Diorama Arsip Yogyakarta memaparkan 400 tahun sejarah Jogja dalam tampilan multimedia yang menggabungkan ulasan sejarah, seni rupa, dan teknologi secara menarik. Memberi ruang pada sejarah-sejarah kecil.
***
Diorama biasanya menjadi bagian dari museum yang menyajikan fragmen sejarah dalam maket, orang-orangan, dan narasi yang bertele-tele. Terasa statis, monoton, dan membosankan.
Apalagi jika museum tersebut tak mendapat perhatian memadai dan makin sepi pengunjung—seperti kebanyakan nasib museum kita. Diorama yang niatnya menghidupkan sejarah justru akhirnya membuat sejarah itu beku.
Namun tidak dengan Diorama Arsip Yogyakarta. Diorama di Dinas Arsip Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta ini menawarkan diorama yang sama sekali berbeda. Diorama ini menyajikan sejarah Yogyakarta.
Sejak diresmikan Gubernur DIY 24 Februari lalu, diorama ini mulai dapat dikunjungi publik. Tempatnya berada Gedung Depo Arsip, di belakang gedung Ghratama Pustaka, perpusatakaan Pemda DIY, di Jalan Janti. Mojok.co berkesempatan menjajal diorama ini Minggu (27/2).
Wiwit, salah satu pemandu, menjelaskan setiap kunjungan dibatasi 20 orang guna menjaga protokol kesehatan. Untuk tahap awal ini, kunjungan digelar jam 09.00- 14.00. setiap sesi diberi jeda 20 menit. “Setiap sesi kunjungan durasinya sekitar 100 menit,” kata dia.
Perjalanan melintasi riwayat panjang Yogyakarta terbagi dalam 18 ruang diorama. Ruang pertama, Kebangkitan dan Kejayaan Mataram, sudah memberikan sensasi berbeda dalam menyajikan sejarah awal berdirinya Yogyakarta. di satu ruang besar yang dibatasi dinding kaca sehingga menambah kesan ruang tanpa batas, sebuah tiruan pohon dan batu besar menjadi pusatnya.
Pengunjung dipersilakan duduk lesehan dan menatap layar utama yang menampilkan tayangan animasi. Dari Danang Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Sutawijaya mendirikan Kerajaan Mataram Islam hingga kiprah Sultan Agung menyerbu Batavia. Semua pergantian adegan sejarah ini, kendati animasi, terasa amat sinematik.
Ruang utama ini dihubungkan oleh selasar yang diberi ornamen gerbang bentar. Di sini, naskah-naskah kuno dari serat dan babad—yang berupa replika atau tiruannya—mulai dipamerkan.
Di Ruang 3, dengan tajuk Prahara Mataram dan Intervensi VOC, intrik politik di dalam keraton dan turut campurnya pihak kolonial Belanda mulai dipaparkan, misalnya lewat surat dan perjanjian yang menguntungkan VOC dan memecah belah pihak keraton.
Kejayaan Kasultanan Yogyakarta ditunjukkan di Ruang 4. Maket Keraton Yogyakarta dipajang di tengah ruangan dikelilingi dokumen kuno dan lukisan peristiwa di masa itu. Gambar wajah para Sultan Hamengku Buwono berganti-ganti menghiasi satu sisi ruang yang seakan dikawal bregada keraton dalam wujud replika. Sisi lain ruangan memutar video hitam putih tari Beksan Lawung Ageng karya Sultan HB I.
Ruang 5 menampilkan secara khusus peristiwa Geger Sepehi. Layar besar menampilan peristiwa penyerbuan serdadu Inggris ke Keraton Yogyakarta itu. Adegan tersebut muncul dalam sebuah animasi. Prajurit Inggris menembak pasukan Keraton yang siaga di benteng. Seru! Persis seperti kejadian aslinya yang membuat benteng Keraton hancur, animasi itu ditayangkan di fasad yang dibentuk layaknya benteng keraton.
Peristiwa Geger Sepehi juga dijelaskan dalam konteks yang lebih luas berkaitan dengan perebutan kekuasaan di Eropa, antara Belanda, Inggris, dan Perancis. Namun paparan sejarah yang ruwet ini tak dijabarkan dengan teks panjang, melainkan narasi ringkas yang menjelaskan sebuah lukisan tentang tiga sosok penguasa: Rafless, Daendels, dan Napoleon.
Sejarah Puro Pakualaman dihadirkan di Ruang 6. Melalui foto, naskah, hingga lukisan wayang, kerajaan yang semula memiliki wilayah kekuasaan di Adikarta alias Kulonprogo ini diriwayatkan bergabung dalam DIY dan menjadi bagian NKRI.
Puncak pergolakan dalam melawan penjajah di Yogyakarta, bahkan di tanah Jawa, yakni Perang Jawa, diilustrasikan di Ruang 7. Sosok sentral di fase ini Pangeran Diponegoro ditampilkan dalam kelebatan lukisan Raden Saleh. Periode ini juga penanda mulainya era baru, yang diwakili pembangunan Tugu Pal Putih menggantikan Tugu Golong Gilig yang roboh karena gempa, 1867.
Setelah berpusar di kerajaan Keraton Yogyakarta, Ruang 8 mulai menandai konteks sejarah yang lebih luas. Bertajuk Lokomotif Perubahan, diorama bagian ini memberi sensasi berbeda. Dalam ruang berbentuk lorong, ‘ditanam’ rel di bawah kaca sepanjang ruang tersebut.
Saya yang takut-takut menginjaknya karena mengira bakal ada kereta buatan yang bakal lewat, ditenangkan oleh Wiwit si pemandu. “Diinjak enggak apa-apa mas,” katanya. Toh, pengunjung lain juga senada dengan saya—berdiri hati-hati di luar rel itu.
Memang akhirnya ada kereta api yang melintas—lengkap dengan gemuruh suara uapnya. Namun kereta dalam rekaman video lawas dan animasi itu tampil hanya di dinding sembari memboyong gerbong berisi data sejarah tentang fase baru kolonial, yakni periode industri dan zaman modern.
Ruang 9 Kebangkitan Elite-elite Lokal menampilkan masa pergerakan oleh para cendekiawan dan organisasi modern, seperti Boedi Oetomo dan Muhammadiyah. Oya, di ruangan ini juga diperdengarkan lagu keroncong yang menandai era modern.
Dua ruang berikutnya mengemukakan Yogyakarta sebagai pusat perjuangan, yakni di Ruang 10 ‘Selokan Mataram’ dan Ruang 11 ‘Yogyakarta Ibu Kota Revolusi’. Seting revolusi ini sungguh meyakinkan dengan karung-karung goni dan kawat berduri sebagai tempat pertahanan perang, hingga poster-poster revolusi. Video-video lawas tentang Bung Karno dan para tokoh kemerdekaan diputar bersama kesaksian pelaku sejarah, seperti para pekerja romusha.
Empat ruang berikutnya mencakup berbagai aspek Yogyakarta, yakni mengenai tata pemerintahan, juga sebagai kota pendidikan, kota kebudayaan, dan kota pariwisata. Desain menarik dihadirkan di bagian kota pendidikan.
Alih-alih menampilkan kampus-kampus besar, ruangan ini justru mencuplik denyut kehidupan kos dan kampung tempat tinggal mahasiswa. Di ruangan ini direka ulang, plang-plang yang berkaitan dengan kehidupan mahasiswa dan warga lokal Jogja. Misalnya plang afdruk foto dan peringatan berkendara.
Tak lepas dari kehidupan mahasiswa pula, ruang 16 menukil peristiwa Pisowanan Ageng 1998 yang menandai kondisi era Reformasi di Jogja. Video dan suara pidato Sultan HB X saat mendukung gerakan mahasiswa 1998 diputar dengan kombinasi tata cahaya yang dinamis.
Masa-masa duka dihadirkan di Ruang 17 ‘Yogyakarta dan Kebencanaan’. Pengunjung kembali diminta duduk lesehan di replika tugu jam di Malioboro yang menunjukkan jam 5.55—waktu saat gempa dahysat melanda Jogja 2006 yang direka ulang lewat video.
Rasa ngeri bahkan sudah menggelayut saat menatap langit-langit ruang itu yang dibuat seolah berantakan dan nyaris ambrol. Kondisi Jogja yang porak poranda lantas ditampilkan dalam video bersama kesaksian warga yang lolos dari maut. Selain gempa, erupsi Merapi juga dipaparkan bersama upaya warga melakukan mitigasi bencana di masa depan.
Di pengujung perjalanan ke ruang-ruang sejarah ini, ruang 18 ‘Keistimewaan Yogyakarta’ memungkasinya dengan cerah ceria dari pilihan warna dan tata ruang. Warga dari berbagai usia, asal, etnis, hingga profesi, memberikan kesan-kesan mereka tentang Jogja dalam sejumlah panel video. “Jogja itu ngangeni,seperti kamu,” kata seorang pemuda dari kawasan Indonesia Timur.
Direktur Artistik Diorama Arsip ini, Ong Harry Wahyu, menjelaskan, diorama ini memberi ruang besar bagi narasi sejarah rakyat dan sejarah-sejarah kecil. Ia bahkan mempersilakan siapa saja yang memiliki bahan sejarah untuk turut menampilkannya di Diorama Arsip ini.
“Siapa tahu, dari sini arsip sejarah pribadi muncul. Supaya (diorama)ini lengkap dan karena ini punya orang Jogja. Sejarah kecil ini yang membedakan dengan museum lain,” kata dia, saat ditemui Mojok.co usai mengikuti kunjungan di diorama.
Meski ada materi sejarah resmi dari pemda, sejarah-sejarah pinggiran diberi tempat karena akan membuat diorama ini makin kaya. Ong mencontohkan tema Jogja kota pendidikan yang tak menampilkan riwayat kampus-kampus besar macam UGM, tapi justru soal kehidupan kampung dan kos-kosan. “Kampus-kampus itu sudah punya museum sendiri. Di sana ceritanya sudah lengkap,” kata Ong.
Menurutnya, materi sejarah yang dikumpulkan tim melimpah. Dengan tambahan arsip pribadi yang kelak mungkin muncul, materi diorama ini dapat berubah secara berkala. “Ini bisa di-rolling dalam hitungan bulan atau tahun,” ujar seniman visual ini.
Namun ia mengakui tim sempat kesulitan mencari bahan dan menampilkannya ke pubik. Contohnya dokumentasi soal Ibu Ruswo yang disebut menggagas nasi bungkus atau nasi kucing di masa gerilya hingga bertahan hingga kini sebagai bentuk solidaritas.
Contoh lain, dokumentasi di masa pendudukan Jepang yang kental agenda propaganda. “Video tentang romusha itu enggak ada yang sedih, semua ketawa. Makanya kami imbangi dengan narasi sejarawan dan cerita saksi sejarah,” katanya.
Ong mengerjakan ruang-ruang di diorama ini layaknya menggarap setting film. Setiap aspek, dari visual, cahaya, hingga suara benar-benar dipertimbangkan untuk membangun suasana. Diorama macam ini disebut baru yang pertama di Indonesia.
“Orang membayangkan diorama itu pameran kertas. Ini kami narasikan, disenirupakan, dan ada dramatisasi ruang,” kata art director dari film Daun di Atas Bantal, Habibie Ainun, hingga Losmen Bu Broto ini.
Perencanaan diorama ini disiapkan sejak 2019 dan pengerjaannya sempat tertunda karena pandemi. Sepanjang 2021, proyek ini dikebut dan rampung dalam 10 bulan.
Mereka yang terlibat antara lain tim sejarawan, tim teknis termasuk untuk teknologi augmented reality, hingga tim kreatif yang mencakup lebih dari 100 seniman. “Semua dikerjakan orang Jogja. Enggak pakai konsultan asing,” kata Ong seraya tertawa.
Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Mengalami Masa Lalu Membelah Hutan Jati dengan Kereta Uap di Cepu liputan menarik lainnya di Susul.