Dari kawasan perbukitan yang sepi, Puncak Bibis kini menjadi destinasi wisata baru di Bantul, Yogyakarta. Lokasi itu nyaris ramai tiap hari oleh para pegowes karena panoramanya ciamik dan menjadi lokasi aneka kuliner. Dua spot yang jadi favorit adalah Warung Bubur Bu Yati dan Angkringan Puncak Bibis. Lewat racikan masakannya, dua perempuan berperan membuat kawasan itu menggeliat.
***
Pada suatu pagi sekitar 10 tahun silam, tiga orang pesepeda menjajal medan curam itu. Kala itu, kawasan itu hanyalah perbukitan yang dikelilingi hutan dan tegalan. Belum banyak pegowes yang memilihnya sebagai trek bersepeda.
Kawasan itu berada di ujung Jalan Bibis Raya yang berpangkal di Lapangan Kasihan di Ring Road Selatan dan menjulur 5 kilometer ke arah selatan. Di peta, lokasinya persis di punggung bukit Gua Selarong, tempat persembunyian Pangeran Diponegoro yang terkenal itu.
Bagi pegowes, trek tersebut memang mengasyikkan. Setelah melintasi jalur landai, tanjakan curam sejauh 300 meter akan menjadi tantangan terakhir untuk menguji daya tahan mereka. Namun tak semua biker sanggup menaklukkannya, termasuk satu dari tiga pegowes itu. Sesampai di Puncak Bibis, pegowes itu terkulai pingsan.
Woko, yang tengah momong putranya yang masih tujuh bulan, segera memboyog ke tempat pertolongan pertama: warung milik ibunya, Yati. “Saya kasih teh anget dan sarapan bubur,” kenang Yati saat menceritakan kejadian itu kepada Mojok.
Yati, kini 55 tahun, menganggap kejadian itu sebagai titik balik yang membuat warungnya dan Puncak Bibis menjadi ramai, terutama oleh para pesepeda. Yati bercerita membuka warung pada 2001 setelah ‘kenyang’ melakoni berbagai pekerjaan. “Dari mbabu, kerja di pabrik, sampai nderep di sawah, cari sisa-sisa panen padi,” ujar dia seraya terkekeh.
Yati putri seorang abdi dalem. Ayahnya, Soho Wiguno, dikenal sebagai perajin tatah sungging wayang kulit di kampung Gendeng, Bangunjiwo, yang menjadi sentra kerajinan wayang. Namun ia merasa tak sepiawai ayah dan sejumlah saudaranya yang menekui kerajinan itu. “Bapak itu dulu kesayangannya HB IX,” kata Yati menyebut raja Keraton Yogyakarta itu.
Sejak awal 1980-an, Yati bekerja di sejumlah pabrik, terutama tekstil, hingga sempat pula menjajal jadi tukang sayur di Pasar Niten. Pada 1988, ia menikah dengan Parjo Hartono yang multitalenta: tukang kayu, tukang batu, musisi karawitan, hingga MC Jawa alias pranatacara. Dari semua tabungannya, Yati memutuskan membuka warung. “Duit kalau dari keringet sendiri itu awet,” ujar perempuan dengan dua anak dan empat cucu ini.
Saat memulai usaha, warung Yati hanya berupa gubuk kecil. Pembelinya adalah warga sekitar, terutama untuk keluarga yang tak sempat membuat sarapan. Kala itu, selain warga desa, sudah ada dua perumahan tak jauh dari situ. Namun belum ada warung di Puncak Bibis. Jarak warung terdekat sekitar dua kilometer dan harus ‘turun gunung’.
Sejak awal buka hingga kini, menu warung itu sama. Ada bubur putih sebagai andalan, selain nasi dan aneka sayur, seperti sayur terik, krecek, rebung, juga oseng-oseng macam daun ketela dan jantung pisang. Lauknya aneka baceman dan gorengan. Mengancik siang, Yati menambah menu nasi rames dan soto.
Setelah menolong pesepeda yang pingsan itu, ternyata Warung Bubur Bu Yati beredar di internet. Sejak itu, warung itu mulai dikenal dan banyak rombongan pesepeda singgah di warungnya. Beberapa instansi, perusahaan, dan komunitas, termasuk paguyuban pensiunan, bahkan punya jadwal rutin bersepeda naik Puncak Bibis dan sarapan di warung Bu Yati.
Puncak keramaian terjadi tiap pagi di akhir pekan. Selain di bawah joglo buatan suami sendiri, goweser memadati pelataran rumah itu. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan eks rocker yang juga penceramah Islam, almarhum Hari Moekti, termasuk yang pernah gowes dan mampir di warung Bu Yati.
Seperti diakui warga sekitar dan biker yang pingsan tadi, menu special Bu Yati adalah bubur putihnya yang cocok dikombinasi dengan aneka sayur berkuah. Bubur Bu Yati disebut gurih dan tak gampang lembek sampai siang. “Enggak pakai resep-resepan. Pokoknya bikinnya sampai tanak,” kata dia.
Pembeli bisa prasmanan alias mengambil sendiri nasi atau bubur dan lauk di dapur Bu Yati. Dalam sehari, rata-rata Yati menghabiskan 5 kilogram beras untuk bubur dan 10 kilogram untuk nasi. Semua dimasak di atas tungku dan kayu bakar. Mojok yang menikmati kepala ayam, sayur rebung, plus teh hangat gula batu, Selasa (18/1) pagi itu, cukup membayar Rp13 ribu.
Covid-19 bahkan tak membuat warung itu sepi. Selain karena tren gowes justru melonjak kala pandemi, ia punya menu khusus yang membuat pesepeda justru mendatangi warungnya saat pagebluk. “Dari awal saya bikin minuman empon-empon dari wedang jahe, sereh, dan seruni. Pokoknya kalau ke sini dijamin sehat,” ujar Yati seraya tertawa.
Merapi di belakang rumah
Suasana di Puncak Bibis saat ini dengan 20 tahun silam saat Yati mulai membuka warung sudah jauh berbeda. Satu-dua tahun ini, Puncak Bibis diramaikan sejumlah tempat makan, seperti warung mie ayam dan soto, bahkan kafe kekinian yang mengandalkan spot foto dan bantal warna-warni.
Namun momen kedua yang membuat Puncak Bibis makin ramai setelah warung Bu Yati, adalah dibukanya Angkringan Puncak Bibis, empat tahun silam. Bukan seperti angkringan pada umumnya, yang menjual nasi kucing di satu gerobak, angkringan ini boleh disebut angkringan super karena menyajikan 25 menu masakan tiap hari.
Sama seperti warung Bu Yati, motor angkringan ini adalah seorang perempuan tangguh. Namanya Partinem (41), asal Imogiri, Bantul. “Bangun dari jam 2 pagi, saya belanja dan masak semua. Sekarang dibantu 15 orang dari kerabat sampai tetangga sekitar sini,” kata dia kepada Mojok.
Mbak Par, sapaannya, tinggal di Puncak Bibis setelah menikah dengan Mas Manto, warga setempat. Sebelum membuka warung, selama 10 tahun, Mbak Par bekerja di sebuah pabrik rokok di Bantul. “Kerjanya 10 jam sehari. Libur cuma sekali sebulan,” kata ibu tiga anak ini.
Padahal Mbak Par menderita penyakit penyempitan saraf otak yang membuat ia kerap pusing bahkan pingsan saat beban kerjanya berat. Sakit itu didapatnya kala ia SD ketika sebuah sepeda motor menabrak sepeda orang tuanya.
Partinem yang dibonceng di sisi depan sampai terpelanting. Meski sejak itu kerap pusing-pusing, Partinem baru memeriksakan diri saat dewasa. “Pernah THR dari pabrik habis cuma buat beli obat,” ucapnya.
Salah satu hiburan Mbak Par adalah panorama di sisi belakang rumahnya di Puncak Bibis. Dari lereng pekarangannya itu, selain Jalan Raya Bibis yang membelah hijaunya sawah, saat cuaca cerah Gunung Merapi akan tampak menjulang. Kalau beruntung lagi saat langit bersih, Gunung Merbabu juga bakal terlihat—persis gambar dua gunung yang kerap kita buat waktu bocah.
Pada suatu petang medio 2017, sejumlah anak muda mampir di belakang rumah Mbak Par untuk melihat pemandangan itu. Bukan cuma nonton, karena lapar mereka pun iseng minta dibuatkan makan dan minum. Melihat potensi itu, Par dan suaminya meneruskan usaha itu dengan membuka warung angkringan. “Dulu di sini ada kandang sapi. Jadi ancer-ancernya waktu itu angkringan kandang sapi,” kata dia.
Setelah usaha berjalan setahun, Partinem dan suaminya berhenti bekerja untuk fokus ke angkringan. Dari satu tempat dan pekarangan, tempat jualan itu makin luas menggunakan lahan milik keluarga. Sang suami yang tukang bangunan pun mendirikan sendiri joglo dan gazebo untuk tempat makan.
Sajiannya pun makin variatif hingga 25 jenis masakan rumah dan aneka jajanan. Nasi plus sayur dibanderol Rp8000, aneka lauk dari Rp6000-Rp8000, dan berbagai minuman di kisaran Rp3000. Nyaris tiap hari, terutama di jam-jam makan, apalagi di akhir pekan, Angkringan Puncak Bibis tak pernah sepi.
Saat ini, ia harus memasak 50 kilogram beras tiap hari. Jumlah itu berlipat saat akhir pekan. Dari sekian banyak menu, mangut lele dan oseng jengkol jadi favorit. Saban hari ia menyiapkan masing-masing 10 kilogram untuk lele dan jengkol. Menurutnya, sayur olahan jengkol tak gampang ditemui. “Tidak semua pasar jual jengkol. Kalau beli juga dibatasi,” kata dia.
Warung ini buka Selasa-Minggu dari jam 6 pagi sampai jam 9 malam dan tutup di hari Senin. “Kalau ke sini Senin pas tutup, saya arahkan ke sebelah,” kata Mbak Par sambil menunjuk sebuah resto persis di sebelah angkringan.
Menurutnya, tak masalah berbagi rezeki dengan warga sekitar. Saat ini, ia melibatkan 15 orang kerabat dan tetangganya, yang kebanyakan perempuan, untuk mengurus warung. Angkringan itu juga menerima titipan jajanan buatan warga sekitar untuk dijual.
Selama pandemi, Mbak Par sempat menutup warung paling lama satu bulan. “Covid ini malah jadi berkah. Tinggal menyiasati saja. Kalau rame, gerbang ditutup, tidak menerima tamu,” kata dia.
Meski kadang capek, Mbak Par tak lagi terikat jam kerja seperti waktu di pabrik rokok yang bisa membuatnya stres dan sakitnya datang. Ia bisa sewaktu-waktu istirahat dan mempercayakan urusan warung ke ‘teman-temannya’. “Ya pokoknya sekarang jadi lebih seneng,” kata Par soal hasil jualan ketimbang gaji dari pabriknya dulu sembari tertawa.
Reporter : Arif Hernawan
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Kisah Mufit Si Petani Muda, Tak Seindah Kampanye Sosial dan liputan menarik lainnya di Susul.