Es Goreng Pak Gatot, usaha yang menggunakan nama penjualnya ini eksis di Jogja sejak tahun 1986. Bukan sekadar jualan es, dia juga penghibur bagi pembeli dan orang-orang di sekitar tempatnya berjualan.
***
Ratusan orang mengerumuni sebuah lapangan besar dengan 2 beringin di tengahnya. Seakan, kedatangan varian omicron hanyalah cerita fana. Di tepi lapangan besar tanpa pagar itu, aneka penjual berjejal menjajal untung masing-masing. Suara tukang parkir bersahut-sahutan dengan keramaian jalan, beberapa anak kecil menangis meminta jajan, pasangan muda mudi memadu kasih. Tak lupa, ada pula penarik becak dan odong-odong. Alun-alun kidul Jogja alias alkid, demikian tempat itu sebutnya.
Bagi mereka yang sering mengunjungi Alkid di sore hari, sesungguhnya ada satu suara identik di sini. Suara itu datang dari seorang pria dan diedarkan lewat pengeras suara sederhana dengan aneka template. Mulai dari sekadar sapaan hingga doa untuk orang-orang pacaran. Pemilik suara itu seorang pedagang bernama Gatot Sunardi (65).
“Mari, Bos, silakan,” ucapnya mantap saat saya mendekat. Sebatang es potong ia keluarkan lalu memotongnya jadi 2 bagian. Satu bagian ia masukkan lagi ke wadah, satu bagian ia tusuk dengan sebuah tusukan bambu dan mencelupkannya ke sebuah wadah coklat. Tidak sampai 1 menit proses itu selesai dan es goreng seharga 5000 rupiah sudah berpindah tangan.
Es goreng Pak Gatot, demikian namanya. Baik rasa maupun bentuknya mengingatkan saya dengan es potong jadul. Es goreng Pak Gatot cenderung punya rasa gurih. Begitu pula dengan lumuran coklat di bagian luarnya yang cenderung tawar. Untuk menikmatinya pun harus dengan cara digigit sebab jajanan ini punya tekstur cukup keras.
Rasa vanila, demikian sebutnya tadi. Di bagian dalamnya, terdapat ketan hitam. Kata Pak Gatot, berbagai rasa ia sediakan seperti rasa coklat, vanila, hingga durian. Es potong itu ia buat dengan bantuan “anak buah”.
“Silakan, Nona. Selamat datang di Jogja,” sahut Pak Gatot saat dua orang perempuan muda mendekatinya. Dari tampilannya, pembeli kali ini adalah pelancong. Ditandai dengan barang bawaan mereka berupa ransel besar.
“Ya, mainkan kameramu, Ladies,” lanjutnya saat salah satu dari perempuan tadi merekam si penjual. Tak lupa ia mengucapkan selamat menikmati Jogja saat dua orang tadi berlalu. Ia rapikan etalase tempatnya berjualan sembari melirik smartphone tempat ia memutar musik. Dari atas etalase, ia raih segelas es jeruk dan meneguknya.
Etalase kotak itu ia taruh di bagian belakang motor. Sebagai pelengkap, Gatot juga membawa payung portable untuk jaga-jaga jika hujan. Piranti lain yang tak kalah penting adalah aki 12 volt sebagai sumber daya pengeras suara, pemanas coklat untuk menggoreng, dan kotak pendingin es sederhana. Jam kerjanya merentang dari pukul 16.00 hingga 22.00.
Sore itu Gatot tampil cukup necis khas bapack-bapack untuk ukuran seorang penjual es. Ia mengenakan celana kain warna hitam, kaos model polo shirt, topi, dan kacamata hitam. Di pipi, ia pasang microhone sederhana untuk mewartakan keceriannya. Ia tampak muda untuk seorang pria berusia 65 tahun.
Menurut Gatot, ia sudah berjualan es potong sejak tahun 1986. Lalu, sejak tahun 1986 ia berjualan dengan caranya sekarang: menyapa pembeli dengan pengeras suara. Kala itu ia berjualan di sekolah-sekolah sekitar Yogyakarta. Inovasi es goreng ia temukan di tahun 1994. Lalu, sejak 2006, ia memutuskan pindah berjualan ke Alun-alun kidul Jogja.
“Kok gak pakai motor yang RC?” tanya saya sembari melihat Pak Gatot melayani pembeli. Ia tertawa bahagia mendengar pertanyaan itu.
“Wah, berarti kamu sudah tahu sejak lama ya? Jangan-jangan dulu juga sering beli es goreng sama pacarmu” sahutnya sambil terkekeh. Kisah lain ia utarakan. Dulu, ia memulai berjualan di tengah alun-alun, tepatnya di dekat beringin kurung. Setelahnya, ia berpindah ke pedestrian Alun-alun kidul. Belakangan, karena area itu disterilkan dari para pedagang, ia pindah ke trotoar jalan. Harga pun telah berubah-ubah. Mulai dari 1000, 2000, 3000, dan sejak 2015 menjadi 5000 rupiah.
“Silakan, es goreng ini bergizi karena dibuat dari bahan alami dengan campuran sumsum belakang sapi, menyehatkan untuk semua kalangan,” serunya sambil membenahi letak kacamatanya – tentu saja masalah sumsum hanya bercanda. Jika didengarkan dengan seksama, kata-kata Pak Gatot lewat pengeras suara bukan hanya berupa promosi dagangannya. Ia juga menggunakannya untuk bercakap-cakap dengan sesama pedagang lain.
Lebih lama saya mengamati sosok satu ini, saya menemukan sebuah pola komunikasi. Sederhananya, ia punya berbagai stok panggilan. Jika pembelinya perempuan muda, ia akan memanggil ‘ladies’. Lalu jika si pembeli adalah perempuan cukup berumur, ia akan menyebut ‘nona’. Untuk pembeli laki-laki, ia biasa memanggil ‘bos’.
Sepasang muda mudi mendekat, si perempuan memesan 2 es goreng. “Dua ya? Oke, ladies, langsung saya kasih bonus,” sahut Pak Gatot sambil mengupas es. “Bonusnya doa ya, ladies. Semoga kalian langgeng dan bahagia selalu,” lanjutnya lagi. Perempuan tadi hanya senyum-senyum saja.
“Buat masnya, jangan memandang cinta karena mbaknya cantik ya. Tapi cintailah pasanganmu karena hatinya, maka pasti kalian akan langgeng hingga kakek nenek,” kali ini Pak Gatot melirik pasangan si perempuan yang menunggu di atas motor.
Dua orang tadi telah berlalu. Setelahnya, seorang ibu muda datang bersama anaknya. Beberapa menit kemudian, dari kejauhan tampak sepasang muda-mudi memelankan sepeda motor. “Nah, ini udah kelihatan kalau mau beli es goreng. Orang mau beli es goreng tuh kelihatan banget kok,” seru Pak Gatot.
“Nahhh tenan to,” sahutnya saat si laki-laki turun dari motor.
***
Hampir satu jam saya menunggui Pak Gatot berjualan dan menemukan sendiri bahwa kebanyakan pembelinya adalah pasangan muda-mudi. Penampilannya pun beragam, ada yang sederhana dan mungkin akan disebut jamet jika menggunakan bahasa kiwari. Ada pula pasangan dengan dandanan kekinian.
Pak Gatot tidak tahu pasti alasan di balik semua itu. Sembari bercanda ia hanya mengatakan muda-mudi itu suka es goreng karena mendapatkan bonus berupa doa darinya. Kenyataannya, Pak Gatot tidak melulu memberi doa. Ada kalanya ia memberikan pujian kepada sang pembeli. Sekadar ungkapan cantik atau ganteng misalnya.
Bagi penjual lain di dekat Pak Gatot, keberadaan pria itu dirasa cukup membantu dan menghibur. Seorang penjual angkringan di samping Pak Gatot misalnya, mengatakan bahwa warungnya ikut ramai karena cara berjualan pria itu.
Di luar pekerjaannya sebagai pedagang es, pria asal Wirobrajan ini adalah seorang tokoh masyarakat. Di masa muda, ia ketua karang taruna hingga 4 periode. Ia juga pernah menjadi ketua RT. Kini, Pak Gatot menjadi ketua RW dan ketua sebuah organisasi yang ia sebut Delakela. “Semacam kampung ramah anak. Dulu Pak Walikota yang mengangkat,” ia menceritakannya dengan bangga.
Kembali ke soal cara berjualan, Pak Gatot mengatakan bahwa semua ini dilakoninya dengan sengaja sebagai sebuah cara promosi dagangan. Berbagai gaya bicara juga pernah ia coba sehingga kini luwes dan santai. Namun, ia mengatakan tidak pernah mempelajari secara khusus cara-cara itu.
“Saya sarjana, gelar saya E.G, satu-satunya gelar di dunia dan hanya saya yang punya, hahaha,” cetus Pak Gatot saat saya bertanya masalah latar belakang pendidikan, masih dengan pengeras suara. Seorang pria gondrong mendekat sembari menenteng handy talkie, Pak Gatot menyapa.
“Nah, ini contoh orang yang rajin makan es goreng, jadinya segar bugar. Dia ini komandan loh, komandan pasukan antibo,” ujar Pak Gatot. “Kamu ndak tahu kan apa itu pasukan antibo? Pasukan anti keset kanggo anak bojo,” lanjutnya lagi.
“Nih, lihat, dia awet muda karena rajin makan es goreng,” ujar Pak Gatot sambil memijit lengan pria itu.
“Lha awet enom wong kowe ki wis tuwo!” sergah seorang tukang becak yang mangkal tidak jauh dari tempat keduanya berbincang. Mereka lalu tertawa di tengah keramaian alun-alun sore itu.
Tawa Pak Gatot terhenti ketika didatangi 3 pasang muda mudi dan satu anak kecil beserta ibunya. Pak Gatot berganti ke mode default. Sapaan-sapaan manis ia lontarkan, lengkap dengan aneka doa ke pasangan kekasih.
“Yang langgeng ya, ladies. Besok kalau sudah nikah ajak anak kalian beli es goreng,” sahut Pak Gatot sembari menerima uang. Saat melayani si anak kecil, ia mengganti tema perkataannya.
“Es goreng bikin cerdas. Adik jangan takut kalau mau jajan es goreng, ya, karena dibuat dari bahan alami dan sumsum belakang kambing,” saya tertawa saja mendengarnya. Tadi ia bilang sapi, sekarang kambing. “Hewan apa sebenarnya?” sanggah saya dan Pak Gatot hanya tertawa saja.
Maria, salah satu pembeli es goreng Pak Gatot, mengatakan bahwa setiap ke alkid ia pasti membeli es goreng. Baginya, jajanan itu adalah cara bernostalgia dengan masa kecilnya. “Rasanya unik, kayak ada rasa santan di dalamnya. Mungkin si bapak buatnya dicampur santan,” ungkapnya.
“Oh itu rasa gurih dari sumsum sapi pilihan, ladies.” Maria kebingungan. Saya hanya menahan tawa demi mendengar kembali soal sumsum.
Sore itu, puluhan pasang muda-mudi telah ia layani bersama doa yang ia berikan. Saat ditanyai soal keuntungan, Pak Gatot bilang dalam sehari ia bisa menjual 100 batang es yang masing-masing menjadi 2 es goreng, jika diuangkan itu senilai 1 juta rupiah.
“Kowe ra percaya mesti?” selorohnya. Tentu saja, sebab hampir 2 jam saya menungguinya berjualan, sudah lebih dari 30 orang ia layani. Namun, tentu saja ini karena alkid yang sedang ramai sore itu.
Sebelum pamit, saya berniat memberikan satu tambahan kosa kata baru ke Pak Gatot.
“Bestie? Opo kui artine?” sahutnya.
“Sahabat,” terang saya singkat.
“Oke bestie, mau berapa?” Pak Gatot mencobanya saat 3 orang gadis remaja mendekat. Mereka tertawa, mungkin tidak menyangka akan disapa begitu oleh seorang penjual es.
Matahari sudah rebah di barat. Alkid mulai temaram. Pak Gatot masih terus setia mendoakan para pembeli dengan caranya sendiri. Di antara puluhan penjual, mungkin ia adalah salah satu yang sering didatangi pasangan muda-mudi. Entah demi es goreng atau doa-doa sederhana berbumbu banyolan jenaka.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Ziarah Melihat Yesus Bermahkota Raja Jawa di Selatan Jogja dan liputan menarik lainnya di Susul.