Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tak jauh dari beberapa titik destinasi wisata menarik, ada sebuah dukuh yang selalu terisolir saat hujan deras mengguyur. Dukuh Kedungwanglu, Banyusoco, Playen, Gunungkidul, sudah bertahun-tahun bersabar menunggu perbaikan.
Sejumlah warga mengisahkan hari-hari temaram saat hujan membuat air menenggelamkan jembatan. Anak tidak bisa sekolah, pekerja tidak bisa mencari nafkah, dan keluarga di rumah merasa resah.
***
Munadzar Abror (42) berdiri di sudut jembatan crossway dengan panjang sekitar 50 meter. Menatap aliran sungai Prambutan yang membentang di sisi kanan dan kirinya. Sungai dengan air kebiruan yang cukup jernih sehingga bisa menampakkan dasar aliran. Bebatuan di sekitar membuat area ini begitu asri.
“Kalau cuaca cerah, airnya bagus. Anak-anak juga bisa main. Tapi kalau hujan deras, situasinya berbeda,” kata lelaki yang berprofesi sebagai guru di MI Yappi Kedungwanglu yang letaknya sekitar 300 meter dari jembatan tempatnya berdiri. Itu merupakan satu-satunya SD di Dukuh Kedungwanglu, Banyusoco, Playen, Gunungkidul.
Mata Munadzar mengedar ke sekitar sambil mengenang momen beberapa waktu lalu. Pertengahan Februari, pagi saat sekolah sedang mengadakan kegiatan belajar, tiba-tiba hujan deras datang. Tapi tampaknya hujan telah turun beberapa waktu sebelumnya di Playen, area yang jadi hulu sungai Prambutan. Volume air pun bertambah besar. Tak berselang lama sungai pun meluap.
Luapan sungai Prambutan mulai melampaui tinggi jembatan. Jika sudah demikian, ketimbang harus menunggu surut yang mungkin sampai petang, sekolah memilih segera memulangkan sebagian muridnya yang rumahnya terletak di seberang sungai.
Jembatan sudah tertutupi air nyaris setinggi lutut orang dewasa. Bahaya bagi anak-anak untuk menyeberang. Tangis anak yang ketakutan juga sering terdengar saat banjir menerjang. Maka Munadzar bersama sejumlah warga harus menggendong para murid ini menyeberang.
“Anak-anak takut kalau sudah banjir begini. Kami gendong. Biasanya kalau banjir sudah sejak pagi sekali, mereka nggak berangkat pun sekolah memaklumi,” kata Munadzar saat Mojok temui Senin (6/3) pagi.
Peringatan hadeging nagari @kratonjogja tgl 13 Februari 1755. Anak2 SD Kedungwanglu Banyusoca Playen @PemkabGK
meneladani kegigihan laskar Ki Demang Wonopawiro menyeberangi sungai banjir… 🙏🤦♂️ pic.twitter.com/pz0U4wobMg— krisnadi setyawan (@krisna17revolt) February 14, 2023
Jembatan di sungai yang meluap saat hujan deras
Ketinggian jembatan yang tak terlalu ideal, sekitar tiga meter di atas permukaan tanah membuatnya tak mampu menghindari luapan air. Hambatan menjadi sesuatu yang selalu warga Dukuh Kedungwanglu rasakan setiap musim penghujan.
Lokasi Kedungwanglu terletak di bawah perbukitan. Lokasinya diapit sungai Oya di sisi barat dan sungai Prambutan di timur dan selatan. Sedangkan di utara, perbukitan tinggi membentengi kawasan ini.
Kedungwalu terdiri dari delapan RT. Di area yang sisi barat sungan Prambutan terdapat lima RT yakni RT 3,4,5,6, dan tujuh. Sedangkan di sisi timur sungai terdapat RT 1,2, dan 8. Total ada 470-an jiwa yang tinggal di daerah ini.
“Sekitar 30 persen murid kami berada di sisi timur sungai. Jadi kalau mau sekolah harus menyeberang,” jelasnya.
Jembatan dengan lebar sebadan kendaraan roda empat ini jadi satu-satunya akses utama bagi warga yang hendak beraktivitas ke luar padukuhan. Ada jalan lain, namun membelah perbukitan dengan durasi tempuh lama dan pastinya tak bisa dilewati kendaraan.
Dulu juga sempat ada jalan setapak kecil, menyusuri lereng bukit bebatuan yang memungkinkan durasi tempuh dan medan yang lebih mudah untuk menghindari sungai. Namun, pascagempa 2006, area itu terkena timbunan material. Praktis,jalan sempit untuk pejalan kaki itu tidak bisa untuk lewat lagi.
Selalu khawatir saat banjir datang di dukuh terisolir
Munadzar merupakan warga asli Kedungwanglu. Sejak 2003 ia menjadi guru honorer di MI Yappi setempat. Sejak saat itu, kekhawatiran saat banjir melanda selalu datang, terlebih jika hal itu terjadi di waktu pembelajaran.
“Kalau kejadian kebanjiran atau menggendong anak untuk menyeberang sudah nggak terhitung lagi sejak dulu,” ujarnya sambil menyapa para warga yang melintasi jembatan.
Warga melintasi jembatan. Saat hujan deras, jembatan ini terbenam sehingga tidak bisa dilalui.
Kami duduk di pinggiran jembatan sekitar jam tujuh pagi. Tampak banyak warga yang merupakan buruh pabrik, pegawai, petani, hingga pelajar SMP dan SMA melintas sedari tadi. Saban pagi, jembatan ini pasti ramai aktivitas.
Jika banjir melanda pada pagi hari, menurut Munadzar, sekolah pasti memaklumi murid dari seberang yang izin tidak berangkat. Munadzar dan delapan pengajar lain di sekolah tidak ingin ambil risiko. Pun demikian dengan para orang tua yang tak berani mengantar anaknya ke sekolah dengan kondisi air meluap. Kendati begitu, kegiatan belajar tetap berjalan seperti biasanya untuk para murid yang tempat tinggalnya tak perlu menyeberang kali.
Anak-anak di MI Yappi berkegiatan sejak pagi jam tujuh hingga sekitar pukul dua belas siang. Jika cuaca sedang baik, kegiatan belajar terlihat begitu menyenangkan. Terlebih sambil menikmati area asri sekolah dengan sawah dan perbukitan yang mengitari.
Mempelai Dukuh Kedungwanglu yang digendong
Munadzar lantas menceritakan bahwa bukan hanya murid MI Yappi yang terkendala. Anak-anak Kedungwanglu yang duduk di bangku SMP dan SMA juga sering terganggu. Mereka harus menempuh perjalanan ke luar padukuhan, melintasi jembatan, karena sekolah jenjang menengah jaraknya lebih dari lima kilometer di luar dukuh.
“Tapi sebenarnya nyaris semua aktivitas ekonomi dan sosial warga terganggu kalau banjir,” tegas Munadzar.
Warga lain yang saya temui, Ahsan Nasir bercerita bahwa hajatan warga jadi salah satu urusan yang kerap terkendala. Sempat ada keluarga besar di Kedungwanglu yang hendak turut mengantar manten ke rumah besan di Wonosari. Mereka sudah menyewa mobil untuk mengantar.
“Tapi kok ndilalah beberapa waktu sebelum berangkat turun hujan deras. Sungai banjir dan ya sudah pasrah. Mereka membatalkan sewa kendaraan dan nggak bisa ikut,” tutur Ahsan. Mempelai yang hendak diantar rumahnya terletak di timur sungai sedangkan sejumlah rombongan keluarga besar ada di sisi barat yang terisolir.
Masih seputar pernikahan, ada pula kejadian saat seorang mempelai dari dukuh ini harus digendong warga melintasi luapan sungai karena sudah harus berangkat ke KUA. Beruntung, saat itu debit air tidak terlalu tinggi sehingga masih memungkinkan warga untuk menerjangnya.
Kisah-kisah seperti itu mewarnai kehidupan warga Kedungwanglu selama bertahun-tahun. Jika urusan bersifat personal dan tak melibatkan rombongan, pilihan untuk mendaki bukit saat jembatan tertutup air masih terbilang memungkinkan.
“Pernah ada yang mau ke bandara pagi-pagi karena dia berangkat kerja ke Sumatra. Sedangkan malamnya itu banjir. Akhirnya dia dini hari memilih naik lewat bukit, padahal bisa satu jam lebih. Tapi daripada ketinggalan pesawat kan, mahal,” curhatnya.
Transit sampai bermalam di rumah pinggir sungai
Nasir lantas bercerita salah satu rumah warga di pinggir sungai kerap jadi persinggahan tatkala banjir. Bahkan warga menggunakannya untuk bermalam setelah berkegiatan di luar dukuh dan tak bisa melewati jembatan.
“Ya rumah Pak Sofyan di timur sungai itu yang kerap menjadi persinggahan,” ujar Nasir sambil menunjuk seorang lelaki yang sedang menata batu di pinggir kali.
Rumah tersebut memang memiliki teras yang cukup lapang. Ada pula sebuah gazebo yang bisa warga gunakan untuk singgah. Sofyan yang datang menghampiri pun bercerita bahwa ia sangat terbuka dan senang apabila rumah itu bisa bermanfaat.
“Tapi ya, sayang sekali, sejak dahulu kok jembatan ini belum ada perbaikan,” timpal Sofyan.
Jika di sisi timur biasanya warga transit di rumah Sofyan, di sisi barat, rumah Munadzar juga biasa difungsikan untuk hal serupa. Kebetulan kedua rumah ini punya teras yang cukup lapang.
Di tengah perbincangan dengan sejumlah warga, Kepala Dukuh Kedungwanglu, Burhan Tholib (50) melintas menggunakan motor matic-nya. Warga lalu memanggil dan mengajaknya turut bercerita. Ia pun menepi bersama kami.
Setelah duduk, sosok yang sudah menjabat kepala dukuh sejak 2006 ini lantas bercerita kalau persoalan paling ia khawatirkan adalah saat ada warganya yang sakit. Kondisi tersebut kadang perlu penanganan di rumah sakit dengan segera. Tapi banjir kadang menghambatnya.
“Kalau sakit itu kan tidak bisa diperkirakan dan juga ditunda. Itu sering terjadi dan yang paling membuat saya resah,” terangnya.
Maret baru berjalan sepekan, menurutnya sudah ada dua kali banjir yang cukup besar. Luapan air terjadi pada hari Rabu (1/3) dan Kamis (2/3). Pertama terjadi semalaman dan kedua sejak dini hari sampai menjelang siang.
Saat itu, kebetulan sejumlah warga sedang melangsungkan perkumpulan di Balai Padukuhan. Mereka yang tak bisa pulang akhirnya menunggu semalaman di rumah Burhan. Tempat tinggal mereka mungkin hanya terpaut ratusan meter, tapi luapan air membuatnya terasa begitu jauh.
“Sepanjang 2023 banjir besar itu ya tidak sampai sepuluh kali. Besar artinya yang sampai setengah hari jembatan tertutup. Tapi kalau yang hanya dua tiga jam, itu tidak terhitung,” kata Burhan.
Saat Banjir besar, permukaan air bisa setinggi orang dewasa yang berdiri di jembatan. Ia menunjukkan sisa-sisa air yang melibas beberapa tumbuhan di kebun sisi jembatan. Bahkan saat kondisi cuaca ekstrim, air bisa mendekati permukiman.
Selalu ada survei tapi tak pernah ada realisasi
Jembatan yang berdiri saat ini merupakan perbaikan terakhir dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 2011. Saat itu ada peningkatan tinggi jembatan dari ukuran sebelumnya. Namun sebenarnya, menurut Burhan pembangunan itu belum ideal.
Hingga saat ini, berbagai pihak hampir pasti melakukan survei setiap tahun. Namun tak pernah ada realisasi lebih lanjut tentang rencana perbaikan jembatan ini.
“Setahun itu bahkan ada survei dua kali. Tapi ya berakhir seperti ini terus,” terangnya.
Status jembatan ini memang menghubungkan jalan desa. Namun, menurut Burhan, dana desa tidak bisa memfasilitasi perbaikan jembatan ini. Jika alokasi dana desa Banyusoco yang berkisar di angka Rp1 miliar untuk perbaikan jembatan maka kemungkinan program desa lain tidak bisa berjalan.
Pada Februari lalu, Kepala Bidang Bina Marga, Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPUPRKP) Kabupaten Gunungkidul, Wadiyana mengaku pihaknya telah melakukan survei ke lokasi. Rencana perbaikan akan diusulkan pada APBD 2024.
DPUPRKP mengkaji dua opsi perbaikan. Opsi pertama membangun jembatan dengan lebar 7 meter, dan panjang sekitar 40 meter dengan perkiraan anggaran Rp 6 Miliar. Sedangkan opsi kedua membangun jalan baru dengan panjang 500 meter pada lahan milik Perhutani.”Selama ini sebenarnya sudah kami usulkan namun terkendala anggaran. Insya Allah dianggarkan lagi di 2024,” ujarnya melansir dari Radar Jogja.
Burhan dan para warga berharap, langkah para pemangku kebijakan tidak berhenti pada tahapan survei dan survei lagi. “Kalau survei sudah setiap tahun ada,” ujarnya tertawa getir.
Warga Dukuh Kedungwanglu butuh akses jembatan yang layak
Jika belum bisa melakukan pembangunan jembatan layak secara permanen, ia berharap setidaknya ada peninggian jembatan. Paling tidak dua meter sehingga bisa lebih terhindar dari luapan air.
Ia juga beranggapan konstruksi jembataan saat ini mirip bendungan. Kurang ruang di bawah sehingga air lebih mudah meluap. Apalagi ketika arus air membawa sampah dan benda seperti potongan kayu dan bambu. “Pasti lebih cepat melupanya,” terangnya.
Sudah lama Kedungwanglu menjadi tempat ratusan warga bermukim. Puluhan tahun lamanya mereka harus terbiasa dengan kondisi sulit saat musim penghujan tiba.
Mayoritas di antara mereka bertani sebagai mata pencaharian utama. Selain itu juga banyak yang berprofesi menjadi pedagang asongan, pegawai kantoran, hingga buruh pabrik, sehingga akses yang nyaman untuk pulang dan pergi jadi hal mutlak yang mereka butuhkan untuk menyambung kehidupan.
Saat beranjak pergi meninggalkan Kedungwanglu, saya melintasi jalanan menanjak menaiki bukit di atas permukaan jalan cor blok yang licin setelah hujan. Sesampainya di atas perbukitan, deretan permukiman Kedungwanglu tampak indah dengan kelok sungai yang mengelilinginya.
Di sekitarnya, perbukitan menjadi primadona pariwisata. Namun, kisah di bawah sana ternyata menyimpan banyak keterbatasan yang perlu perhatian segera.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Curhat Pekerja Pasar Malam, Penuh Hiburan tapi Bisa Tak Gajian Dua Minggu karena Hujan dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.