Sebagai kotamadya dengan pertumbuhan sangat tinggi, Kota Depok di Jawa Barat mengalami masalah yang dialami oleh para pendahulunya.
Besar, tumbuh, dan tambah pintar di dan oleh kota ini membuat saya menjadi saksi hidup bertambah tua, modern, dan “berbahaya”-nya kota ini. Ya, semua kota besar yang pertumbuhannya tidak dirancang dengan baik memiliki potensi untuk tumbuh secara chaotic. Tumbuhnya masif, tidak terstruktur, dan tidak sistematis.
Sebenarnya tidak ada yang benar-benar bisa disalahkan atas kacaunya pertumbuhan kota ini. Sebagai negara yang tidak bersifat sosialis, pemerintah tidak bisa serta-merta mengatur dan memiliki harta warga sebagaimana yang dulu dilakukan oleh Lenin di Soviet. Sebagai pemegang teguh demokrasi dengan slogan Paricara Dharma, perkembangan kota juga bebas dilakukan secara swadaya oleh warga. Sayangnya, warganya punya tingkat pendidikan, kepentingan, dan keuangan yang berbeda-beda sehingga tiap warga punya definisi dan tendensi sendiri dalam membangun.
Hal ini tentu berbeda dengan Serpong, Alam Sutra di bilangan Tangerang, Banten. Meminjam istilah SPBU Pertamina, pembangunan di sana dilakukan dari 0 sehingga tata kotanya sangat bagus. Hal ini terlihat dari jalan-jalan yang besar membentang, sistem pembuangan yang rapi, pohon-pohon yang bagus, dll. Belum lagi bahwa pembangunan di sini disponsori oleh pihak swasta. Terima kasih kepada keluarga besar Atut Chosiyah yang sangat jeli melihat peluang ini.
Satu contoh yang membuat saya sadar akan ke-chaos-an Kota Depok adalah ketika teman saya bertanya tentang berapa dalam selokan yang ada di depan rumah orang tua saya. Baru kemudian saya tersadar bahwa rumah orang tua saya tidak punya selokan. Ketika rumah itu dibangun, memang tidak ada rencana untuk membuat selokan. Kami sadar bahwa Tuhan Mahaarif untuk menciptakan tanah dengan tingkat retensi air yang tinggi sehingga air menyerap masuk ke tanah (pada saat itu), jadi tidak dibutuhkan selokan.
Hal ini tidak aneh di lingkungan kami karena kepemilikan terhadap petak tanah terbatas pada tanah yang akan dijadikan bangunan atau pekarangan, tidak untuk selokan. Pun jika kami berinisiatif untuk membangun selokan, akan menemui jalan buntu karena mentok dengan rumah orang lain yang juga tidak punya selokan. Jika terus dipaksakan, jadinya adalah kolam renang (baca: genangan).
Kalau kita bicara infrastruktur jalan, tidak banyak kebanggaan yang bisa diceritakan dari Depok. Secara kasat mata, pembangunan terkesan hanya terjadi di jalan utama, yaitu Jalan Margonda. Selaiknya kota yang dikelola pemuda labil, pembangunan di jalan utama ini menunjukkan ketidakkonsistenan yang berakibat buruk ke masyarakat: so hard, so cruel, so … so….
Bagaimana tidak, sempat dibangun dengan konsep jalan aspal, namun pada akhirnya dibeton untuk kemudian diaspal lagi. Kebijakan yang aneh. Belum lagi Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)-nya. Untuk satu ini tidak kalah aneh. Pembuatan JPO memakan waktu hampir dua tahun untuk tiga unit JPO. Sementara Jakarta dalam dua tahun sudah mampu membuat ribuan pilar fondasi jalan layang, LRT, dan MRT. Saya tekankan lagi: tiga unit, bukan puluh, ratus, apalagi ribu. Okelah, JPO dan pilar adalah dua benda yang berbeda, tapi kan ….
Sedikit ke dalam Kota Depok, akan makin terlihat bagaimana prasarana jalanan kota ini memang buruk. Salah satu kecamatan terbesar, Pancoran Mas, hanya memiliki satu akses jalan utama dari pusat kota ke daerah Sawangan. Makanya, pemandangan yang bisa dilihat di jalan ini utamanya saat akhir pekan adalah barisan parade kendaraan dan ingar bising klakson.
Tapi, apa kita bisa ujug-ujug menyalahkan pemerintahnya dalam kegagalannya menyiapkan infrastruktur yang kece?
Saya tidak bisa jawab karena tidak punya data. Namun, sejatinya hal ini juga terjadi karena kontribusi warganya. Sejalan dengan majunya kota dan beranak-pinaknya warga, kebutuhan kendaraan pribadi juga meningkat. Tingkat pembelian warga dan utilisasi kendaraan oleh warga ini sudah mencapai level yang mengagumkan.
Keluarga saya, misalnya, punya lima motor untuk lima orang laki-laki karena masing-masing mempunyai kegiatan berbeda. Untuk hal utilisasi kendaraan bermotor, di lingkungan RT saya, jamak warga pergi ke musala, yang jaraknya sepelemparan batu, menggunakan motor. Padahal, di Bekasi, motor hanya digunakan sore hari untuk mengelilingi kota berkilo-kilometer, dengan muka berbedak, tidak pake helm, bertiga lagi.
Sekarang ayo kita lihat dari sisi lain, sisi non-infrastruktur. Ada satu pendekatan unik yang dilakukan kota ini dalam membangun masyarakatnya. Kita warga Depok sudah sangat mafhum dengan pendekatan ini.
Jadi … Kota Depok berusaha membangun manusianya dengan memberikan motivasi dan tips-tips singkat yang dilayangkan dalam bentuk banner raksasa yang diletakkan di perempatan utama kota. Tapi, yang unik, motivator utamanya adalah orang nomor satu kota ini.
Jadi, tips singkat seperti “Ayo, matikan TV mulai jam 7—9 malam agar anak kita bisa belajar” atau “Mari kita makan dengan tangan kanan” disampaikan secara ilustratif oleh wali kotanya. Jangan salah, saya kadang setuju dengan pendekatan ini karena saya percaya semakin maju peradaban, semakin kita lupa pada hal-hal dasar. Walaupun kadang imbauannya terlalu dasar, kayak segitu lupanya orang Depok sampai harus diingatkan makan dengan tangan kanan.
Belakangan di banner raksasa itu sudah tidak ada gambar wali kota lagi. Kayaknya dia sudah capek di-bully sama warganya.
Masih banyak sebenarnya yang bisa diceritakan dari Kota Depok. Selain dikenal sebagai kota pelajar yang ditandakan dengan berdirinya kampus paling kece se-Indonesia, kota ini juga dikenal sangat religius.
Tapi wak-waunya, kota ini juga sempat tenar akibat Ryan dari Jombang yang memutilasi pasangannya di apartemen di tengah Kota Depok. Belum lagi Amarzoni yang menambah tingkat keterkenalan kota ini dengan pesta sabu di perumahan elite kota ini dan tertangkap. Hehehe~