Geram dengan remaja yang diduga melakukan klitih, warga menangkap dan sempat menghajarnya. Kejadian tersebut terjadi di jantung Kota Yogyakarta, Senin (3/1/2022), tak jauh dari pos polisi.
***
Tepat ketika pergantian hari, Senin (3/1/2022) pukul 00.00, saya melintasi Jl. Pangeran Diponegoro, Yogya. Tujuan saya hanyalah pulang sehabis ngopi-ngopi santai sebelum kembali bekerja di pagi harinya. Saat saya melintas di depan Gereja Pantekosta Tugu, atau sekitar 200 meter arah barat dari Tugu Jogja. Saya melihat kerumunan orang berlari dari arah barat menuju timur, tepatnya dari arah Jl. Bumijo.
Saya pikir, kejadian tersebut adalah tawuran. Maklum, beberapa hari sebelumnya terjadi tawuran antar-suporter bola. Awalnya saya ingin langsung pulang dan tidur. Tapi saya putuskan untuk melaju ke Pos Polisi Pingit yang hanya beberapa ratus meter dari lokasi kejadian. Tujuan saya tentu untuk melaporkan kejadian ini.
Sampai di depan gerbang, saya ditemui dua orang polisi yang baru saja cuci muka. Segera saya sampaikan peristiwa ini dengan terbata-bata. Dua polisi tersebut langsung menyatakan akan segera ke lokasi. Dari sini, saya kembali ke lokasi kejadian.
Sesampainya di penjual bunga tabur depan Gereja Pantekosta Tugu, saya melihat kerumunan orang tadi berdesak-desakan di selatan jalan. Mereka telah bergerak berdesakan di depan angkringan dan warung makan tenda. Saya masih berdiri di seberang jalan, takut kalau malah jadi sasaran. Di sini saya baru mendapat informasi dari teriakan kerumunan bahwa mereka menyerang pelaku klitih.
“Woi gowo sajam iki (woi bawa sajam ini),” teriak mereka berkali-kali. Beberapa driver ojol ikut turun dan masuk ke dalam kerumunan. Saya sempat melihat orang yang dikeroyok tersebut bersimbah darah di bagian mulut. Orang tadi lari masuk ke gang di sebelah angkringan, tepatnya di barat Hotel Grand Senyum. Tidak lama kemudian, mobil polisi dari Pos Pingit datang dari arah barat dengan sirine meraung-raung.
Saya menunjuk-nunjuk kerumunan untuk memberi tanda pada polisi tadi. Ketika mobil polisi parkir di utara jalan (sebelah saya berdiri), beberapa orang dari kerumunan memandu polisi untuk menyeberang ke selatan. Saya ikut serta sambil memberi aba-aba kendaraan yang melintas untuk berhenti.
“Pak, orangnya masuk kampung,” teriak seorang pemuda gempal sambil memegang tangan saya. Saya menangkap maksudnya, ia ingin memberitahu saya karena mengira saya polisi. Mungkin karena saya pakai jaket kulit hitam khas reserse. “Saya sipil mas,” saya mencoba menjelaskan.
Akhirnya kami berdua melaju ke depan gang. Baru sampai depan, pemuda yang luka tadi berjalan keluar diiringi warga dan driver ojol. Pemuda tadi berjalan sambil dicambuk dengan sabuk yang entah milik siapa. Pemuda ini beberapa kali dipukuli warga sehingga saya mencoba melerai. Sial, saya hampir jadi sasaran sabetan sabuk yang salah arah ini. Pemuda bersimbah darah ini segera dievakuasi dan digiring masuk ke mobil polisi.
Mas-mas gempal yang mengira saya polisi tadi menyatakan, pemuda yang bersimbah darah tadi kedapatan memiliki sajam di balik jaketnya. Hal ini dibenarkan oleh driver ojol yang memegang cambuk sabuk. Pemuda tadi berombongan dengan 2 motor lain yang kabur.
Saya menuju ke pertigaan tempat lokasi awal geger gedhen ini. Di sana, saya ditemui Mas Boris (20) yang sedang menjaga vape store di pojokan pertigaan ini. Tepatnya di seberang timur Hotel Pesonna.
Mas Boris menyatakan bahwa awalnya ada 3 motor berhenti di pertigaan tersebut. Dua motor berhenti di sisi barat, sedangkan satu motor berhenti di dekat vape store yang dijaga Mas Boris tadi. Tiba-tiba pemuda yang parkir di dekat vape store ini turun sambil memutar-mutar gear motor yang diikat ke sebuah tali. Pemuda tadi langsung menuju ke sebuah motor dan merusaknya dengan gear tadi.
“Yo saya langsung teriak ‘ngopo sing dirusak motore’, lalu banyak warga dan pengunjung vape store ini mengepung dan menyerang pemuda tadi,” ujar Mas Boris. Awalnya Mas Boris menduga ini adalah tawuran antar suporter klub bola. Namun, dari salah seorang warga, ternyata ini adalah penyerangan antar geng remaja.
Informasi ini dibenarkan beberapa orang lain di sekitar vape store Mas Boris. Setelah pemuda yang menyerang tadi dikepung dan dikeroyok, dua motor yang berada di sisi barat tadi langsung kabur. Namun, entah bagaimana akhirnya kedua motor tadi mendatangi lokasi pengeroyokan dan ikut diamankan polisi.
Saya mencoba meminta keterangan dari salah seorang polisi. Namun, polisi tersebut enggan menyampaikan perkara dugaan klitih ini. Saya mencoba mengambil foto 4 orang pemuda yang diduga teman dari yang dikeroyok. Namun, saya segera dihardik dan polisi tadi mengatakan, “jangan difoto, belum tentu mereka salah.”
Setelah polisi mengevakuasi dan meminta beberapa warga menjadi saksi, saya tetap tinggal di lokasi. Saya memutuskan untuk mendatangi angkringan tempat ribut-ribut tadi. Beruntung, angkringan tersebut tidak rusak karena kerumunan tadi. Segera saya pesan es jeruk untuk menenangkan diri.
Mas Sendi (25) membuat es jeruk saya sambil ngobrol dengan pembeli lain. Mas Sendi menyatakan, dari awal sudah mendengar ribut-ribut dari arah barat. Terdengar juga suara “bak buk bak buk” dari motor yang dipukuli pemuda tadi. lama-lama kerumunan ini bergerak ke arah angkringan Mas Sendi.
Kerumunan tadi berdesak-desakan di depan angkringan Mas Sendi dan tenda warung makan di sebelahnya. Sontak pemilik warung tadi mengusir kerumunan. Demikian juga dengan Mas Sendi. “Lha di sini ada anak kecil mas. Kasian kalau kenapa-kenapa,” ujar Mas Sendi.
Mas Sendi juga menyatakan bahwa benar pemuda yang dikeroyok ini membawa sajam. Pernyataan ini dibenarkan oleh driver ojol yang juga ngangkring. Menurut driver ojol yang enggan menyebut namanya ini, pemuda yang dikeroyok ini berusaha kabur masuk gang di sebelah angkringan. Namun, sampai dalam, sudah ada warga yang mengamankan dan menggiring kembali ke Jl. Pangeran Diponegoro.
“Tadi sih katanya geger antar geng mas. Tapi sudah pasti (pemuda tadi) pelaku klitih. Lha wong nyimpen sajam di dalam jaketnya,” ujar driver ojol tadi. Saya tadi juga sempat melihat salah seorang warga menyerahkan sajam berupa pedang dengan sarung mirip tongkat kepada polisi. Pedang ini milik si pemuda yang dikeroyok.
“Tetep klitih ini mas. Kan intinya menyerang orang lalu kabur. Kalo yang ini untungnya belum sempat kabur sudah di-rayah sama warga,” imbuh seorang pemuda lagi yang ternyata ikut mengeroyok.
Mas Sendi menyatakan tidak habis pikir kenapa ada klitih di pusat kota. Bahkan di waktu dimana masih ramai orang dan wisatawan. Terbukti, saat kami ngobrol ada rombongan pesepeda dan pengendara otoped melintas di depan angkringan menuju Tugu Jogja. Saya tanyai salah satu wisatawan yang lewat di depan angkringan dengan otoped. Kebetulan, orang tadi sedang membantu temannya yang kesulitan mengendarai transportasi roda dua ini.
Luqman (25) menyatakan sengaja menuju area depan angkringan. Alasannya adalah mendengar ribut-ribut saat masih di depan area Tugu. “Saya kira ada apa bang, ternyata ada begal,” ujar Lukman yang mengira ada begal yang tertangkap warga.
Mas Sendi kembali berpendapat bahwa klitih di Jogja semakin tidak terkendali. Bukannya makin redam, malah makin menjadi saat liburan Nataru ini. Mas Sendi juga menyayangkan beberapa opini yang menolak pemberitaan tentang klitih. Menurutnya, pemberitaan ini penting agar gerak pelaku klitih makin sempit. “Kalau ga gini, yo makin parah tho klitihnya,” imbuh Mas Sendi.
Pemerintah nggak perlu baper dengan pertanyaan warga soal klitih
Mojok menghubungi sosiolog UGM AB Widyanta, soal sikap masyarakat yang banyak bertanya soal klitih di Yogyakarta. Menurutnya, pemerintah sebaiknya jangan baper dengan banyaknya pertanyaan soal klitih dari masyarakat. Mencari akar masalah melalui penelitian ilmiah kemudian membuat solusi holistik yang melibatkan banyak pihak adalah langkah yang harus diambil.
Dosen yang akrab dipanggil Abe mengatakan, persoalan warga yang mengeroyok orang yang diduga pelaku klitih juga bisa dilihat sebagai kegagalan pelayanan publik di Yogya. “Klitih sulit diberantas, tidak berkesudahan, dan masyarakat melakukan itu sebagai bentuk self defense, karena gagalnya pelayanan publik,” kata Abe.
Melihat persoalan klitih juga harus dilihat sebagai noktah hitam bagi DIY yang memiliki julukan sebagai Kota Pelajar dan Kota Budaya. “Menyoroti ke belakang, klitih sangat sulit diberantas, kita belum mendapati riset-riset serius, yang ada riset-riset dari teknokrat yang sekadar jadi tumpukan dokumen yang bertumpuk,” kata Abe.
Menurutnya, persoalan klitih harus ditangani secara holistik. Artinya harus dilacak dulu melalui penelitian ilmiah. “Kita perlu kajian antropologis, sosiologisnya, ekologis sosialnya, itu yang harus dilakukan sebelum kita bicara soal kriminalitasnya,” ujar Abe.
Abe menuturkan, pemerintah nggak perlu baper dengan banyaknya pertanyaan masyarakat soal klitih. Karena persoalan klitih bukan hanya sekadar urusan pemerintah. Bukan juga hanya urusan keluarga atau sekolah. “Remaja di rumah mungkin jadi anak baik, begitu juga di sekolah, tapi mereka (pelaku klitih) ada di between, antara keluarga dan sekolah. Ada di peer group,” kata Abe.
Persoalan klitih, juga bisa jadi terkait tata ruang publik yang ramah bagi anak-anak dan remaja. Ruang yang menjadi perjumpaan manusia untuk berolahraga, olah rasa dan olah pikir sehingga anak-anak terbiasa bermain dengan menyenangkan. “Kita harus legawa, mengakui kalau klitih memang ada, selanjutnya ada tindakan preventif, dengan cara ilmiah, lewat riset dan dicari akarnya, dan itu melibatkan multistakeholder,” kata Abe.
Reporter : Dimas Prabu Yudianto
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Ironi Pleret, Sejarah Yogyakarta yang Terlupakan dan liputan menarik lainnya di Susul.