Cerita Seorang Bapak yang Anak Perempuannya Jadi Korban di Tragedi Kanjuruhan

kisah seorang bapak yang anak perempuannya jadi korban tragedi kanjuruhan

kisah seorang bapak yang anak perempuannya jadi korban tragedi kanjuruhan

Sugeng Riyadi (52), terbiasa mengajak tiga anaknya untuk menonton pertandingan Arema sejak mereka masih balita. Hingga mereka dewasa, ketiga anaknya menjadi suporter Aremania. Malam itu, Minggu dinihari, dengan cemas ia berharap satu per satu anaknya pulang dari Stadion Kanjuruhan. Sebuah keinginan yang tak sepenuhnya bisa terwujud.

***

Namanya, Sugeng Riyadi (52), warga Selorejo, Kota Malang. Saya pertama kali mengenalnya sebagai sosok periang ketika kami bekerja di salah satu perusahaan yang sama medio 2019 silam. 

Beliau bekerja sebagai seorang sopir. Di waktu luang, Pak Sugeng meleburkan jiwa dan raganya sebagai seniman kuda lumping

“Nguri-nguri budaya, mas,” jawab Pak Sugeng konsisten setiap kali saya menanyakan apakah beliau dapat tanggapan pada setiap akhir pekan yang terlewatkan.

Selalu ajak tiga anak nonton Arema sejak balita

Selain menggeluti kuda lumping, identitasnya adalah seorang Aremania sejati. Setiap punya waktu luang lebih, Pak Sugeng mengekspresikan identitasnya penuh rasa bangga dengan cara hadir langsung di stadion mendukung tim sepak bola kesayangan berlaga. 

Selama jadi suporter Arema, entah sudah berapa kali pergantian nama liga yang ia alami. Begitu juga dengan lokasi pertandingan yang menjadi kandang Arema. Mulai dari Stadion Gajayana hingga bergeser ke Stadion Kanjuruhan. Mulai dari momen degradasi hingga selebrasi juara. Mulai dari masa bujangan hingga beranak tiga, seluruhnya dinikmati Pak Sugeng penuh rasa cinta.

“Anak-anak mulai saya ajak nyetadion itu sejak mereka masih balita. Sebenarnya terserah ketika mereka dewasa mau suka sepak bola atau tidak. Tapi, saya itu gak pengin anak saya jadi kuper. Mengajak anak-anak ke stadion nonton Arema itu cara saya mengajarkan bahwa mereka juga bagian masyarakat. Mereka perlu punya identitas dan kebanggaan atas kota kelahiran mereka,” kata Pak Sugeng mengawali cerita.

Sayangnya, saya tak bisa menimpali awal kisah Pak Sugeng kali ini dengan gempita. Penuturan ini saya terima saat takziah di rumah duka beliau, Selasa (4/10/2022). 

Ya, Pak Sugeng adalah salah satu orangtua dari korban jiwa tragedi Kanjuruhan. Anak keduanya, Alvinia Maharani Putri (20), ikut meregang nyawa pada malam tragis itu. Seperti kakak dan adik laki-lakinya, Alvinia adalah penggemar Arema FC. Menonton di stadion langsung adalah bentuk dukungan untuk klub yang mereka cintai.

Tiga anak menonton Arema FC vs Persebaya

Di laga sarat gengsi tersebut, ketiga anak Pak Sugeng berangkat memberikan dukungan langsung kepada tim kebanggaan. Apa yang ayah mereka kenalkan sejak mereka balita tertanam di sanubari masing-masing hingga dewasa. Pak Sugeng menurunkan apa yang ia percayai ke ketiga anaknya dengan apik. 

Malam itu, si sulung berangkat bersama kawan-kawan sebaya. Begitu pun dengan Alvinia dan si bungsu. Ketiganya duduk pada tribun terpisah. Si sulung dan Alvinia sempat bertemu di dalam stadion. 

Ketika berjumpa, keduanya meluangkan momen untuk berswafoto, lantas mereka pamerkan pada sang ayah yang hanya menyaksikan laga di depan layar kaca. 

Dua jam berselang, peluit panjang yang jadi penanda 90 menit pertandingan telah usai dibunyikan oleh Agus Fauzan Arifin sebagai wasit yang bertugas. Siapa sangka, bunyinya nyaring bak sangkakala yang menandakan kiamat kecil akan terjadi. 

Seorang perempuan di Stadion Kanjuruhan Malang terlihat ditandu. (Foto ilustrasi Ahmad Rittaudin/Mojok.co)

Di rumah, Pak Sugeng masih diliputi kekecewaan karena tim kesayangannya ditekuk sang rival dengan skor 2-3. Makin larut, kekecewaan Pak Sugeng berangsur-angsur digantikan dengan perasaan cemas. Anak-anaknya belum ada yang pulang.

Nonton dari tribun VIP, jelang tengah malam si bungsu sampai rumah lebih dulu. “Mbakmu mana?” tanya Pak Sugeng. “Gak tahu, Pak! Tadi sama temannya,” jawab si bungsu. 

Malam makin mencekam, kini giliran si sulung yang tiba di rumah. “Adekmu mana?” selidik Pak Sugeng. 

“Tadi di stadion rusuh, Pak! Tapi, pas aku lihat, di tribun 4 (titik lokasi Alvinia menonton pertandingan) sudah sepi. Aku pikir adek pasti sudah pulang sama teman-temannya,” tutur si sulung sambil menceritakan kronologi kejadian.

Resah Pak Sugeng pun tuntas saat dini hari ia menerima panggilan telepon sekaligus kiriman potret wajah sang putri tengah terbaring di ranjang Rumah Sakit Wava Husada, Kepanjen, Kabupaten Malang. 

“Saat itu juga saya berangkat ke Kepanjen sama istri. Sebetulnya waktu itu saya sempat lega karena akhirnya ada kabar tentang Alvinia. Soalnya kan pas itu kronologi kejadian di Kanjuruhan masih simpang siur saya terima. Saya tidak mengira kalau ternyata Alvinia sudah meninggal,” beber Pak Sugeng pilu. 

Detik itu juga saya lupa tengah bertugas sebagai seorang jurnalis. Orangtua mana yang bakal mengira putrinya menghembuskan nafas terakhir gara-gara nonton sepak bola? Di stadion yang biasanya menawarkan gemuruh penuh nyanyian sukacita. Di tempat yang telah ia kenal sejak masih balita. Di saat ia hanya datang guna merayakan eksistensi dan kebanggaannya mendukung tim tercinta.

“Apa lebih baik sebagai bentuk hukuman, sepak bola Indonesia, atau sekalian Arema, ini mending dibubarkan saja, Pak?” tanya saya yang makin limbung tak bisa mengikuti alur narasi pertanyaan saya sendiri.

“Tentu tidak bisa seperti itu, mas. Saya tidak setuju. Bagaimana pun Arema adalah identitas. Ia harus tetap ada dan jadi kebanggaan siapa pun yang lahir di sini. Setiap warga Malang perlu punya harapan dan kebanggaan yang perlu mereka rayakan dalam hidup. Harapan kita untuk merayakan hidup itu tersisa di sepak bola. Kalau itu juga sudah tidak ada, bagaimana lagi cara kita merayakan apa yang kita banggakan?” pungkas Pak Sugeng yang tengah mencoba mengamalkan ilmu ikhlas dalam setiap perkataannya. 

Meski tentunya, Pak Sugeng tak akan lagi melihat apa yang sudah ia banggakan sepanjang hidup itu dengan cara yang sama.

Hati saya kian diliputi amarah dan kesedihan mendalam atas tragedi yang terjadi. Bagaimana mungkin Pak Sugeng tidak merasakan hal serupa? Diukur dari segi apa pun, tentu hatinya jauh lebih hancur.

“Anak saya mati sia-sia, ya, mas?”

“Jelas tidak, Pak! Anak sampeyan mati sebagai pahlawan penuh kebanggaan yang patut dikenang sepanjang masa!” timpalan terakhir saya penuh keraguan hingga buru-buru pamit dari rumah duka Pak Sugeng. Mata saya berkaca-kaca, sebab tak sanggup lagi mengurai kebanggaan, amarah, dan ilmu ikhlas dalam satu isi kepala.

Alvinia Maharani Putri, anak Pak Sugeng, menjadi satu dari 131 korban meninggal usai pertandingan Arema FC Vs Persebaya. Dari data, ada 377 korban luka sudah dipulangkan dan masih ada 66 orang yang dirawat. Korban yang masih dirawat tersebar di 25 RS.

Saya tak mau menyebut ada hikmah dalam tragedi ini karena terlalu hitam dan kelam bagi sejarah sepak bola Indonesia untuk kita petik apa pun darinya. Tapi, tragedi Kanjuruhan ini juga membuktikan sikap pengecut dan ketidakmampuan para pengurus federasi

Saya percaya seperti halnya kesenian, sepak bola itu milik rakyat. Kecintaan dari suporter lah yang bisa menyelamatkan sepak bola Indonesia. 

Saya berharap tragedi ini benar-benar terusut dengan tuntas.  Siapa-siapa yang bertanggung jawab harus jelas dan menawarkan keadilan bagi seluruh korban.

Semoga hawa sejuk perdamaian antar suporter yang sudah tergaungkan bisa diteruskan. Sudah saatnya ego satu dua orang yang tidak mewakili suara secara keseluruhan mulai ditinggalkan

Kalau tragedi ini juga tidak bisa jadi momen perdamaian dan persatuan itu, berarti sepak bola Indonesia memang tidak bisa diselamatkan lagi.

Penulis: Swara Mardika
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Saksi Tragedi Kanjuruhan: Tangisan Lelaki Muda di Samping Perempuan yang Tak Berdenyut Nadinya

Exit mobile version