Diam-diam Mbah Sulastri Memilih Tinggal di Panti Jompo

Diam-diam Mbah Sulastri Memilih Tinggal di Panti Jompo

Panti jompo atau panti wredha jadi pilihan bagi lanjut usia (lansia) untuk menghabiskan masa tuanya di tempat itu. Tidak ingin merepotkan keluarga, jadi salah satu alasannya.

***

Diam-diam memilih tinggal di panti jompo 

Menggunakan daster berwarna merah, beliau melewati saya yang masih berada di depan Panti Jompo Budhi Dharma. Beberapa helai rambut putihnya menjuntai melewati ubetan di kepalanya. Mbah Sulastri (80) -bukan nama sebenarnya- sedang berjalan menuju warung yang ada di seberang panti jompo. 

Sudah empat tahun Mbah Sulastri tinggal di Panti Jompo Budhi Dharma ini. “Daripada hidup sendiri,” ujar Mbah Sulastri ketika saya ajak ngobrol akhir pekan ini.

Pandangan Mbah Sulastri berubah sedih. Pasalnya, suami Mbah Sulastri sudah meninggal pada tahun 2003 lalu karena sesak nafas. “Jadi janda sudah lebih dari lima belas tahun,” ungkap Mbah Sulastri. Tidak hanya kehilangan suaminya, Mbah Sulastri juga sudah kehilangan tiga anaknya. Saat ini, anak dari Mbah Sulastri hanya ada satu dan juga sakit-sakitan.

Tidak ada yang merawat membuat tetangga Mbah Sulastri menyarankan untuk tinggal di Panti Jompo Budhi Dharma saja. Menurut tetangganya kala itu, jika tinggal di panti jompo, maka sebagai lansia, jika ia sakit, akan ada yang membantu mengurus, tidak akan kerepotan. Selain itu, Mbah Sulastri yang sudah tidak kuat bekerja karena sudah tua juga tidak akan kesulitan untuk mencari makan. Berbekal bujukan tetangganya itulah, Mbah Sulastri kemudian tinggal di Panti Jompo Budhi Dharma.

Meskipun demikian, anak dari Mbah Sulastri tidak tahu jika ibunya kini tinggal di Panti Jompo Budhi Dharma. “Biar tidak usah tahu saja, nanti repot,” ungkap Mbah Sulastri sedih. Anak laki-lakinya itu juga sudah tua, bahkan menurut Mbah Sulastri usianya sudah menyentuh angka enam puluh tahun. 

Anak laki-lakinya itu, saat ini juga hanya menumpang di rumah istrinya, tentu tidak enak jika harus mengajak Mbah Sulastri tinggal bersama. Karena itu, Mbah Sulastri memutuskan untuk tidak memberi tahu anaknya supaya tidak ada tangisan antara ia dan anaknya itu.

Tinggal di panti itu ada senang dan susahnya, begitulah yang dirasakan Mbah Sulastri. Senang dirasakan Mbah Sulastri karena di sini, ia ada yang mengurus. “Makan gratis, dikasih pakaian, kalau sakit ada yang mengobati,” ungkap Mbah Sulastri. Namun, susahnya berada di lingkungan baru terkadang membuat Mbah Sulastri sulit beradaptasi dan terlibat salah paham dengan lansia yang lain.

Mbah Sulastri juga masih mengikuti berbagai kegiatan. “Kalau kegiatan mengaji pasti selalu ikut,” ujar Mbah Sulastri. Hanya saja, jika kegiatan senam, Mbah Sulastri kadang memilih tidak mengikuti. Pasalnya, gerakan senam yang dilakukan malah membuat Mbah Sulastri sesak nafas karena tubuhnya sudah tidak mampu mengikuti. Jika ditanya, Mbah Sulastri sudah betah berada di Panti Jompo Budhi Dharma ini.

Saya sebenarnya ingin berjumpa dengan lebih banyak lansia yang tinggal di panti jompo. Selain menjenguk mereka tentu saya bisa berbincang atau sekadar menghibur. Di Jogja, jika melihat di google maps, terdapat kurang lebih enam panti jompo. Sayangnya, di masa pandemi covid-19 ini, semuanya tidak menerima tamu dari luar, baik mahasiswa yang akan melakukan penelitian, bahkan membatasi keluarga yang akan berkunjung.

Beruntung saya bertemu Mbah Sulastri usai berusaha masuk ke Panti Jompo Budhi Dharma.  Sebagai mahasiswa keperawatan, tentu ada rasa penasaran untuk melihat panti jompo lebih dekat. Itu yang membawa sepeda motor saya berhenti di sebuah pagar tinggi berwarna hijau. Di sampingnya, terdapat sebuah papan putih bertuliskan UPT Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia Terlantar Budhi Dharma.

Sebut saja namanya Pak Jamal (36), bukan nama sebenarnya, seorang satpam yang saya temui sedang berjaga. Dia berjaga mulai pukul tujuh pagi dan baru akan pulang ke rumah pada pukul tujuh malam. Meskipun demikian, jadwal kerja Pak Jamal diatur berdasarkan pembagian waktu. “Dihitung setiap dua belas jam,” ungkap Pak Jamal.

Gapura pintu masuk Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Foto Briggitta Adelia/Mojok.co

Panti Jompo Budhi Dharma ini berdiri pada tahun 1952 di bawah naungan Dinas Sosial Kota Jogja. Pelopornya adalah Bapak Budhi Haryono dan Bapak Dharmo. “Dulu, Panti Jompo Budhi Dharma ini masih di Jalan Solo No. 63,” ungkap Pak Jamal sembari menyodorkan brosur hijau. Menurut Pak Jamal, dahulu Panti Jompo Budhi Dharma menerima bukan hanya lansia saja, melainkan anak nakal, gelandangan, dan tunawisma.

Setelah lima belas tahun berlalu, barulah panti ini memisahkan penghuninya berdasarkan usia. Panti ini kemudian pindah di Kampung Tegalgendu, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta dengan menyewa tanah perseorangan. 

“Tahun 1967, pindah untuk kedua kalinya ke Ponggalan UH 7/ 203, Giwangan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta,” tambah Pak Jamal sembari menunjukkan sejarah Panti Jompo Budhi Dharma yang sudah tertulis di brosur hijau.

Di panti wredha ini lansia diharapkan bisa mendapatkan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial, sehingga bisa sejahtera dan tenteram lahir batin. “Mereka, para lansia, akan berada di panti jompo ini sampai akhir hidup,” ungkap Pak Jamal. Pasalnya, Pak Jamal memang sering melihat dan membantu mengurus jenazah para lansia yang meninggal baik mendadak maupun yang sudah sempat mengalami sakit di rumah sakit. 

Menurut Pak Jamal, pada malam hari kadang ada yang meninggal sehingga kasihan jika hanya dua perawat saja yang menyucikan, karena itu Pak Jamal sering turun tangan. Bahkan, Pak Jamal mengaku pernah mengalami keadaan di mana lansia meninggal beruntun dalam sehari, dua atau tiga kali berurutan.

Kapasitas maksimal dari panti ni 63 lansia, sedangkan saat ini sudah terisi 58 lansia. “Di sini kebanyakan wanita, kalau tidak salah yang laki-laki jumlahnya hanya 20 saja,” ungkap Pak Jamal. Meskipun demikian, Pak Jamal tidak dapat menjamin jumlah tersebut akan sama terus setiap harinya, mengingat kesehatan lansia cukup rentan dan fluktuatif.

Lansia yang ada di Budhi Dharma ini merupakan kalangan dengan ekonomi lemah dan terlantar. Menurut Pak Jamal, biasanya lansia tersebut sudah tidak memiliki keluarga atau putus hubungan darah dengan keluarga.

Namun, tidak semua lansia yang berada di ekonomi lemah dan terlantar dapat masuk menjadi anggota Panti Jompo Budhi Dharma, ada beberapa syarat penyerta seperti berumur 60 tahun ke atas, domisili di Kota Yogyakarta, berasal dari keluarga tidak mampu yang dibuktikan dengan surat keterangan tidak mampu, mandiri, tidak menderita penyakit menular, dan terlebih dahulu mendaftarkan diri ke Dinas Sosial Kota Yogyakarta. 

Barulah, setelah itu, tim dari Panti Jompo Budhi Dharma akan melakukan survei rumah dari calon lansia yang akan menjadi bagian dari panti. “Sebenarnya tidak hanya dilihat rumahnya, namun juga sifat dan karakter lansianya,” tambah Pak Jamal menjelaskan.

Meskipun syarat lansia yang masuk ke Panti Jompo Budhi Dharma ini harus mandiri, namun, semakin bertambah usia, lansia juga akan mengalami kelemahan fisik. Karena itu, penghuni ini terbagi menjadi tiga, yaitu lansia mandiri, lansia yang setengah aktivitasnya perlu di bantu, dan lansia yang sudah tidak mampu beraktivitas sama sekali. Begitu pula dengan letak kamar lansia tersebut, semakin ke belakang dan mendekati perawat maka akan ditempati oleh lansia yang seluruh aktivitasnya dibantu oleh perawat.

Beberapa kegiatan yang ada di Panti Jompo Budhi Dharma ini antara lain kegiatan musik elektone tunggal, keterampilan seperti membuat sulak, hiasan bunga, taplak meja, keranjang parcel, senam lansia, kerja bakti, dan bimbingan keagamaan. Selain itu, fasilitas yang didapatkan di Panti Jompo Budhi Dharma ini antara lain pendopo, pemeriksaan kesehatan rutin dua kali seminggu, perawat 24 jam, masjid, mobil ambulance, mobil jenazah, dapur, dan tanah pemakaman.

Seluruh lansia yang ada di Panti Jompo Budhi Dharma ini maupun keluarganya tidak dipungut biaya. “Malah mendapat uang saku,” ungkap Pak Jamal terkekeh. Lansia yang ada di Panti Jompo Budhi Dharma dalam sebulan mendapat lima puluh ribu rupiah. Bahkan, jika ada donatur, lansia itu bisa mendapat sampai dengan dua ratus ribu, tergantung dari uang yang diberikan donatur. Yang terpenting, uang tersebut terbagi rata kepada lansia.

Obrolan Kepala Suku Mojok, Puthut EA dengan Feriawan Agung, pekerja sosial di panti wredha.

Uang saku pada lansia itu dapat dipergunakan untuk jajan. “Bagaimanapun juga, lansia kan juga ada keinginan, semisal mau jajan atau bagaimana,” ungkap Pak Jamal. 

Cara menghuni Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso 

Saya kemudian melajukan sepeda motor menuju sebuah panti jompo yang berada di Pakem, Sleman. Dilansir dari Gudeg.net, Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso ini merupakan bagian dari balai pelayanan sosial yang memberikan penanganan pada lanjut usia telantar agar dapat hidup baik dan terawat.

Panti Jompo Tresna Wredha ini dikelola oleh Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat dua unit yaitu Unit Abiyoso yang berada di Pakem dan Unit Budi Luhur yang berada di Kasongan.

Berbekal sebuah brosur berwarna biru, saya dapat berkomunikasi dengan pengelola dari Panti Jompo Tresna Wredha, yaitu Pak Nicasius Sumardi melalui telepon. Menurut Pak Nicasius, saat ini, lansia yang ada di Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso berjumlah 134 orang. “Memang kebanyakan wanita, dengan pembagian 33 laki-laki dan 101 wanita,” ungkap Pak Nicasius.

Lansia yang ada di Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso ini seluruhnya berasal dari empat kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hanya saja, Gunung Kidul menjadi penyumbang paling sedikit jumlah lansia yang berada di Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso ini. Sedangkan, rentang usia lansia berkisar 60-93 tahun.

Lansia yang diterima di Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso ini merupakan lansia yang telantar baik secara biologis, fisik, sosial, psikologis, spiritual, dan ekonomi. Syarat untuk mendaftar menjadi penghuni di Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso yaitu berusia 60 tahun ke atas, memiliki KTP DIY, tidak mempunyai sanak keluarga terlantar, memiliki surat keterangan sehat, ada yang bertanggung jawab, dan membuat surat pernyataan sesuai blangko yang tersedia dan ditanda tangani oleh penanggung jawab atau pihak keluarga, serta aparat desa setempat.

Menurut Pak Nicasius, lansia yang berada di Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso saat ini merupakan lansia yang terlantar sosial dan ekonominya. “Lansia itu kebanyakan lewat rujukan rumah ibadah, seperti masjid dan gereja,” tambah Pak Nicasius.

Berbagai kegiatan dilakukan di Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso, seperti adanya olahraga secara rutin, senam otak, kerja bakti, bimbingan konseling, dinamika kelompok, bimbingan spiritual, bimbingan ketrampilan seperti membuat sapu rayung, keset kain perca, dan menjahit, serta bimbingan kesenian seperti bernyanyi bersama dan karawitan. 

“Jika sebelum pandemi Covid-19, lansia juga akan diajak mengunjungi obyek wisata dan tempat bersejarah untuk mengingatkan akan masa lalu,” ungkap Pak Nicasius.

Lansia yang memilih meninggalkan anaknya untuk tinggal di panti jompo

Tidak ketinggalan Pak Nicasius membagikan kisah satu orang lansia di Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso. “Jadi ada seorang lansia yang tadinya tinggal bersama anak dan tiga cucunya,” ungkap Pak Nicasius. Usia yang tidak lagi muda, membuat lansia itu tidak lagi bekerja, sehingga kebutuhan sehari-harinya bergantung pada anaknya. 

Sayang, ekonomi anaknya pun tidak baik. Untuk makan bersama tiga cucunya saja uangnya tidak cukup, apalagi harus menanggung kebutuhan lansia. Akhirnya, keluarga itu hanya makan satu kali sehari. Atas bantuan rumah ibadah, lansia itu akhirnya dimasukkan ke Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso. “Tidak disangka, lansia itu malah merasa senang dan aman tinggal di Panti Jompo Tresna Wredha Unit Abiyoso, karena kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dan merasa ada yang merawat,” pungkas Pak Nicasius sembari  mengakhiri percakapan kami.

BACA JUGA  Menelusuri Kata Jancok di Surabaya: Dari Mataram Kuno, Majapahit hingga Tank Jan Cox  liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version