Kabupaten Purworejo, kabupaten kecil di Jawa Tengah sudah diperhitungkan sejak masa Hindia Belanda. Bahkan, kota ini dipersiapkan menjadi pengganti Batavia sebagai ibu kota.
***
Cukup lama saya penasaran dengan banyaknya foto-foto Purworejo tempo dulu yang bersliweran di dunia maya. Foto era Hindia Belanda ini seperti menjadi penghubung dunia masa lalu dan dunia masa kini.
Di foto itu jelas tertulis watermark, “Koleksi:Ahmad Nangim S.IP”. Dalam bayangan saya, Ahmad Nangim adalah sosok sejarawan atau bahkan saksi sejarah yang dulu pernah mengalamii sekelumit hidup masa-masa pemerintahan Hindia Belanda.
Hingga suatu siang beberapa waktu lalu, di Ramadan 1443 H ini, saya dipertemukan dengan pemuda bernama Yayan, difasilitasi seorang kawan pemerhati sejarah, Agung Pranoto.
“Iya mas, saya putranya Ahmad Nangim, tapi beliau di rumah dalam keadaan sakit tidak bisa ke mana-mana, mungkin ada beberapa hal yang tidak beliau ingat soal foto jadul koleksinya,” tutur Yayan usai mendengarkan permintaan wawancara yang saya sampaikan secara lisan.
Setelah dua kali gagal bertemu, di sore jelang berbuka, saya berjumpa dengan Ahmad Nangim. Ahmad Nangim, sosok pria sepuh berumur 71 tahun, duduk di sofa kayu berlapis busa di ruang keluarga. Sebuah album dengan sampul motif kulit buaya dari bahan sintetis berwarna hitam ada di pangkuannya. Dugaan saya, itu adalah album foto Purworejo tempo dulu koleksinya. “Silakan mas, oh soal foto lama itu, jadi begini,” katanya.
Foto koleksi dari seorang wedana
Ahmad Nangim menjelaskan dengan suara tegas tapi pelan tentang foto koleksinya. Foto Purworejo tempo dulu yang saya hitung di album berjumlah 77 itu, bukan hasil karya Ahmad Nangim. Berusia 71 tahun berarti Ahmad Nangim kelahiran tahun 1951, setelah Indonesia merdeka.
Padahal dalam puluhan foto tersebut, tertera angka tahun pengambilannya, 1930 – 1931. Tidak pula hasil jepretan kamera Yashica MAT 124 piranti fotografi kuno koleksi Nangim. Ahmad Nangim belum lahir kala itu. “Bukan saya yang motret mas, saya juga dapat dari seseorang,” ucapnya.
Ihwal diperolehnya foto itu terjadi ketika Ahmad Nangim menjabat sebagai Asisten II Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Purworejo tahun 2005. Ketika itu, katanya, ada seorang pria yang belum begitu tua, menghadap ke Bupati Purworejo H. Marsaid. Lalu karena kesibukannya, Bupati Marsaid meminta pria itu bertemu dengan Ahmad Nangim.
“Ketika ditanya, ia mengaku putra wedono atau pejabat setara camat dari Kebumen. Pria itu menceritakan jika ia memiliki koleksi foto Purworejo tempo dulu,” katanya.
Pria itu datang ke Purworejo karena ingin menjual foto yang tentu bagi dirinya kurang memberikan manfaat karena tidak ada keterikatan batin dengan daerah asal WR Supratman ini. “Sepertinya ia butuh uang karena langsung menyampaikan niatannya menjual foto-foto itu,” ujarnya.
Ahmad Nangim yang memang sejak muda hobi fotografi, tanpa pikir panjang dan spontan saja membeli album hitam foto jadul itu. Sebuah langkah taktis progresif, disertai persiapan uang di dompet, yang membawa publik kini bisa bernostalgia dengan masa lalu Purworejo. “Ben ora kelangan obor (biar tidak kehilangan jejak-red),” ucap Nangim.
Ahmad Nangim membeli foto koleksi itu dengan uang pribadinya senilai Rp 1.400.000, sesuai permintaan sang pemuda. “Tidak ada tawar menawar, ketika disebutkan harga, langsung saya bayar, pikiran saya eman-eman kalau foto bersejarah itu tidak dirawat dengan baik,” ungkapnya.
Foto disimpannya baik-baik di rumah yang terletak di Kelurahan Mranti, Purworejo itu. Kabar Ahmad Nangim memiliki foto Purworejo zaman dulu yang langka pun mulai menyebar.
Memang tidak heran, sebab foto seperti SPBU di Alun-alun Purworejo, Kantor Pos Purworejo, Masjid Agung Darul Muttaqien, gedung bioskop, pemandian Simbar Joyo, pabrik es, kawasan Pecinan, rumah para wedana, hingga rapat-rapat yang digelar pemerintah Purworejo, tentu tidak ada duanya. Bahkan rasanya foto yang sama juga tidak ada dalam koleksi digital Universitas Leiden Belanda. Ada foto serupa, tapi sudut pengambilan gambarnya berbeda.
Beberapa pemerhati sejarah dan budayawan meminjam album koleksi itu untuk dipelajari. “Ketika itu kan sudah ada internet, jadi ketika dipinjam akhirnya ada juga yang mengunggahnya ke internet,” tuturnya.
Foto-foto tersebut juga direproduksi dan disematkan dengan watermark “Koleksi: Ahmad Nangim S.IP.”. Selain diunggah di internet, foto reproduksi itu juga kerap dipamerkan pada peringatan hari besar tertentu di Kabupaten Purworejo.
“Saya tidak masalah, senang-senang saja foto repro itu menyebar di internet. Tapi kalau foto di album ini, semua masih asli,” katanya.
Sikap legowo Ahmad Nangim yang membuat para pemerhati sejarah seperti Agung Pranoto terbantu ketika hendak mengidentifikasi pahit-manisnya kenangan di masa lalu yang acapkali bikin galau.
“Foto koleksi Ahmad Nangim itu memang memperkaya khasanah sejarah di Purworejo. Membuktikan bahwa Purworejo pada masa lalu adalah kota besar yang diperhitungkan,” tutur Agung Pranoto, kepada saya, secara terpisah.
Purworejo pernah dipersiapkan jadi ibu kota Hindia Belanda
Purworejo tempo dulu memang kota yang diperhitungkan oleh Belanda. Tidak hanya soal menjadi sentra kecamuk Perang Jawa melawan Diponegoro dan laskarnya saja, Purworejo memiliki nilai lebih.
Bahkan, Purworejo pernah dikonsep sebagai calon Ibu Kota Hindia Belanda pengganti Batavia apabila kota itu mendapat serangan dari luar. Berbagai fasilitas pun dibangun pemerintah Hindia Belanda di Purworejo.
Dikutip dari buku Cerita di Balik Benteng Stelsel Hingga Yonif Mekanis Raider 412/Bharata Eka Sakti Sang Penjaga Kedaulatan Indonesia, ide menjadikan Purworejo menjadi ibu kota darurat tentunya berawal dari keresahan para petinggi pemerintah Kerajaan Belanda. Mereka mempertimbangkan gejolak yang terjadi di Eropa, serta baru usainya Perang Jawa melawan Diponegoro.
Belajar dari Perang Jawa atau De Java Oorlog yang merugikan kas negara hingga 25 juta gulden dan menewaskan ribuan serdadu Belanda berkebangsaan Eropa dan juga pasukan kolonial lokalan, maka mereka memikirkan cara untuk memperkuat Jawa dari berbagai serangan. Apalagi, Jawa pernah jatuh ke tangan Inggris era Thomas Stamford Raffles berkuasa tahun 1811-1816.
Pertahanan yang diperkuat itu ya kota-kota pantai, serta wilayah pedalaman pulau. Mereka membentuk sistem perbentengan yang terhubung dengan jalur transportasi, untuk memudahkan mobilitas tentara dan logistik.
Nah, kala itulah sekitar tahun 1844, ketika Hindia Belanda dipimpin Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch, tercetus ide menjadikan Purworejo sebagai calon ibu kota darurat Hindia Belanda. Strateginya adalah pemerintahan akan dipindah ke Purworejo apabila Batavia mendapat serangan dari luar.
Mengapa Purworejo? Sebab kota ini cukup strategis, karena dianggap dekat Kota Cilacap yang saat itu dimanfaatkan kolonial sebagai basis militer. Pelabuhan di Cilacap juga akan menjadi sarana pelarian jika pemerintah kolonial mendapat serangan dari bangsa luar atau perang dahsyat macam Java Oorlog.
Van Den Bosch menanti, tapi sepi, sunyi, apa yang digambarkan sejak kecamuk Perang Jawa usai tahun 1830, tidak kunjung terjadi. Suasana Jawa setelah Diponegoro diasingkan ke Manado kemudian Makassar, ternyata mandaliyem alias aman terkendali dan ayem. Tidak ada gejolak yang ngedab-edabi seperti Diponegoro yang tidak terima atas kesewenang-wenangan Kolonial Belanda. Kondisi Eropa pun sama, aman dan kondusif.
Maka Van Den Bosch pun memutuskan membatalkan rencana menjadikan Purworejo sebagai calon ibukota darurat. Pemerintah Belanda memilih Bandung sebagai calon ibu kotaa Hindia Belanda karena hawanya lebih sejuk dan topografinya dikelilingi pegunungan. Purworejo wurung jadi ibu kota, batal seperti Batavia!
Nama Purworejo sendiri merupakan nama pemberian Belanda pada tahun 1931 atau usai Perang Diponegoro. Sebelum itu, namanya Brengkelan atau Kedung Kebo, merujuk nama tangsi militer Belanda yang didirikan saat Perang Diponegoro.
Tapi ada sisi baiknya, karena Belanda tetap membangun Purworejo dan kota-kota Jawa Tengah demi membentuk konsep pertahanan garnisun. Jalur kereta api dibangun, sekolah-sekolah tetap dipertahankan.
Gedung bersejarah yang dulunya adalah tangsi militer, sekolah, benteng pertahanan, perumahan tentara, rumah sakit, hingga makam khusus warga Belanda masih megah berdiri di Purworejo. Tidak ada lagi tentara, juga ambtenaar atau pegawai negeri Belanda yang wira-wiri di sana karena semua sudah dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat Purworejo.
Gambaran Purworejo di masa lalu itu yang ada dalam koleksi foto-foto milik Ahmad Nangim. Foto-foto yang menceritakan banyak hal tentang kebesaran Purworejo pada zamannya. Kebesaran yang mestinya saat ini sudah pudar, tergerus geliat masif kota-kota di sekitarnya, seperti Yogyakarta dan Solo.
Reporter: Sarwo Sembada
Editor: Agung Purwandono