Empal Bu Warno berdiri sejak tahun 1960. Metode memasaknya tradisional. Menggunakan luweng dan kayu bakar. Pemantik apinya pakai lemak sapi.
***
Pagi itu, selepas mengantar sekolah dua anaknya, Yanti mengayuh sepeda ke Pasar Beringharjo. Dari rumahnya di Patehan, ia hanya perlu menempuh jarak sekitar 3 kilometer. Sementara suaminya bekerja di salah satu bank ternama di Yogya.
Setelah memarkir sepeda, ia melangkahkan kaki menyusuri Jalan Pabringan, selatan Pasar Beringharjo. Kakinya yang hanya beralaskan sendal jepit mulai basah tatkala menginjak genangan air sisa hujan semalam. Deretan para pedagang sayur beradu menawarkan dagangan. Sedangkan para penjual kain mengamati riuh dari kejauhan. Seperti itulah suasana Pasar Beringharjo di tahun 1984.
Yanti menjejal sempitnya pasar. Nafasnya terengah-engah. Ia menghela panjang ketika sudah sampai di belakang Pasar Beringharjo. Selayaknya selasar, los ini menjual berbagai makanan basah. Matanya pun disambut potret wanita tua yang duduk di dingklik kayu berwarna cokelat. Sementara beberapa pembeli berdesakan menutup meja panjang yang digunakan untuk menaruh potongan-potongan empal.
Ia mendekat. Mendapati empal besar dan berbagai jeroan di depan matanya. Iso, babat, ginjal, limpa, seolah memanggil untuk dibeli. “Lima nggelo nggih Bu (lima perak ya Bu),” ungkap Yanti menyerahkan kepingan uang. Dengan cekatan, pisau pembelah daging di tangan wanita tua mencacah empal menjadi beberapa potongan kecil dan dimasukkan pada timbangan besi. Setelah beratnya pas, empal-empal itu dibungkus dengan selembar daun pisang. Inilah Empal Bu Warno.
Berawal dari satu penanak nasi
Sepenggal cerita Yanti, yang kini berusia 78 tahun, membawa saya menelusuri jejak makanan legendaris tersebut. Jumat (01/4/2022), tepat saat jam makan siang, saya sudah celingak-celinguk di depan pintu utama Pasar Beringharjo.
Kata Yanti, setelah kebakaran hebat tahun 1986, Pasar Beringharjo baru kembali beroperasi tahun 1991. Sementara, empal Pasar Beringharjo pindah ke lantai 2. Tepatnya di Los Timur PA 1. Saya mendapat ancar-ancar bahwa kios empal ini menghadap ke sisi utara Masjid Al-Muttaqien Beringharjo
Saya menaiki tangga, berbagi jalan dengan para kuli panggul dan pengunjung pasar. Kaki saya berhenti, tatkala menemukan selasar yang mirip dengan food court tradisional.
Saya melangkah lebih jauh lagi. Asap dari teko membumbung tinggi. Pun dengan asap dari penggorengan. Aroma aneka rasa itu merasuk ke dalam indra penciuman. Sebuah kios sederhana berukuran 10 meter persegi tampak di depan mata.
“Empal Bu Warno” begitu tulisan di papan namanya. Papan nama yang berwarna kuning itu sudah terlihat jika sedang melintasi Jalan Pabringan. Kios ini dirintis oleh mendiang Ibu Prawiro Suwarno tahun 1960. Setelah meninggal, operasionalnya dilanjutkan Sumarsih, anaknya.
Empal Bu Warno melewati dua generasi, kini dipegang oleh cucu-mantunya, Widya (47). Ia tak tahu persis sejarah kios empal di Pasar Beringharjo ini. Lantaran baru datang ke Yogya tahun 1998. “Yang saya tahu, setelah mertua meninggal tahun 2011, Empal Bu Warno diamanahkan pada suami saya sebagai anak tertua,” ungkapnya. Sementara, adik dari suaminya sudah menekuni pekerjaan di bidang lain.
Widya pun berinovasi. Jika dahulu Empal Bu Warno hanya menyediakan empal dan jeroan untuk dibawa pulang, kini ia menambahkan nasi, sayur, dan minuman. Selayaknya menu di warung makan. “Orang yang datang juga ada yang ingin santap siang,” ujarnya.
Ada menu-menu baru, seperti sayur sop, sayur lodeh, bahkan minuman tradisional wedang uwuh dan wedang secang. Berangkat dari satu penanak nasi. Kini, Empal Bu Warno memiliki dua cabang: Jalan Brigjen Katamso, Mergangsan dan Jalan Krasak Timur, Kotabaru.
Menggunakan luweng dan pemantik lemak sapi
Resep Empal Bu Warno tidak pernah berubah. Suami Widya menyimpan resep turun temurun itu. Menurutnya, keistimewaan Empal Bu Warno terletak pada potongan daginya yang besar dan tebal.
Saya penasaran untuk mencicipinya. Tidak lama, pesanan saya yaitu sepiring nasi empal sudah diantarkan. Suapan pertama membuat terpana. Dagingnya empuk. Seratnya mudah hancur. Rasanya gurih. “Kalau suka pedas ditambah sambal korek, kalau suka manis ditambah petis daging,” ujar Widya menunjuk dua wadah sambal di atas meja. Saya menyendokkan petis daging. Warnanya hitam. Katanya, ini terbuat dari kaldu sapi.
“Simbah itu dari Jagalan,” ucap Widya. Hal itu pula yang menyebabkan dapur Empal Bu Warno ada di Jalan Beji, Jagalan. Daging sapi, jeroan, dan bumbu masak di stok dari saudaranya. Daging yang dapat diolah hanya kisi dan gendik yang didapatkan dari paha dan betis sapi. Dua bagian tubuh ini memiliki sedikit kandungan lemak.
Setiap hari, pukul 14.00, dapur Empal Bu Warno kedatangan dua karyawan untuk memotong dan mencuci daging sapi. Dalam ember plastik berwarna biru, 40 kilogram daging sapi mentah siap untuk diolah. Pukul 17.00 WIB, asap mulai mengepul, daging telah direbus. Daging sapi dibagi dalam tiga panci besar. Air yang berwarna cokelat bekas rebusan hari sebelumnya. Maklum, untuk membuat bumbu lebih meresap, air rebusan diganti tiga hari sekali.
Tiga panci itu diletakkan di atas anglo. Seorang karyawan tak berhenti menggerakkan kipas dari anyaman bambu untuk menjaga bara tetap menyala. Sedangkan satu lainnya menaburkan garam untuk menambah cita rasa. Perebusan daging sapi akan berlangsung 5-7 jam, sebelum nanti ditiriskan dan direndam bumbu bacem semalam penuh.
Pukul 06.00 WIB, saat matahari sudah menerangi gang di Jalan Jagalan. Dua karyawan itu kembali bekerja. Mereka menata wajan di atas luweng (tungku masak) dan mulai menyalakan kayu bakar. Mereka menggantikan minyak tanah dengan lemak sapi yang sebelumnya disimpan dalam tong-tong putih.
Ketika matang, 40 kilogram daging sapi mentah hanya menjadi 20 kilogram daging sapi matang. “Kebanyakan yang memesan memang kiloan,” kata Widya. Jika makan di tempat, maka 1 kilogram daging dapat dibagi menjadi 20 porsi atau setara ½ ons daging sapi per porsi. Satu kilogramnya dihargai Rp380.000.
Daging sapi mulai di distribusikan. Jam tangan saya menunjukkan pukul 07.30 WIB. Empal Bu Warno Pasar Beringharjo akan buka pukul 08.00 WIB-15.00 WIB. Sedangkan dua cabang lainnya buka pukul 09.00 WIB-16.00 WIB. Kata Widya, Empal Bu Warno Pasar Beringharjo adalah ikon yang terus pertahankan sebagai jujugan para wisatawan setelah berbelanja. Dua cabang lainnya, akan menyasar mahasiswa dan pekerja kantoran. “Saat ini, seluruh karyawan Empal Bu Warno berjumlah 15 orang,” ungkap Widya.
Empal selebritis
Cukup lega ketika Widya mengetahui selama ini tak ada pelanggan yang komplain perkara rasa. “Malah banyak yang memuji karena tidak berubah sejak simbah dan mertua,” ungkapnya tersenyum. Pun ketika berbincang dengan pelanggan, ia sering mendengar kisah nostalgia. Bahkan, ada pula yang mengatakan bertemu jodoh berkat sepotong daging empal.
Meski Pandemi Covid-19 membuat penjualan empal merosot sampai 5 kilogram, namun Widya mengucapkan syukur karena masih mampu bertahan. “Pokoknya Alhamdullilah, karena lini bisnis kuliner dan beberapa perusahaan besar sampai gulung tikar, tapi kami mampu bertahan,” ungkapnya.
Widya menceritakan sering stok barang yang ada tidak memenuhi pesanan konsumen. Seperti hari ini, ia mendapat pesanan 10 kilogram koyor. Nyatanya hanya 5 kilogram saja yang tersedia. Demi menjaga kualitas, ia tak pernah memberi empal dan jeroan sisa hari sebelumnya pada pelanggan. Daging-daging yang tersisa akan digunakan sebagai bahan abon sapi. Sedangkan jeroan akan menjadi konsumsi pribadi keluarga dan karyawannya.
Ketika saya menanyakan tentang empal selebritis, Bu Widya membenarkan paraban itu. Empal Bu Warno memang menjadi favorit para publik figur, seperti Najwa Shihab, Sudjiwo Tedjo, Olga Lydia, Mike Amalia, Tora Sudiro, dan Butet Kartaredjasa. Bahkan Henidar Amroe pernah datang ke rumahnya. Begitu pun Lydia Kandou yang baru dua bulan lalu singgah dan santap siang di Empal Bu Warno cabang Jalan Brigjen Katamso, Mergangsan.
Tidak hanya deretan publik figur, keluarga besar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga menjadi langganan Empal Bu Warno. “Khususnya keluarga Sultan Hamengkubuwono IX” ungkap Widya.
Widya lantas teringat ketika diajak berkeliling Indonesia oleh Bondang Winarno. Saat itu, ia mendapatkan kesempatan mempromosikan Empal Bu Warno ke Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, dan Makassar. Semuanya gratis. Ia juga ingat saat ikut dalam pameran di Jakarta. Ia membawa empal, jeroan, dan rambak dalam jumlah besar menggunakan mobil Daihatsu Luxio. Seolah seperti menjual kacang, dagangan Widya ludes dengan waktu kurang dari tiga jam saja.
Empal Bu Warno hanya mengandalkan promosi konvensional alias dari mulut ke mulut. Memang, kebanyakan pembeli adalah wisatawan lokal dan mancanegara yang menemukan referensi melalui sosial media. “Pernah mahasiswa UGM datang karena tahu kuliner ini dari temannya di Jakarta,” ungkap Widya tertawa.
Sampai saat ini, ia tak memasarkan Empal Bu Warno melalui marketplace seperti Grabfood dan Gofood. Semua dipesan hanya melewati kontak Whatsapp-nya dan Sang suami. Jika dari luar kota, pesanan akan divakum sebelum dikimkan menggunakan paket satu hari sampai. Menurutnya, Empal Bu Warno jika diletakkan dalam suhu kulkas dapat bertahan selama satu minggu.
Sekitar satu jam, saya dan Bu Widya berbincang. Tak terasa, pedagang di pasar sudah mulai membereskan dagangan. Maklum, waktu menunjukkan jam 15.00 WIB. Pasar yang semula ramai perlahan mulai sepi. Saya pun berpamitan. Tak lupa membayar Rp25.000 untuk sepiring nasi empal.
Reporter: Brigitta Adelia
Editor: Purnawan Setyo Adi