Dosen pembimbing dan mahasiswa ibarat minyak dan air, tak akan bisa bersatu selama proses skripsi. Tapi, Dito Yudhistira, mahasiswa UNESA Surabaya berbagi ceritanya tentang skripsinya yang lancar karena dosen pembimbing yang suportif, sesuatu yang amat jarang terjadi.
***
Pertarungan dosen pembimbing dan mahasiswa di kala skripsi adalah pertempuran abadi. Ia berada di tempat yang sama dengan pertempuran kebaikan dan kejahatan, Amerika melawan narkoba (yang kerap gagal), dan bubur diaduk vs tidak. Intinya, pertempuran ini tidak ada ujungnya.
Mahasiswa dan dosen pembimbing selalu dicitrakan tidak bisa menemukan middle ground yang mereka sepakati. Akhirnya, cerita tentang dunia skripsi selalu menjemukan: mahasiswa tak kunjung lulus karena dosen, dosen pembimbing kebingungan mahasiswanya tak muncul, atau gabungan keduanya. Gali saja media sosial, kau akan menemukan ketiga hal ini dengan mudah.
Tapi apakah kejadiannya selalu seperti itu? Apakah ada kejadian di mana mahasiswa dan dosen pembimbing sepakat akan sesuatu, dan saling membantu? Dito Yudhistira, mahasiswa UNESA Surabaya ini menceritakan betapa menyenangkan prosesnya skripsian.
Dosen pembimbing yang suportif
Dito, mahasiswa UNESA angkatan 2020 hampir menyelesaikan skripsinya. Kepada saya, dia bercerita bahwa skripsinya memang menemui masalah, tapi tidak tentang dosen. Memang pada dasarnya skripsinya begitu susah.
“Soalnya aku ambil tema rasionalitas mahasiswa yang main judi slot online, kan. Kurang lebih aku neliti soal kenapa ada mahasiswa yang ngeslot, padahal peran mereka ini punya peran yang katanya krusial sebagai agent of change, dll. Singkatnya, aku harus nyari apa alasan dan tujuan mereka ngeslot.”
Dia harus berusaha keras dan modal yang lumayan untuk nyari orang yang mau jadi sumber data skripsinya. Mau bagaimana lagi, memang sulit mencari orang yang mengaku main judi, tambahnya.
Kalau soal lain, untungnya Dito tak kesusahan. Mahasiswa UNESA ini kebetulan dapat dosen pembimbing yang suportif dan tidak menyulitkan.
“Pokoknya kalau masalah dosen pembimbing ini aku nggak terlalu bermasalah karena emang orangnya suportif banget. Nggak yang sak karepe dewe gitu, lho, mas. Aku yakin temen-temenku yang satu dosbing merasakan hal yang sama. Lha, gimana, temenku sampe dikasih beberapa opsi judul sama orangnya gara-gara kelamaan nggak ndang setor judul.”
Dito memang beruntung, tak semua dosen seperti itu. Galilah cerita di media sosial, maka kau akan menemukan sebaliknya. Dito punya pendapat tentang hal ini.
Antikritik
Bagi Dito, masalah pertempuran dosen pembimbing versus mahasiswa ini terjadi karena iklim akademik. Tak jarang dia mendengar cerita bahwa dosen sulit menerima masukan dan cenderung antikritik.
Mahasiswa kerap ditempatkan dalam posisi yang harus serba manut. Harus mengikuti apa yang diyakini dan ditentukan oleh dosen dari awal. Maka, pertempuran ini tak terhindarkan karena masalahnya memang dari awal kedua belah pihak posisinya sudah tak seimbang.
“Pokoknya, bisa menemukan dosen yang bisa diajak diskusi dan interaksi dua arah itu sesuatu yang harus disyukuri banget, Mas.”
Baca halaman selanjutnya
Kenapa skripsi susah?
Skripsi memang tak bisa dihindari. Meski Kemendikbud sudah mengeluarkan aturan bahwa mahasiswa bisa mengambil opsi selain skripsi, tetap saja pada akhirnya, mereka tak bisa menghindari jika aturan jurusannya mengharuskan mereka untuk skripsi.
Pada titik ini, mahasiswa jadi pihak yang lebih tertekan. Selain mereka harus menghadapi dosen yang kadang ajaib, mereka sendiri merasa bahwa skripsi sendiri itu sudah susah. Dito, mahasiswa UNESA ini pun tak bisa memungkirinya.
Dito bilang skripsi itu susah dari banyak faktor. Yang pertama adalah, mahasiswa sudah ketakutan karena ditakut-takuti. Yang kedua, karena tidak dibiasakan berpikir runut. Makanya banyak yang bingung mau memulai menulis skripsi dari mana.
“Yang terakhir, Mas, adalah nggak terbiasa nulis. Soalnya kebanyakan langsung nulis skripsi, ya pasti kaget karena sebelumnya belum terbiasa, tiba-tiba langsung ngetik beratus-ratus halaman.”
Dosen pembimbing yang suportif
Dosen pembimbing yang proper, bagi Dito, tetaplah jadi kunci utama dalam mulusnya pengerjaan skripsi. Baginya, tak mungkin bisa lancar kalau memang dosen dan mahasiswanya sudah bertengkar dari awal. Maka dari itu, dia begitu bersyukur dapat dosen pembimbing yang proper.
“Dosenku yang sekarang ini enak karena beliau jelas kalau ngasih masukan dijelasin kesalahannya di mana dan kenapa harus dibikin gitu. Terus, kita juga dikasih pilihan mau ngikutin masukannya beliau atau nggak. Jadi, aku sebagai mahasiswa diajak diskusi gitu, lho, mas. Bukan yang pokoke kudu manut.”
Baginya, dosen sebaiknya tidak memaksakan standar yang dia punya ke mahasiswanya. Sebab kondisi mahasiswa pasti berbeda-beda. Kalau dibikin sama memang tak salah, cuma rasanya nanti nggak akan lancar.
Menutup pembicaraan, Dito hanya bisa berpesan harus semangat. Skripsi memang tidak pernah mudah lika-likunya. Mau tak mau harus dihadapi. Memang begitulah kehidupan semester akhir.
“Oh, sama jangan sering-sering mengasihani diri sendiri dan mengutuk nasib.”
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
BACA JUGA 5 Kafe Ramah Anak di Jogja
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.