Es Dawet Moro Seneng, Dawet Nyamleng Penghilang Masalah di Pasar Kliwon Kudus

Tak lengkap rasanya jika ke Pasar Kliwon Kudus tanpa mampir membeli es dawet. Salah satu es dawet legendaris yang telah berdiri puluhan tahun adalah es dawet Moro Seneng.

***

Kamis (20/1), menjelang pukul dua siang dan cuaca sedikit mendung, saya sampai di belakang Pasar Kliwon Kudus. Siang ini saya akan mampir ke tempat es dawet Moro Seneng yang sudah terkenal dan menjadi ikon di pasar ini.

Warung ini telah menjadi kuliner khas ketika mampir di Pasar Kliwon Kota Kudus. Masyarakat kudus biasa menyebutnya sebagai es dawet kliwon.

Warung es dawet ini berada di Gang Jayan, Mlati Lor, yang berada di timur Pasar Kliwon. Es dawet Moro Seneng warungnya tak terlalu luas, memang ditujukan untuk pengunjung pasar yang sekedar mampir minum.

Ruangannya berukuran empat meter persegi, di depan dan samping penjual terdapat kursi panjang tempat pelanggan duduk. Tidak ada sekat, hanya satu ruangan kotak.

Warung es dawet moro seneng mojok.co
Warung es dawet Moro Seneng di Gang Jayan, dekat Pasar Kliwon Kudus. (Abdul Karim/Mojok.co)

Saya segera memesan satu gelas es dawet dengan gula aren. Dengan cekatan penjual menyiapkan pesanan saya. Dawet dituangkan ke dalam gelas ditambah santan kani (santan yang kental) dan gula merah yang kental. Kemudian diberikan serutan es di atasnya.

Kebetulan yang melayani saya saat itu adalah pemiliknya langsung, jadilah saya kemudian berbincang dengannya ihwal sejarah es dawet Moro Seneng.

Ia adalah Sugiono (42). Warungnya ini merupakan warisan dari ayahnya yang meninggal pada tahun 1993. Konon warung ini sudah ada sejak tahun 1970.

“Bapak dulu berjualan sejak masih single sampai menikah pada tahun 1972 dan saya teruskan sampai sekarang,” pungkasnya.

Es dawet Moro Seneng menyediakan dua varian menu yaitu es dawet dengan sirup rasa frambos dan gula aren. Bisa juga memesan tanpa menggunakan es. Semua bahan diproduksi sendiri, termasuk sirupnya.

Di sela kami mengobrol, Sugiono tetap melayani pesanan para pelanggan. Kebanyakan memesannya untuk dibungkus. Banyak juga yang memesan tanpa es. Beberapa juga meminumnya di tempat sambil bercengkrama.

Saya lanjut bertanya soal cabang warung Moro Seneng. Warung Moro Seneng menurut penuturan Sugiono berada di dua tempat saja. Pertama, di Gang Jayan, kedua, di dalam Pasar Kliwon lantai dua. Kebetulan kali ini ia mendapat giliran menjaga warung yang berada di Gang Jayan ini, sedangkan adiknya menjaga di dalam pasar.

Dalam sehari, warung yang di Gang Jayan menjual 300 sampai 500 porsi es dawet. Sedangkan warung yang berada di dalam pasar menjual kurang lebih 300 porsi.

Menurut Sugiono warung yang berada di dalam pasar hanya memiliki pelanggan orang yang sedang berada di pasar saja. Sedangkan untuk warung yang berada di Gang Jayan pengunjung bisa datang dari berbagai kalangan. Mulai dari orang-orang pasar sendiri atau langganan yang sengaja datang untuk membeli es dawet tanpa perlu masuk pasar.

Sugiono sendiri telah membantu orang tuanya berjualan di pasar sejak kelas 4 SD pada tahun 1989. Baru pada tahun 2000 ia memegang secara penuh usaha milik orang tuanya ini bersama adiknya.

Rahasia keawetan usahanya ini adalah tetap menjaga kualitas. Resep yang dipakai tetap sama sejak tahun 70. “Yang membuat tetap bertahan ya kita jaga kualitas. Juga yang membuat bertahan ya Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” jelas Sugiono.

Sugiono, penjual es dawet Moro Seneng. (Abdul Karim/Mojok.co)

Usaha es dawet yang dilakoni Sugiono bukan tanpa pasang surut. Pasar Kliwon Kudus pernah mengalami kebakaan pada tahun 1995. Ketika pasar terbakar, warung harus pindah dari dalam pasar ke Gang Jayan. Setelah pasar selesai direnovasi, warung es dawet Moro Seneng membuka lagi warungnya di dalam pasar, dan warung di Gang Jayan tetap buka hingga sekarang.

Diakui oleh Sugiono, dua cabang es dawet Moro Seneng ini jarang sekali libur. Ini ia lakukan untuk tetap menjaga langganannya. “Saya tidak ada libur mas. Kalau sudah punya langganan rasanya eman kalau mau libur. Bahkan pandemi pun tetap buka. Saya tetap buka buat menjaga langganan agar nggak lari ke yang lain,” jelasnya.

Usaha bisnis es dawetnya ia ibaratkan seperti air yang mengalir. Tetap berjualan seiring perubahan zaman. Konsep ini yang membuat warung es dawet Moro Seneng tak pernah vakum sejak dulu.

Baru setengah jam kami mengobrol, Sugiono pamit untuk sholat zuhur. Ia pun digantikan oleh karyawannya. Saya lanjut mengobrol dengan Agus (39), salah satu karyawan di warung Moro Seneng.

Warung Moro Seneng total memiliki lima karyawan. Dua membantu di Gang Jayan, dua berjualan di dalam pasar, dan satu lagi khusus untuk memasak dawet.

Agus sendiri telah bekerja di sini selama 20 tahun. Ia menerangkan, walaupun warung ini yang terkenal namun warung es dawet Moro Seneng bukan penjual dawet pertama di Pasar Kliwon.

“Nggak pertama, ada yang lainnya. Tapi namanya beda. Iya, memang yang terkenal sini, tapi bareng sama yang lain. Mereka juga sama-sama dari Welahan, seperti asal pemilik aslinya ini,” tutur Agus sambil mengingat.

Ia menjelaskan ayah dari Sugiono merupakan orang Welahan, Jepara. Sedangkan ibunya berasal dari Nganguk, Kudus. Es dawet ini dibawa dari Welahan ke Pasar Kliwon yang kemudian jadi dikenal di Kudus.

Di sela saya bertanya dengan Agus, kami juga mengobrol dengan salah satu pelanggan setia bernama Muslihatin (57). Ia berasal dari Tambakromo, Pati. Bersama anaknya, ia kulak pakaian dari Pasar Kliwon.

Penampakan segelas es dawet Moro Seneng. (Abdul Karim/Mojok.co)

Ia sudah berlangganan es dawet Moro Seneng sejak tahun 1992. Ia juga menjadi saksi sejarah dari warung Moro Seneng dan Pasar Kliwon. Sejak harga per gelasnya hanya 750 perak sampai sekarang yang harganya Rp5 ribu. Ia bahkan sudah melalui dua kali kebakaran yang dialami Pasar Kliwon.

“Saya ini setiap ke sini selalu terkesima dengan dawetnya,” canda Muslihatin.

Agus pun menyahut: “Betul. Jangan sama penjualnya. Penjualnya sudah punya istri,” jawabnya sambil tertawa.

Rasa dawet yang enak dan legi menjadi alasan pelanggan tetap setia membeli dawet di warung Moro Seneng.

“Rasanya itu enak dan nyamleng mas,” jawab Muslihatin. “Nyamleng itu di atasnya joss. Itu namanya nyamleng,” sambungnya.

Menurut para pelanggannya, nama Moro Seneng bisa berarti ketika masuk ke dalam warung ini, masalah apapun akan terasa hilang. Diharapkan orang yang datang akan selalu senang ketika masuk. Namun beda lagi kalau sudah keluar dari warung. Begitulah candaan para pelanggan setia warung es dawet Moro Seneng.

Ketika gerimis mulai jatuh, pemilik warung pun kembali. Saya bersiap untuk pulang karena waktu hampir menunjukkan jam empat dan warung akan segera tutup. Saya pun memesan tiga bungkus lagi untuk saya nikmati di rumah bersama keluarga.

Reporter: Abdul Karim
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Menikmati Mie Ongklok Longkrang, Mie Ongklok Tertua di Wonosobo dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version