Dari ngotot “lo-gue” akhirnya belajar bahasa Jawa
Abdul (23) dari UB dan Almarizti (21) dari UGM adalah mahasiswa asal asal Bogor dan Jakarta Selatan yang saat ini telah menyerap bahasa Jawa sekitar 60 persen. Tadinya mereka kaum yang kekeuh menggunakan “lo-gue” di tahun pertama kuliah.
Abdul awalnya bertahan dengan bahasa “lo-gue” yang biasa ia pakai di tempat asalnya. Namun, kadang-kadang Abdul mendapat gestur risih dari lawan bicaranya.
“Semenjak itu, aku agak membatasi hubungan dengan orang yang nggak terbiasa dengan ‘lo-gue’. Cuma ngobrol sama orang Jabodetabek atau orang Jawa yang menerima ‘lo-gue’ itu,” katanya.
Setahun pertama di Jawa menjadi fase yang sulit bagi Abdul. Namun, pada suatu titik tertentu ia merasa tak bisa meneruskannya. Apalagi saat tugas kelompok semakin banyak dan ia menyadari tak bisa terus-terusan membatasi diri. Ia mengingat sebuah pepatah yang dekat dengan kondisinya saat itu, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
“Nggak bisa sombong dengan harus membawa budaya asal ke tempat orang,” ucapnya menambahkan. Ketika Abdul membayangkan lagi untuk kembali ke masa tersebut, ia justru merasa dirinya sebagai sosok arogan.
Alma bercerita kalau di jurusannya banyak orang Jawa dan non-Jawa. Lingkungan yang beragam ini membuatnya merasa perlu beradaptasi menyesuaikan diri.
“Aku merasa nggak etis tetap mempertahankan ‘lo-gue’ di tengah keberagaman mahasiswa,” ungkapnya kepada saya. Mahasiswi Jurusan Ilmu Aktuaria ini menganggap dirinya yang perlu menyesuaikan diri. Meski tak dipungkiri ia kadang salah paham karena sulit membedakan temannya yang memang pakai bahasa Jawa kasar dan sedang marah. Khususnya penggunaan kata jancuk atau jancok kira-kira seperti “wes mangan a, cok?” atau “rambutmu kok ngono sih, cok?”
Bukan tanpa tantangan ketika Abdul harus bisa switch bahasa dengan lugas sesuai dengan orang yang diajak bicara. Pernah di suatu waktu dia keceplosan menyebut temannya dengan ‘kamu’. Alhasil dia berakhir dengan ejekan bercanda dari teman-teman dari daerah asalnya. “Eh, Jawa Jawa!” kenangnya tertawa.
Kini Abdul sudah bisa bercakap-cakap dengan bahasa Jawa atau Jawakarta, minimal saat pulang kampung ke Bogor, ia bisa ngobrol dengan tukang nasi goreng. Sekali waktu, ia mengajak tukang nasi goreng tersebut bercakap dalam bahasa Jawa dan berakhir dengan dapat bonus sosis tapi harga nasgor biasa.
“Lumayan privilege,” ujarnya senang.
Jawakarta adalah fenomena cara berpikir
Saya mewawancarai Abdul Hair, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya khususnya kajian cultural studies. Terkait Jawakarta, menurutnya, Jakarta bukan persoalan wilayah tapi fenomena cara pikir. Di kampus tempat ia mengajar, fenomena seperti ini hampir nyaris tak ada perlawanan. Memang ada yang mengeluh dan merasa janggal. Namun, sebagian orang tetap percaya bahwa Jakarta termasuk “lo-gue” adalah cara pikir modern.
Memandang fenomena Jawakarta, kata Abdul Hair, perlu melihat Jakarta secara epistemik atau reduksi secara kasar adalah fenomena cara berpikir dan bukan sebagai wilayah.
“Koncoku loh, Duro (Madura), lo gue lo gue, loh,” katanya ikutan curcol di sela-sela wawancara.
Hal ini bukan Jakarta versus daerah tapi pusat versus pinggiran, yang mana cara berpikir pusat tidak harus terjadi di Jakarta tapi bisa di mana saja, baik di Malang atau Jogja. Maka tidak heran ada atau tidaknya penutur bahasa gaul, penggunaan “lo-gue” tetap bisa tumbuh subur seperti tanaman yang rajin disirami.
Berdasarkan observasinya selama jadi dosen bertahun-tahun, Abdul Hair menjelaskan beberapa alasan singkat kenapa fenomena Jawakarta bisa terjadi. Pertama, dimulai dari jumlah mahasiswa asal Jabodetabek yang tak bisa dibilang kecil. Tadinya hanya bicara “lo-gue” sesama penutur, tapi lama kelamaan, non-Jabodetabek ikut menyerap bahasa ini. Jawakarta juga tidak mengharuskan kehadiran orang Jakarta daalam sebuah percakapan.
Kedua, secara khusus, ada organisasi-organisasi yang menghimpun jurusan di tempatnya mengajar kebanyakan isinya mahasiswa Jabodetabek. Dari pengamatannya, untuk menang suara di himpunan tersebut memang tak perlu jadi orang Jakarta dulu, yang penting punya pola pikir Jakarta. Ia sendiri bersinggungan dengan orang-orang tersebut sehingga dapat mengambil kesimpulan demikian.
Saya bertanya, cara pikir Jakarta itu apa, sih? “Cara berpikir yang menganggap jakarta adalah simbol modernisasi sehingga orang-orang ingin naik kelas dan cara naik kelas paling mudah adalah dengan bahasa,” katanya.
“Lo-gue” untuk modal sosial dan ekonomi
Pierre Bourdieu seorang sosiolog, antropolog dan filsuf Perancis memperkenalkan konsep modal sosial yang bisa dikonversi menjadi modal ekonomi.
“Nah, dalam kasus Jakarta, orang lebih susah dapat modal ekonomi kalau masuk di lingkungan (pertemanan) luar Jakarta. Kenapa orang lebih pengin jadi Jakarta karena konversi ekonomi lebih mudah dan peluang kerja buat jurusan tertentu (soshum) itu memang ada di Jakarta,” katanya menerangkan.
Jadi memang masuk akal kalau Jawakarta secara tidak langsung menjadi trik berteman dan trik memperluas relasi, seperti yang dipikirkan Fernanda, Gredyon, dan Zaki.
Apakah ini juga pengaruh dari media massa? “Media Jakarta sentris sudah lama, tapi fenomena ini Jawakarta ini baru ada sekarang. Jadi media bukan penyebab utamanya. Media ibaratnya sebagai mikrofon saja,” terang Abdul Hair lagi.
Reporter: Ussy Sara Salim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Mahasiswa yang Nggak Ikut Wisuda karena Merasa Nggak Sakral-sakral Amat dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.