Skripsi sudah selesai. Harusnya tinggal nunggu jadwal wisuda. Namun, bukan pengumuman hari perayaan kelulusan yang datang, justru kabar jika pemerintah telah menutup kampus. Puluhan mahasiswa di kampus tersebut kini was-was, mimpi punya ijazah yang bisa meningkatkan karier mereka terancam pupus.
***
Di ruang lobi kampus yang lengang, Agung Wijanarko (44) dan dua rekannya duduk termenung menunggu kepastian. Seperti mahasiswa yang hendak menghadiri perkuliahan, mereka semua berpakaian rapi dengan kemeja, celana kain, dan sepatu.
Tak jauh dari tempat mereka duduk, seorang lelaki tua sibuk dengan panggilan telepon di ponselnya. Lelaki itu adalah sosok rektor atau ketua perguruan tinggi tempat Agung menempuh studi.
Perbincangan di sambungan telepon sedikit samar, tapi tetap terdengar pembahasan tentang nasib para mahasiswa yang terkatung-katung akibat penutupan operasional kampus. Rabu (8/3) siang itu, Agung menempuh perjalanan jauh dari Gunungkidul ke gedung kampusnya yang terletak di Jalan Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta.
“Kami lagi ngurus ijazah yang statusnya terdampak penutupan kampus, Mas,” kata Agung lirih saat saya tanya maksud kedatangannya. Kami tak sempat berbincang panjang pada perjumpaan itu. Namun, Agung membagikan kontaknya untuk saya hubungi di lain waktu.
Kelas karyawan jadi harapan naikan jenjang karier
Tak mudah untuk membuat janji dengan Agung. Ia merupakan pegawai administrasi di salah satu instansi pemerintahan di Gunungkidul. Menempuh studi S1 adalah upayanya untuk meningkatkan jenjang kariernya.
Sejak 2017, Agung menempuh studi S1 Jurusan Ilmu Administrasi Negara di STISIP Kartika Bangsa Yogyakarta. Perguruan tinggi yang berdiri sejak 20 Oktober 1987 ini memiliki tiga program studi yakni Sosiologi, Ilmu administrasi Negara, dan Magister Administrasi Publik.
Awalnya Agung mengaku mencari kampus yang menyediakan jadwal kelas khusus karyawan. Sehingga ia bisa mencari nafkah di hari kerja dan mengikuti perkuliahan di akhir pekan.
“Dulu saya cari-cari informasi di Google. Sama kemudian tanya-tanya informasi ke teman. Akhirnya ketemulah info tentang kampus ini,” terangnya saat kami berhasil menemukan waktu tepat untuk wawancara pada Senin (20/3).
Ada beberapa kampus yang membuka kelas karyawan di Jogja. Namun, Agung mempertimbangkan kesesuaian jurusan untuk menunjang pekerjaannya di bidang administrasi dan keuangan. Pilihan di STISIP Kartika Bangsa menurutnya menarik sehingga ia mantap memilihnya.
Skripsi selesai, kampus malah tutup
Saat mulai menjalani aktivitas perkuliahan, Agung mengaku semua berjalan normal. Ia paham bahwa tempatnya menempuh studi merupakan kampus kecil. Hiruk pikuk pembelajaran tidak seperti kampus dengan mahasiswa yang jumlahnya ribuan.
“Selain memang kampusnya tidak ramai, saya melihatnya biasa saja. Wajar dan normal. Nggak ada istilahnya menyimpang gimana gitu,” terangnya.
Setiap Sabtu dan Minggu ia mengaku menjalani kuliah. Jadwalnya pun tertib dan berjalan rutin. Agung menjalani perkuliahan dengan rekan-rekannya yang semuanya juga sudah bekerja. Untuk usia, mayoritas sudah di atas tiga puluh tahun. Ada beberapa yang masih dua puluh tahunan tapi sudah bekerja juga.
Waktu berjalan sampai akhirnya pada 2021 Agung mengaku mulai mengerjakan tugas akhir berupa skripsi. Ia mengambil topik penelitian seputar pengembangan potensi Desa Kemadang, Gunungkidul yang merupakan tempat asalnya. Sebuah desa di pesisir selatan Gunungkidul dengan banyak potensi alam.
Pada Maret 2022 Agung menjalani sidang untuk menguji penelitian akhirnya. Saat itu ia dinyatakan lulus. Agung mengaku lega. Akhirnya mendapat lampu hijau untuk mendapatkan sebuah ijazah demi menunjang pekerjaannya.
“Saat itu kampus mengabarkan kalau acara wisuda di bulan Oktober 2022,” terangnya.
Gagal wisuda, ijazah pun tak tentu nasibnya
Sampai awal bulan yang ia tunggu, kabar hari pelaksanaan wisuda belum juga terdengar. Alih-alih kabar wisuda, tiba-tiba ia justru mengetahui kalau Kemendikbud Ristek melalui LLDikti menutup kampusnya. SK penutupan STISIP Kartika Bangsa resmi diterbitkan pada 2 November 2022.
Kabar itu lantas membuat Agung dan sejumlah rekannya khawatir. Ijazah yang mereka nantikan belum terbit. Bagi Agung yang menjadi ketua kelas di antara rekan sejawatnya, ada keharusan untuk meminta kepastian kepada kampus.
“Teman saya satu jurusan yang lulus bareng ada 13 orang. Dulu awalnya lebih banyak tapi banyak juga yang nggak sampai selesai,” terangnya.
“Sejak ada kabar itu kampus sepi. Petugasnya sering tidak ada di tempat. Jadi kami ini seperti kekurangan informasi,” sambungnya.
Terhitung sejak kabar penutupan, Agung mengaku sudah sekitar tiga kali menyambangi kampus. Namun, tak bisa menemui pihak yang berwenang. Berkomunikasi lewat WhatsApp pun cukup sulit baginya.
Salah satu hal yang membuatnya khawatir, di laman Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti), status para mahasiswa yang sudah sidang ini tertera belum lulus. Padahal kampus telah meluluskan mereka.
“Padahal kan kami ini lulus sidang sebelum keputusan penutupan. Ini gimana nasib kami?” curhatnya.
Menurut Agung, terakhir STISIP Kartika Bangsa memang sedang mengurus pergantian status sarjana menjadi Sarjana Ilmu Pemerintahan (SIP) menjadi Sarjana Administrasi Publik (SAP). Pada bulan-bulan jelang penutupan portal kampus juga sedang dalam proses sinkronisasi.
“Kalau penjelasan Pak Rektor itu saat sedang peralihan dan proses sinkronisasi, kendala penutupan ini datang,” paparnya.
Mimpi yang terganjal
Padahal ia dan rekan-rekannya sudah menantikan ijazah. Semua teman seangkatan membutuhkan ijazah untuk kenaikan pangkat dan urusan administrasi pekerjaan. Mimpi itu pun terganjal. Sampai saat ini mereka belum mendapat kepastian tentang nasib ijazah mereka.
“Saya berharapnya sih ini segera terselesaikan. Mahasiswa yang sudah lulus bisa mendapat hak mereka. Bagi yang belum juga bisa mendapat bantuan untuk transfer ke kampus lain,” tegasnya.
Mengenai penutupan kampus ini, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (L2Dikti) Wilayah V DIY, Aris Junaid menjelaskan ada sejumlah pelanggaran berat yang terjadi. Salah satunya karena tidak melakukan pembelajaran secara benar dalam kurun waktu lama.
Sekolah tinggi tersebut juga tidak memiliki data mahasiswa. Jam mata kuliah dan kegiatan perkuliahan di kampus tersebut juga tidak jelas. “Plagiarisme di kampus tersebut juga cukup parah. Kartika Bangsa masuk kategori pelanggaran berat jadi terpaksa kami tutup,” jelasnya.
Saat saya mengunjungi kampus, Ketua STISIP Kartika Bangsa, Mariman juga enggan memberikan banyak komentar. Ia mengaku sedang mengupayakan kejelasan nasib para mahasiswanya. Di sisi lain, ia menyayangkan keputusan LLDikti yang terlalu terburu melakukan penutupan.
“Nggak ada tanggapan dulu terkait keputusan LLDIKTI. Nanti panas,” ucapnya.
Baca halaman selanjutnya
Kesedihan para mahasiswa yang kampusnya tutup
Kesedihan para mahasiswa yang kampusnya tutup
Nasib serupa Agung sebenarnya banyak dialami mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia. Kemendikbud Ristek memang menerapkan keputusan tegas bagi kampus-kampus yang melakukan pelanggan berat.
Pada 2021 lalu misalnya, curhatan seorang mahasiswa bernama Ayu viral di media sosial. Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika ini gagal wisuda setelah melalui proses panjang mengerjakan skripsi. Ia mengunggah video yang memperlihatkan lembaran skripsi yang penuh revisi.
Hal itu karena kampus Ayu, Institut Teknologi Medan mengalami penutupan. Pada laman Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, kampus yang terletak di Jalan Gedung Arca No 52, Medan ini resmi tutup pada 04 Oktober 2021. Padahal kampus ini terhitung sudah tua, berdiri sejak 27 Mei 1963.
Bagi Ayu, wisuda adalah momen yang ia nantikan. Tak cuma dirinya, kedua orang tuanya pun mengharapkan bisa melihat anaknya melakukan prosesi kelulusan tersebut. Namun, Ayu masih beruntung karena ijazah dari Pangkalan Pendidikan Tinggi berhasil ia peroleh.
“Yang lebih parahnya kami tidak ada wisuda, padahal skripsi sudah dicoret-coret. Cuma dapat ijazah dari Dikti. Maafkan kami, Mak, Pak,” tulisnya di video itu.
Kebijakan Dikti untuk mahasiswa yang kampusnya tutup
Sebenarnya, mahasiswa yang kampusnya mengalami penonaktifan bisa melakukan transfer ke kampus lain. Pihak kampus yang nonaktif akan memberikan bantuan untuk mengarahkan ke kampus lain yang bisa menerima.
Pada kasus penonaktifan Institut Teknologi Medan 2021 lalu misalnya, ITM mengalihkan mahasiswa pada program studi ke perguruan tinggi lain yang memiliki program studi dalam rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi yang sama. Pengalihan tersebut nantinya dilaporkan kepada menteri melalui Lembaga Pendidikan Tinggi Wilayah I.
Segala biaya yang timbul akibat penutupan dan perpindahan mahasiswa yang juga menjadi beban pihak kampus yang nonaktif. Sehingga nasib mahasiswa dapat lebih terjamin.
Sementara itu, bagi lulusan dari kampus nonaktif, ijazahnya tetap sah untuk berbagai keperluan. Hal itu berlaku selama data ijazah tersebut tercatat dalam PD Dikti. Maka, pihak kampus harusnya melakukan pencatatan secara berkala terkait status mahasiswa.
Untuk kasus yang dialami Agung, kampus mungkin mengalami kelalaian untuk melakukan pencatatan mahasiswa yang telah menjalani sidang pada beberapa gelombang terakhir sebelum penutupan. Hal itu membuat nasib para lulusan yang belum mendapat ijazah tak mendapat kejelasan.
BACA JUGA Menyambangi Deretan Kampus Tutup di Jogja, Merekam Kisah Bangkrut Sampai Kasus Berat dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.