BECAK di Jogja pernah menjadi pemandangan sehari-hari. Penumpang kian sepi, pandemi semakin membuat becak kayuh makin menepi.
***
Namanya Ahmad Bilal, ketika saya menemuinya, ia tengah tiduran di atas becak kayuhnya di kawasan Tamansari Jogja tepatnya di bawah pohon beringin di kawasan Magangan Kulon. Usianya sudah sepuh.
“Saya sudah 86 tahun,” katanya saat saya tanya usianya. Melihat saya terbengong, ia membuka membuka sabuknya mengambil KTP dan menunjukan ke saya. Di kartu identitasnya tersebut tertulis namnya Bilal, lahir 31 Desember 1936. Ada perbedaan antara usia yang ia sebutkan dengan yang tertulis di KTP.
“Pokoknya pas Jepang datang itu saya baru di Sekolah Rakyat,” kata laki-laki yang biasa dipanggil Bilal. Ahmad Bilal mengatakan ia sudah mengayuh becak sejak tahun 50-an. Di usianya yang senja ini ia menjadikan mbecak sebagai tempat untuk tenguk atau nongkrong saja. Mengusir kesepian sekaligus kalau-kalau ada yang penumpang. Itupun dia tidak berani mengantar sampai jauh.
Rumahnya hanya beberapa meter dari tempat mangkalnya di bawah pohon beringin Magangan atau sebelah timur Pasar Ngasem.
“Anak-anak sudah berkeluarga semua. Biar nggak nglangut ya tengkuk di sini,” katanya. Setidaknya, kata Bilal, ia bisa bertemu dengan sesama pengayuh becak lainnya. Ia juga tidak memiliki jam kerja tertentu. Jika capai nongkrong, ia tinggal jalan kaki pulang untuk tidur atau makan.
“Becak di Jogja itu paling ramai penumpangnya tahun 60-an sampai tahun 90-an,” katanya. Ia tidak peduli, mendapat penumpang atau tidak saat ini. Kakinya tak lagi kuat mengayuh pedal becak dalam jarak yang jauh. Tak seperti tahun-tahun ketika ia masih perkasa mengayuh, kini baginya mbecak tak lebih dari untuk mengusir sepi.
Tak jauh dari becak Bilal, saya menemukan Junardi. Pegayuh becak yang usianya lebih sepuh. Ia mengaku lahir tahun 1930. Sambil berbaring di atas becaknya, ia mengaku sudah tidak mencari penumpang dan mengayuh becak lagi.
“Kaki saya tidak kuat lagi,” katanya. Rumahnya di Kampung Ngadiwinatan sekitar 1,5 kilometer dari tempatnya mangkal. Junardi mengaku hidup dari pemberian orang. Ia lebih banyak tinggal di atas becak. Sama seperti Bilal, ia justru merasa tidak kesepian di atas becak.
Di kawasan Plengkung Gading, tak jauh dari Alun-alun Kidul Kraton Yogyakarta saya menemui Warlis (60). Pengayuh becak ini juga lagi santai duduk di atas becak kayuhnya. Ketika saya tanya, kenapa becaknya tidak menggunakan mesin atau motor seperti yang jamak digunakan tukang becak lainnya, ia menjawab.
“Wah kalau pakai motor, becak di Jogja nggak istimewa lagi,” katanya tertawa. Namun, ada alasan logis kenapa ia tetap menggunakan becak kayuh.
“Kalau becak motor, sewanya Rp 15 ribu sehari. Kalau becak kayuh, cuma Rp 3.000 sehari mas,” katanya. Becak kayuh yang digunakannya memang bukan miliknya. Ia menjadi pengayuh becak belum lama. Baru beberapa tahun kebelakang.
Alasannya, ia mencari ketenteraman hati. Anak-anaknya sudah berkeluarga. Sementara istrinya sudah meninggal. Ia memutuskan keluar dari rumahnya sendiri karena merasa tidak nyaman dengan menantunya. Warlis kini tinggal kamar kos milik temannya, sehingga mendapat harga yang sangat murah.
Sebelum menjadi pengayuh becak, ia adalah pedagang kaki lima. Bolak-balik Jogja-Jakarta jualan batik.
“Lama-lama capai, keuntungan habis di jalan. Sekarang meski dapat sedikit, hidup yang ditanggung cuma sendiri, nggak mikirin lainnya, yang penting ayem, sehat,” katanya. Masa pandemi diakui Warlis sangat berpengaruh terhadap pendapatannya. Sehari dapat 20-30 ribu itu sudah sangat disyukuri.
Baginya pendapatan seperti itu sudah cukup untuk dirinya membayar sewa becak, bayar kos, dan makan minum. Namun, tidak sedikit rekan-rekannya sesama tukang becak yang menjadikan becak sebagai sandaran utama untuk menghidupi keluarga. Tidak sedikit dari mereka yang tidur berhari-hari di atas becak.
Baca Juga : Naik Becak Setelah Lama Absen: Tentang Pelarian, Kenangan, dan Cinta
“Banyak dari mereka yang berhari-hari tidak pulang, tidur di atas becak, di emperan toko-toko. Saya dulu juga sempat seperti itu. Tapi saya pikir-pikir fisik lama-lama tidak akan kuat, jadi saya ngekos,” katanya. Menurutnya, investasi terbesarnya adalah kesehatan. Ia tidak ingin sakit yang justru nanti malah merepotkan. Karena itulah semenjak, pandemi corona, ia selalu memakai masker.
Jika dulu Warlis masih bisa berharap dari wisatawan atau turis, sekarang dengan kondisi pembatasan perjalanan dari pemerintah, wisatawan tidak terlihat lalu lalang di Jogja.
“Sekarang harus pakai ilmu titen. Misal, jam 7 pagi itu ada penumpang di toko emas, jam 10 di pasar, siang nanti beda lagi tempatnya,” kata Warlis ayah dari 3 anak dan 3 cucu ini.
Warlis mengakui mengayuh becak baginya sebagai hiburan. Ia bersyukur untuk makan sehari-hari tidak kesulitan. “Pikiran di-selehke, semeleh. Tinggal ngenteni wayah wektune diundang gusti. Nggak usah banyak pikiran,” katanya. Warlis bahkan sudah menyiapkan diri jika sewaktu-waktu meninggal. Semua surat-surat sudah ia siapkan jika sewaktu-waktu dipanggil Tuhan.
Beralih ke titik paling mengundang wisatawan di Jogja yaitu Malioboro. Bejo (55) pria asal Bambanglipuro, Bantu ini masih setia dengan becak kayuhnya. Selama masa pandemi ini, ia mengibaratkan diri adang-adang tetesing embun atau berharap pada rezeki meski itu kecil.
“Mau becak motor, becak onthel, sami mawon sepine. Tergantung rezekinya,” kata Bejo saat ditemui Mojok tengah duduk santai di becak kayuhnya. Bejo yang tempat tinggalnya berjarak sekitar 22 kilometer dari Malioboro sudah beberapa hari ini tidak pulang ke rumahnya.
“Mau dapat penumpang atau tidak kalau waktunya pulang ya pulang mas. Kalau nggak rezeki ya nggak narik,” katanya pasrah. Saat ditemui sore hari di Malioboro, ia belum menarik penumpang satupun.
“Jane corona niku wonten mboten to mas?” katanya balik bertanya. Bejo menanyakan hal tersebut karena, sejak ada Covid-19 semua sepi. Tamu hotel tidak ada, wisatawan juga kosong. Pedagang dan toko di kawasan Malioboro diminta tutup lebih awal.
“Yang kena kan orang-orang kecil seperti kita,” katanya menatap gedung DPRD Provinsi DIY yang ada di seberang jalan.
Untung saja, kata Bejo, becak kayuhnya milik sendiri, bukan sewa seperti beberapa temannya. Ia bercerita, Becak yang sudah berusia lebih dari 15 tahun itu, dulu ia beli dengan kredit Rp 1.000 rupiah setiap hari. Lunas dalam dua tahun.
“Nggak mau ganti yang pakai motor pak?” tanya saya.
“Sama saja mas, harus beli bahan bakar, belum tentu dapat penumpang juga. Rezekinya orang itu masing-masing mas, kalau lagi nggak dapat penumpang ya namanya belum rezeki” katanya.
Apa yang disampaikan oleh Bejo senada kisah tukang becak yang dituliskan dan digambarkan dalam buku ‘Waton Urip’ karya Sindhunata, fotografer Agus Leonardus dan desainer Ong Hari Wahyu. Buku yang diterbitkan Nineart Publishing pada tahun 2005 itu berisi kumpulan foto dan tulisan Sindhunata tentang pengayuh becak di Jogja.
Salah satunya menuliskan pernyataan Sukiman, seorang tukang becak asal Sukorejo – Delanggu, Klaten yang mengatakan. “Apa yang bukan jatah rezeki saya tak bisa saya dapat. Kalau teman lain mendapat, dan saya emosi atau iri, jatah rezeki saya nanti malah lari,”.
Joko Pinurbo, penyair itu pernah menggambarkan dunia sepi tukang becak dalam sajaknya berjudul Penumpang Terakhir yang diperuntukan sastrawan, Joni Ariadinata yang sempat menjadi tukang becak. Begini bunyi dua buat terakhir dari puisi yang dibua tahun 2002 tersebut.
…
Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan,
sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan mungkin
bermimpi, di dalam becaknya sendiri.
Sampai di kuburan aku berseru bangun dong pak,
tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya.
Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau di atas tubuh
bang becak yang kesepian itu.
2002
Mengutip data yang dikeluarkan Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta pada tahun 2018, jumlah becak kayuh di Yogyakarta diperkirakan terus menurun. Hal itu bisa dilihat dari jumah Surat Izin Operasiona Kendaraan Tidak Bermotor (SIOKTB). Pada tahun 2014, jumlah SIOKTB yang dikeluarkan sebanyak 5.500 becak, tahun 2016, 5.048 dan tahun 2018 mencapai 3.235 unit SIOKTB untuk becak.
Baca Juga : Malioboro Tanpa Kendaraan Bermotor: Memangnya Sudah Siap?
Pengayuh becak lainnya di Malioboro, Panut (60) mengatakan, dulu di tahun 80-an hingga 90-an, becak di Jogja jadi primadona. Ibaratnya penumpang yang rebutan naik becak. Sekarang, becak yang rebutan kalau ada calon penumpang. “Pemasukan kendo, setelah ada corona opo meneh mas,” kata Panut di atas becaknya. Kakek satu cucu ini mengatakan tidak ingin merepotkan anak-anaknya yang sudah punya kehidupan sendiri sehingga di usianya yang kian senja ia masih mbecak.
“Saya juga tidak tahu kapan berhenti, mungkin kalau kaki sudah tidak bisa ngonthel lagi,” kata Panut. Mau ada penumpang tidak ada penumpang, selama dia masih kuat ia akan menyusuri jalan mencari penumpang.
“Kalau capai ya istirahat, tinggal tidur di atas becak,” kata warga Potorono, Bantul yang tiap hari nglaju dari rumahnya ke Malioboro dengan becaknya. Panut juga tidak terlalu berminat untuk menjadikan becak kayuhnya menjadi becak motor. Selain karena ia tidak punya biaya, ia memilih mengayuh becaknya agar fisiknya selalu terjaga. Isi dompet boleh sekarat, tapi badan harus tetap sehat.
[Sassy_Social_Share]