Toko kelontong Madura jamak kita temui hari-hari ini di Yogyakarta. Sebagaimana namanya, bisnis ini dimiliki dan dijalankan oleh para perantau dari Madura. Kisah suksesnya sudah beredar dari mulut ke mulut. Namun seperti apa cerita perjuangan sebenarnya.
***
Malam hari, sekitar pukul 21.00 WIB, Ulfa (25) sibuk menjaga tokonya. Ia sendirian. Suaminya masih terlelap. Tempat tidurnya menyatu dengan toko. Hanya disekat rak dan sedikit tirai agar tertutup dari pandangan pembeli.
“Maklum, Mas. Toko kami buka 24 jam, jadi kami selalu gantian. Tidur satu, yang lain jaga, begitu terus,” ucap Ulfa, di sela kesibukannya ketika berbincang dengan Mojok, Selasa (5/7/2022) di emperan tokonya di Jalan Perumnas, Seturan.
Ulfa yang notabene berasal dari Madura punya cara untuk bertahan di tanah rantau. Ia menjadikan warung/tokonya menyatu dengan tempat tinggal. Meski terbatas dan tak banyak ruang, namun mereka memilih hidup dengan cara ini. Agar Efisien.
Ulfa dan suaminya merupakan satu dari sekian banyak perantau Madura yang menjalankan toko kelontong di Jogja. Toko-toko ini belakangan makin populer dan terasa manfaatnya bagi masyarakat.
Toko kelontong Madura hadir untuk menjawab kebutuhan para pembeli di sekitarnya. Apa yang Anda butuhkan, mereka menyediakan. Istilahnya Apa lu mau, gue ada atau palugada.
Mudah bagi kita untuk menandai toko kelontong milik orang Madura. Pertama, penampakan warungnya. Anda hampir pasti menemukan sebuah mesin pengisian BBM yang kerap disebut pom mini.
Pom mini ini warnanya merah dan putih. Kadang dilengkapi kerlap-kerlip lampu yang mengelilingi mesin. Meriah.
Kedua, ukuran tokonya tak terlalu luas. Namun padat terisi. Bahkan barang dangannya sampai tertumpuk-tumpuk di halaman depan. Saat menengok etalase rokoknya, Anda juga akan menemukan puluhan merk rokok tersedia. Lengkap!
Ketiga, ciri yang khas adalah adalah ketika Anda berbincang dengan penjaganya. Logat Maduranya amat kental. Malam hari, mereka kerap melakukan video call nyaris berjam-jam dengan keluarganya.
Toko serba ada
Ulfa dan suaminya mulai menjaga toko sejak Mei lalu. Mereka sebelumnya datang ke Jogja tanpa pekerjaan pasti. Saat tinggal ngekos sekitar Jalan Gejayan, mereka mengenal seorang penjaga warung Madura. Sejak saat itulah kesempatan berdagang terbuka.
“Di dekat kos, ada warung Madura. Kami kenalan sama penjaganya lalu tanya apakah ada peluang buat berjaga warung lain di bawah juragan yang sama,” kata perempuan asal Pamekasan ini sambil membenarkan kerudungnya.
Salah satu model pengelolaan toko kelontong Madura memang menggunakan sistem bagi hasil. Ada juragan warung yang menyiapkan lapak beserta modal awal bagi mereka yang berminat. Ulfa dan suaminya memilih model ini sebagai pijakan awal. Sebab tak butuh modal awal yang besar kecuali niat dan komitmen.
Tak berselang lama, sepasang suami istri ini mendapat kabar kalau ada warung yang bisa dijaga. Tak butuh waktu lama untuk memutuskan. Akhirnya mereka mendapatkan tempat di Jalan Perumnas, Seturan.
“Jadi ya pas bulan Ramadan itu kami dapat kabar. Kemudian setelah lebaran kami sudah bisa mulai berjaga,” ungkapnya.
Setiap harinya, mereka mendulang omzet rata-rata sekitar dua juta rupiah. Keuntungan bersihnya, maksimal sepuluh persen. Jadi jika dalam 24 jam berjaga mereka dapat dua juta, yang masuk ke kantong mereka sekitar dua ratus ribu saja.
Berdagang kebutuhan pokok sehari-hari memang tak menawarkan margin keuntungan yang besar. Belum lagi, di akhir bulan mereka harus menyetorkan potongan bagi sang juragan.
“Jadi misal dalam sebulan kami dapat enam juta, ya itu dibagi tiga. Pertama untuk kami, kedua untuk juragan, dan juga untuk sewa tempatnya,” kata Ulfa.
Tuntutan inilah yang membuat Ulfa dan suaminya mau tak mau memaksimalkan seluruh waktunya untuk berjualan seharian penuh tanpa jeda. 24 jam sehari dibagi berdua. Bagi Ulfa yang mengaku sering sakit dan merasa tidak enak badan, ini bukan perkara mudah.
“Saya ini orangnya agak lemah, maksudnya mudah sakit. Kalau begitu suami nanti yang jaga lebih lama,” katanya.
Buka 24 jam
Bagi Ulfa, jaga toko saat malam adalah waktu-waktu yang cukup menantang. Ia sudah pernah mengalami hal-hal yang cukup menguji nyali. Baru saja kejadian pada malam sebelumnya, ia mengaku melihat sebuah parang yang diletakkan di jok seorang pengendara yang hendak mengisi bensin.
“Saya kaget, ada orang beli bensin. Pas buka jok motor, eh di sana ada parang itu. Saya coba tenang, tetap senyum dan ramah saja. Tapi jantung asli deg-degan,” katanya sambil tertawa.
Beberapa hari yang lalu malah situasinya lebih mencekam. Tak jauh dari toko tempat Ulfa dan suami berjualan terjadi bentrok antarkelompok di wilayah Babarsari.
Tak berselang lama kami berbincang, seorang pria muncul dari dalam warung dengan bertelanjang dada. Mukanya masih kumal. Sesekali menguap dan menyimak obrolan. Ia lalu bergabung duduk dengan kami.
Pria itu bernama Muhdiyin (26). Suami Ulfa yang baru saja bangun tidur. Saya mengenalkan diri dari Mojok. Ia langsung sumringah.
“Oh Mojok, saya pembaca setia. Sekarang Agus Mulyadi itu sudah nggak di sana ya?” katanya antusias.
Setali tiga uang dengan Ulfa, Muhdiyin pun pernah mengalami hal kurang mengenakkan di malam hari. Menjelang pagi, ia pernah didatangi dua orang menggunakan motor.
Seorang di antara mereka turun tanpa melepas helm dan maskernya. Masuk ke toko dan melihat-lihat barang. Kemudian memesan dua bungkus rokok Gudang Garam Signature.
“Tapi setelah saya ambilkan, dia agak bingung. Nengok ke belakang lihat temannya. Mau melangkah balik, terus saya bilang ‘Bayar dulu Mas’,” katanya.
Tiba-tiba saja, pembeli tadi meletakkan kembali rokoknya. Lalu lari menaiki motor dan seketika langsung tancap gas.
Menurut Muhdiyin, kemungkinan memang niat mereka ingin kabur membawa rokok, tapi ketika melihat sebuah celurit yang dipajang di belakang rak, nyali mereka jadi ciut.
“Itu ada celurit, sengaja di taruh situ buat jaga-jaga. Buat nakut-nakutin juga kalau ada yang punya niat buruk ke warung ini,” katanya.
Malam memang waktu rawan tindak kejahatan. Tapi menurut sepasang suami istri ini, salah satu waktu penghasil pundi-pundi rupiah terbanyak justru ada di malam hari.
Setelah isya hingga tengah malam adalah waktu yang paling ramai. Hal ini membuat mereka tetap semangat meski memasuki jam rawan.
Rokok, minuman ringan, dan bensin eceran
Setelah berbincang dengan Muhdiyin dan Ulfa, Saya tancap gas ke daerah Sorowajan untuk mencari toko kelontong Madura yang serupa. Bertemulah kemudian dengan Nur Faiz (36). Pria yang akrab disapa Faiz ini sudah mandiri dan tidak ikut juragan lagi.
“Sebelumnya saya sempat di Jakarta lima tahun, jaga warung juragan. Kemudian di Jogja juga sempat ikut juragan. Akhirnya setelah bisa nabung, saya putuskan buka sendiri,” katanya bercerita soal keputusannya untuk mandiri sekitar tiga tahun lalu.
Di Jogja ia hidup berdua dengan sang istri. Satu anaknya yang kini sudah berusia 15 tahun ditinggal di kampung halaman bersama saudara. Ketika hari sudah malam begini, inilah saatnya Faiz berjaga sendiri. Sang istri sudah istirahat di pojokan toko yang luasnya sekitar 4×5 meter. Tempat ini disewa Faiz seharga Rp19 juta pertahun.
Kami duduk berdua di emperan toko. Waktu sudah lewat pukul sepuluh malam, namun suasana toko malah makin ramai. Hal ini membuat Faiz harus mondar-mandir. Melayani pembeli lalu kembali duduk dan berbincang dengan saya.
Saya perhatikan, kebanyakan orang membeli sebungkus rokok, minuman dingin, dan bensin eceran. Tiga hal ini pula yang menurut Faiz jadi penopang utama pemasukan warungnya. Pom mini yang ia miliki diisi jenis Pertamax. Harga belinya sekarang melonjak jadi Rp12.500, ia jual di toko seharga Rp14.000.
“Lumayan, sehari rata-rata satu jerigen habis. Bahkan bisa lebih, satu jerigen itu 35 liter kurang lebih,” kata pria kelahiran Sumenep ini.
Meski banyak ditopang oleh tiga hal tadi, Faiz mengaku tetap menyediakan segala kebutuhan lainnya. Mulai dari peralatan mandi, jajanan ringan, beras, telur, air mineral galon, tabung gas, dan berbagai keperluan lain. Namun perputarannya tak secepat tiga komoditas tadi.
Sebetulnya, tak sampai lima puluh meter dari toko milik Faiz, ada jaringan mini market atau toko swalayan yang secara ukuran dan kelengkapan jelas lebih unggul. Namun Faiz tak gentar. Baginya, rezeki sudah ada yang mengatur.
Secara harga, ia mengaku sulit untuk bisa menawarkan harga jauh di bawah toko-toko kompetitor. Namun ia percaya, dengan pelayanan yang baik dan jam buka sepanjang waktu, warungnya tetap bisa bertahan dengan mengambil ceruk yang tersisa.
Paguyuban pedagang
Faiz yang saya temui malam itu rupanya menjadi koordinator lapangan di Paguyuban Pedagang Sembako Madura (PPSM) Yogyakarta. Ia mengatakan ada sekitar 230 pemilik toko yang tergabung di PPSM Yogyakarta.
“Tapi itu belum semua, banyak juga yang tidak gabung paguyuban. Sekitar 50:50 perbandingan antara yang ikut dengan yang tidak,” katanya.
Anggota paguyuban itu, menurut Faiz, datang dari berbagai daerah di Madura. Kebanyakan dari Sumenep, tapi ada juga yang dari Pamekasan dan Bangkalan. Sebagian juga berasal dari Situbondo dan Panarukan, daerah di luar Madura yang masih memiliki kedekatan budaya.
Sementara itu, soal toko kelontong Madura yang menjamur di Jogja, Kepala Bidang Layanan Kewirausahaan, Koperasi, dan UKM, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi DIY, Wisnu Hermawan punya pendapatnya sendiri.
Ia mengatakan bahwa menjamurnya toko jenis ini beberapa tahun belakangan sangat membantu warga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Warga semakin punya banyak pilihan dan dimudahkan karena warung ini buka sepanjang hari.
“Toko Madura adalah bagian dari fenomena toko lokal berjejaring yang harus kita support, dia punya trik sendiri agar bisa bersaing. Salah satunya dengan jam buka dan kelengkapan stoknya itu tadi,” ujarnya saat dihubungi Mojok, Rabu (6/7/2022).
Wisnu menuturkan pihaknya siap mendukung dengan menghadirkan iklim dan regulasi-regulasi yang membuat semua kalangan bisa berbisnis dengan nyaman. Baginya, ekosistem bisnis di Jogja memberikan kebebasan untuk berekspresi dan berkembang.
Wisnu juga mencontohkan banyaknya perantau dari luar daerah yang mengembangkan usaha di Jogja sejak beberapa tahun silam. Pedagang kaki lima di Malioboro yang kini direlokasi ke Teras Malioboro misalnya, sejak dahulu banyak yang berasal dari Sumatera.
“Iya PKL di Malioboro itu banyak yang dari Padang dan Palembang. Banyak juga seniman dari Bali yang juga berkesenian di Jogja. Sebab Jogja itu milik semua yang ingin maju dan berkembang,” pungkasnya.
Semakin banyaknya toko kelontong Madura yang sukses di Jogja menunjukkan bahwa bisnis skala kecil yang menyediakan kebutuhan sehari-hari masih bisa berkembang. Orang Madura selalu punya inovasi tersendiri untuk mencari celah demi bertahan di tanah rantau.
*) Tulisan pertama dari seri reportase Toko Kelontong Madura. Baca juga tulisan kedua seri reportase Toko Kelontong Madura : Toko Kelontong Madura, Toko Kecil yang Berani Mepet Indomaret dan Alfamart
Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi