ramah. Ia mengajak berkeliling bangunan yang kini jadi tempat tinggal 12 mahasiswa dari Sumsel ini. Menyusuri Lorong bangunan tua yang punya delapan kamar. Sebagian cat temboknya sudah pudar. Di teras kamar, satu dua mahasiswa sedang bercengkrama sembari main gitar.
“Ini kamar saya, diisi dua orang. Sebagian kamar ada yang tiga sampai empat orang. Luas-luas kan, Mas?” ujarnya antusias.
Setelah menengok sudut-sudut bangunan ini, kami beranjak ke halaman belakang. Halaman yang luas beralaskan tanah yang kalau musim kemarau begini penuh debu. Ada dua lapangan voli di sana. Beberapa pohon besar yang tumbuh membuat area ini terasa sejuk.
Di tengah halaman belakang, ada sebuah gubuk sederhana yang jadi tempat bercengkrama. Setiap sore, bukan hanya penghuni, para mahasiswa dari Sumsel di Jogja yang tak tinggal di sini juga kerap berkunjung.
“Aku masih sayang padamu, seperti dulu. Dan ku harap kau pun tahu,” lantunan lagu Maaf dari Jamrud terdengar dari music box saat saya memasuki gubuk.
Di gubuk ini, ada perapian dengan kayu bakar. Juga ada kulkas rusak yang digunakan untuk menyimpan barang dan berbagai perkakas lain untuk memasak. Beberapa mahasiswa duduk di kursi bambu yang mengitari gubuk ini.
Sejak kejadian di akhir tahun 2020, bagian depan pondok ini dipagari seng oleh orang yang hendak mengosongkan lahan. Hal itu membuat Pondok Mesudji tampak terisolasi. Namun, area yang tampak mati tertutup pagar ini, terasa hidup di dalam. Para penghuni menuliskan kalimat-kalimat perlawanan di seng tersebut.
“Tanah ini tidak dijual. Tolak Mafia Tanah,” tertulis jelas di pagar.
Pondok Mesudji didirikan oleh Yayasan Batang Hari Sembilan yang berpusat di Palembang. Yayasan yang berdiri tahun 1952 ini lantas membangun sejumlah asrama yang bisa jadi tempat tinggal pelajar dan mahasiswa dari Sumsel di beberapa kota besar.
Berdasarkan Register Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta, lahan seluas 1.941 meter persegi tempat Pondok Mesudji berdiri berasal dari transaksi tahun 1959 atas nama Yayasan Batang Hari Sembilan. Setelah bangunan yang berlokasi di Ketanggungan Wetan No.183 -kini menjadi Jalan Puntodewo No.9- didirikan, mahasiswa dan pelajar dari Sumsel pun mulai menempati.
“Syarat untuk tinggal di sini, pokoknya KTP dari Sumatera Selatan. Pelajar dan mahasiswa bisa tinggal,” ucap Hafidz yang berasal dari Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Mahasiswa Teknik Kimia UPN Veteran Yogyakarta yang beberapa bulan lagi wisuda ini bercerita, setibanya di Jogja pada tahun 2017 silam, ia sudah kerap berkunjung ke tempat ini. Berkumpul dengan teman sedaerah.
“Tapi baru benar-benar pindah menetap tidur di sini sejak 2020. Setelah teori selesai dan tinggal skripsi saja,” ujarnya. Kampusnya dengan Pondok Mesudji berjarak 11 kilometer membelah padatnya Jogja, sehingga saat masih padat teori, ia memilih tinggal di kos.
Bangunan penuh kenangan pelajar dan mahasiswa Sumsel
Di tempat ini, saya juga berjumpa Imam Herlianto (52). Pria asal Lahat yang kini menjadi pedagang batik di Teras Malioboro ini pernah tinggal di Pondok Mesudji pada tahun 1987-1991. Saat ia masih duduk di bangku SMA.
Baginya, tinggal di Pondok Mesudji merupakan fase penting dalam hidup yang tak akan terlupa. Pria yang akrab disapa Mang Imam oleh para mahasiswa Sumsel ini masih kerap datang dan bertukar sapa dengan penghuni tempat ini.
“Dulu, tempat ini jadi titik awal hidup saya di Jogja. Saya bisa bertemu banyak kenalan sedaerah ya karena Pondok Mesudji,” ujarnya.
Imam menuturkan tidak banyak hal yang berubah dari Pondok Mesudji. Pohon mangga, jambu, dan sawo yang tumbuh di halaman belakang masih sama dengan yang ia jumpai saat awal merantau ke Jogja.
Sekarang ada 12 orang yang tinggal di asrama. Menurut Imam dulu bisa lebih banyak lagi lantaran menggunakan ranjang bertingkat dari kayu sehingga satu kamar bisa memuat banyak orang.
“Bangunan sebagian sama. Ada renovasi sedikit di kamar mandi, dulu masih nimba dari sumur sekarang sudah pakai pompa. Teras depan juga belum lama diperbaiki karena atapnya dihancurkan saat 2020 lalu,” kenangnya.
Masih jelas tergambar dalam ingatan Imam, dahulu area sekitar tempat ini belum dikelilingi pagar. Menyatu dengan kampung di sekitar sehingga para mahasiswa yang tinggal kerap beraktivitas bersama warga.
Kini, pembangunan di sekitar membuat area ini tampak tidak terbuka. Bagian selatan, barat, dan timur asrama ini tertutup dinding bangunan warga. Sedangkan bagian depan sudah dipagari seng oleh pihak yang hendak mengosongkan lahan ini.
Hanya bangunan ini yang belum banyak berubah sejak beberapa dekade belakangan. Lahan yang cukup luas ini didominasi pekarangan.
“Dulu, seingat saya ya masih terbuka. Jadi kami dengan warga pun sering beraktivitas bareng. Main voli dan segala macam,” kenang Imam.
Saya, Hafidz, Imam, dan beberapa mahasiswa Sumsel duduk bersama di kursi bambu yang ada di gubuk. Para mahasiswa ini berasal dari berbagai kampus. Ada Fatah Gilas Anarki mahasiswa Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Alfarizi Akbar mahasiswa D4 Teknik Mesin UNY, Leonardo mahasiswa Peternakan Universitas Mercu Buana, Erik Ramadhan yang di Jogja untuk menjalani kursus mesin, dan sebagian lain yang saya tak hafal namanya.
Di samping gubuk, tiga pemuda lain sedang saling lempar bola voli. Sebagian lain lagi berkumpul di halaman depan dan sibuk dengan aktivitas masing-masing di kamar.
Sebagian di antara mereka tak tinggal di Pondok Mesudji, namun kerap singgah ke sini saat ada waktu luang. Saling berkenalan hingga bertukar cerita tentang hidup di perantauan.
“Ya jadi banyak dari kami yang berkumpul di sini karena jaringan IKPM (Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa) Sumsel. Sebenarnya asrama mahasiswa Sumsel di Jogja kan ada sendiri. Lalu beberapa kabupaten juga punya asrama di sini. Tapi sebagian, seperti Pagar Alam itu tidak punya asrama. Jadi kami berkumpul di sini,” sahut Hafidz menjelaskan.
Pondok Mesudji juga jadi tempat tinggal dengan biaya yang ringan bagi mereka yang kesulitan ekonomi. Tak ada uang sewa. Mereka yang tinggal hanya perlu membayar iuran untuk listrik dan kebersihan.
Imam kembali menyambung obrolan sambil memegang pundak Leonardo yang berada di sampingnya. Pemuda yang akrab disapa Leo itu ternyata anak dari kawan lama Imam di kampung. Mereka baru saling mengenal di Pondok Mesudji.
“Dulu saat saya pertama bertemu Leo di sini saya cerita kalau punya teman lama namanya Rudi Hartono di Tanjung Sakti (kampung asal Leo). Nah ini bocah tersenyum-senyum, lalu bilang kalau ternyata itu bapaknya,” ujarnya tertawa.
“Padahal saya sama bapaknya Leo ini sudah tidak bertemu puluhan tahun. Malah ketemu anaknya di sini,” sambungnya antusias.
Leo tersenyum sambil membenarkan ucapan Mang Imam. Saat membicarakan kenangan-kenangan ini, mereka semua langsung antusias.
“Eh tolong lah, ambilkan album foto di dalam,” ujar Imam menyuruh salah seorang di antara mereka dengan bahasa Palembang.
Pemuda bernama Fatah lalu berdiri dari duduknya dan beranjak masuk ke dalam bangunan. Saat ia datang membawa album foto lama kegiatan di asrama mahasiswa ini yang lain langsung menyoraki.
“Nah ini, anak hasil dari generasi lama Pondok Mesudji,” ujar seorang di antara mereka sambil tertawa.
Fatah kemudian duduk dan membuka album foto itu dengan teliti. Mencari-cari wajah seseorang di antara banyaknya kenangan yang tersimpan di situ.
“Nah ini bapak saya,” ujarnya sambil menunjuk-nunjuk. Ia lalu membuka halaman lain berulang kali. Sampai ia menemukan sosok perempuan berkemeja putih di dalam sebuah foto bersama. Perempuan itu adalah ibunya.
Kedua orang tua Fatah dulu sempat mengenyam pendidikan tinggi di Jogja. Ayahnya yang bernama Guntur Lianto (60) merupakan lulusan STIE YKPN. Sedangkan ibunya, Nilawati (53) merupakan lulusan IKIP Yogyakarta.
“Dulu ayah tinggal di asrama ini. Ibu kadang main kalau ada kegiatan bareng-bareng. Mereka kenal di sini. Lalu menikah tahun 1995,” kenang Fatah.
Seakan tak mau kalah. Alfarizi Akbar yang sedang menyantap makanan lalu menyahut.
“Dulu ayah juga sering main ke sini. Walaupun tinggalnya ngekos. Dulu kuliah di Wangsa Manggala yang sekarang jadi Mercu Buana,” ujar mahasiswa yang menjadi Ketua IKPM Sumsel Komisariat Pagar Alam ini.
Bangunan tua ini menyimpan banyak cerita. Pelajar dan mahasiswa lintas generasi asal Sumsel yang menimba ilmu di Jogja pernah menjejaki tempat ini. Namun, kini mereka menghadapi masa-masa yang tak pasti. Tempat mereka kerap menghabiskan waktu bersama, sewaktu-waktu bisa dikosongkan paksa.
Sengketa lahan
Dulu, tak lama setelah Pondok Mesudji Jogja berdiri, Yayasan Batang Hari Sembilan tidak termonitor hingga tahun 2000-an. Pengelolaan asrama ini lantas dilakukan swadaya oleh para penghuni. Selain itu juga berjalan berkat bantuan IKPM Sumsel, alumni, dan pemerintah daerah.
Menurut keterangan tertulis Koordinator Tim Kuasa Hukum IKPM Sumsel, Ramdlon Naning, kondisi tenang mulai terusik setelah ada pihak lain yang hendak melakukan pengosongan lahan. Tindakan itu atas dasar klaim kepemilikan dari ‘Yayasan Batang Hari Sembilan Sumatera Selatan’ yang didirikan pada 2015. Yayasan lama bernama Batang Hari Sembilan tanpa ‘Sumatera Selatan’.
Sebelumnya, Yayasan Batang Hari Sembilan Sumatera Selatan mendapat pengesahan berbadan hukum tanggal 22 Juni 2015 Nomor AHU-0008633.AH.01.04. tahun 2015. Setelah resmi berbadan hukum, yayasan baru ini melakukan upaya penguasaan aset yayasan lama yang berdiri tahun 1952.
Termasuk di dalamnya, tanah tempat berdirinya Pondok Mesudji Jogja. Kemudian terbitlah sertifikat HGB No.00147/Kel.Wirobrajan, surat ukur tgl.19-05-2017 No.01190/2017 luas 1.941 m2 pada tanggal 21-08-2017 atas nama Yayasan Batang Hari Sembilan Sumatera Selatan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta.
Sejak saat itu, yayasan memberikan surat kuasa pada pihak khusus untuk menjual tanah tersebut. Hingga terjadilah beberapa sengketa antara yayasan yang melalui pihak yang mewakilinya dengan para penghuni asrama yakni mahasiswa Sumsel.
“Beberapa upaya pengosongan sudah terjadi. Puncaknya saat ratusan orang mendatangi kami. Sebelumnya kami juga sambungan listrik juga sempat diputus beberapa kali,” ujar Hafidz yang menjadi saksi hal-hal yang terjadi di Pondok Mesudji tahun 2020.
Momen 2020 itulah yang akhirnya membuat para mahasiswa meminta bantuan alumni dan mendatangkan tim kuasa hukum. Sejak 2020 proses pengadilan telah berjalan.
Pada 27 Oktober 2021 Tim Bantuan Hukum Pondok Mesudji mengajukan upaya hukum banding ke PN Yogyakarta dengan amar putusan banding menguatkan putusan PN Yogyakarta. Proses hukum saat ini sedang dalam tahap kasasi yang tinggal menunggu putusan Mahkamah Agung (MA).
Diketahui dalam proses persidangan, yayasan melalui pihak yang mewakilinya telah melakukan transaksi penjualan tanah pada tahun 2019. Pembeli sudah menyetorkan uang muka Rp1 miliar dari keseluruhan transaksi sebanyak Rp5,3 miliar.
Kini, para mahasiswa Sumsel ini berusaha menikmati masa-masa yang masih bisa dilewati di Pondok Mesudji. Sembari menunggu putusan kasasi MA. Hafidz yang mewakili suara para penghuni asrama hanya bisa berharap, keputusan bisa berpihak pada mereka.
“Kami akan terus berjuang. Kita meneruskan juga, dari dulu sampai sekarang secara de facto ya ditempati mahasiswa dan pelajar,” ucapnya.
Mang Imam lantas menyahut, “kalau (bangunan) ini hilang karena mafia tanah, saya tidak rela.”
“Tapi, andai kata hilang karena dimanfaatkan untuk mahasiswa atau dikembalikan ke pemda, saya tidak ada masalah. Kami pernah tinggal di sini dan tahu sejarah tempat ini,” ucapnya penuh harap.
Aksi penyelamatan Asrama Mahasiswa Sumatera Selatan “Pondok Mesudji” dari mafia tanah bukan hanya dilakukan oleh mahasiswa Sumsel di Jogja. Mereka juga menggalang dukungan masyarakat di Sumatra Selatan. Rabu 10 Agustus 2022, mereka bertemu dengan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Selatan Mawardi Yahya untuk turut serta menyelamatkan aset masyarakat Sumatra Selatan dari mafia tanah.
***
Hari semakin sore, sebentar lagi azan magrib berkumandang. Saya berpamitan dengan mereka yang masih akan melanjutkan aktivitas di Pondok Mesudji. Jelang Hari Kemerdekaan, katanya mereka akan melaksanakan kegiatan bersama mulai dari voli sampai tenis meja. Mereka berharap masih punya waktu untuk tinggal dan bergembira bersama.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono