Cuaca panas ekstrem yang terasa di berbagai penjuru Indonesia membawa derita bagi para tukang bangunan. Terik dan debu jadi kombinasi yang membuat mereka kudu bersimpuh minta kerokan badan di hadapan istri.
***
Sebagai wartawan lapangan, cuaca panas yang belakangan terasa di berbagai daerah di Jawa begitu menyiksa badan. Keringat mengucur deras saat liputan di luar ruang. Saat berkendara di siang hari, jalanan aspal memunculkan fatamorgana yang menunjukkan hawa yang begitu terik. Belum lagi, debu-debu beterbangan lantaran tanah lama tak terguyur hujan.
Belakangan, hujan yang biasanya mulai turun di bulan Oktober tak kunjung datang. Di beberapa daerah, BMKG mencatat suhu saat siang bisa tembus 35-38 derajat celcius. Termasuk di Jogja yang pernah mencatat suhu sampai 35 derajat celcius.
Bicara soal cuaca panas ini, sebenarnya pekerjaan yang saya lakoni tak seberapa menantang ketimbang beberapa profesi lain yang kodratnya memang menerjang panas dan hujan. Setiap melintas di berbagai sudut jalan, saya kerap melihat para tukang bangunan yang mengerjakan proyek tanpa peduli cuaca panas yang terbilang ekstrem.
Salah satu yang kerap saya jumpai yakni para tukang yang mengerjakan proyek renovasi Lapangan Klidon, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman. Letaknya tak jauh dari Kantor Mojok sehingga kerap saya lintasi.
Senin (23/10/2023) siang, saya mencoba menghampiri proyek yang sudah berjalan sejak awal bulan ini. Sekitar pukul dua belas, para tukang tidak terlihat di tanah lapang yang sudah dipenuhi tumpukan material. Mereka semua berteduh di sebuah bangunan kosong di sudut lapangan.
Begitu tiba di bangunan teras bangunan itu, tampak beberapa tukang tidur dengan lelap karena kelelahan. Syukur, saat masuk ke dalam masih ada beberapa lelaki yang masih terjaga sambil berbincang ringan.
“Panasnya nggak karuan. Kalau jam istirahat begini tidur semua Mas karena kecapekan,” kata Kelik (46), salah seorang tukang yang terjaga sambil memainkan ponselnya.
Panas luar biasa mending di rumah saja kalau nggak kepepet kerja
Kaki yang Kelik selonjorkan tampak penuh debu. Ketika menengok ke lapangan, areanya memang sangat gersang dan kering. Tanah-tanah lembut mudah melayang ketika tersapu angin.
“Panas tahun ini memang lain. Lebih dari tahun-tahun sebelumnya,” kata lelaki yang mengaku sudah sejak lulus SD jadi tukang bangunan ini.
“Kalau nggak kepaksa kerja ya mending di rumah saja cuaca panas begini,” imbuhnya terbahak. Mendengar celotehan Kelik, para tukang lain yang sedang rebahan pun ikut tertawa.
Menurut Kelik, Lapangan Klidon ini akan direnovasi menjadi lebih apik dengan penambahan jogging track. Proyek semacam ini memang sedang dilakukan di sejumlah titik lapangan Sleman.
Para tukang ini mendapat upah sekitar Rp100 ribu per hari. Bekerja dari jam delapan pagi sampai jam empat sore dengan istirahat satu jam di siang hari. Sementara itu kuli tenaga, bayarannya di bawah Rp100 ribu.
Cuaca panas memang membuat proyek berjalan lebih cepat. Namun, tenaga para tukang benar-benar terperas. Sedangkan jika hujan, kadang proses pembangunan kadang sedikit terhambat lantaran ada beberapa proses seperti pengecoran semen yang bisa terganggu.
Kemarau tahun ini memang sedikit lebih lama dari biasanya. Menurut Kelik, hujan sudah turun sebelum petani tembakau di Gantiwarno, Klaten selesai memanen. Namun, saat ini sampai semua tembakau sudah terpanen dari ladang hujan belum kunjung turun.
“Panas ekstrem itu ya kerasa sekitar tiga minggu terakhir ini. Ini teman-teman saya pada lemes semua kalau siang,” ujarnya bapak dua anak ini.
Panas ekstrem membuat tukang bangunan kerokan tiga kali seminggu
Padahal di akhir tahun proyek sedang banyak-banyaknya. Dinas-dinas sedang menghabiskan anggaran dengan realisasi berbagai pembangunan.
Miadi (42), tukang lain yang bekerja di proyek tersebut bahkan berujar kalau seminggu bisa minta kerokan dengan istri tiga kali. Cuaca panas ini membuatnya sering nggak enak badan sepulang kerja.
“Istriku sampai ngomel ini kenapa suaminya setiap pulang kerja lemes banget nggak ada tenaganya,” curhatnya sambil rebahan.
Belum lagi, debu yang harus ia hirup di proyek membuatnya tenggorokannya terasa tidak enak. Tenggorokannya jadi terasa seperti penuh dahak.
Andi Setyantoro (32), pekerja paling muda di antara yang lain juga mengeluhkan hal yang sama. Cuaca panas juga memengaruhi pekerjaannya mengoperasikan eskavator.
“Di dalam kaya umub (mendidih). Lha gimana wong nggak ada ac-nya. Pintunya kudu saya buka padahal ini sekarang panasnya kering banget nggak ada angin,” keluhnya.
Di tengah perbincangan, Kelik menyodorkan kresek berisi berbagai jenis obat-obatan. Menurutnya, ini obat yang biasa rekan-rekannya konsumsi ketika merasa nggak enak badan saat bekerja. Ada obat maag, paracetamol, dan beberapa jenis obat lainnya.
“Biasanya banyak yang pusing. Ini paracetamolnya saja sudah habis,” katanya sambil menunjukkan bungkus yang sudah kosong.
Siang ini, cuaca sedikit teduh seakan hendak turun hujan. Namun, para tukang ini seperti tidak berharap banyak karena dari kemarin sudah sering melihat fenomena serupa.
“Ya jadinya paling belum hujan juga,” kelakar Kelik.
Suaka bagi para pencari kerja
Seorang lelaki kemudian masuk dan mencari Kelik. Ia bertanya apakah bisa bergabung bekerja sebagai tukang di proyek ini.
“Nggih, monggo besok datang saja. Tapi tukangnya sudah banyak. Paling cuma tenaga angkut-angkut yang kurang,” ujar Kelik kepada lelaki itu.
Proyek-proyek semacam ini memang kerap didatangi orang-orang yang sedang mencari kerja harian. Kelik menyebutnya sebagai “tukang freelance”.
Ia mengaku, bekerja sebagai tukang membuatnya berinteraksi dan berkenalan dengan banyak orang. Salah satu hal menyenangkan yang ia rasakan di antara beratnya pekerjaan fisik di situasi cuaca panas ini.
Obrolan di antara para tukang memang beragam. Tiba-tiba mereka juga bicara soal politik. Ada yang mendukung Ganjar, Anies, dan Prabowo. Kelik tiba-tiba berseloroh soal manuver politik keluarga Jokowi yang menurutnya kurang elok.
“Ya keputusan MK kemarin itu. Katanya jadinya Prabowo sama Gibran ya?” tanyanya.
“Iya Pak, sudah fix itu semalam,” sahut saya.
Obrolan dengan para tukang ini seakan tidak ada habisnya. Namun, jam sudah hampir menunjukkan pukul satu siang. Mereka harus kembali berpanas-panasan di lapangan.
“Wah.. benar kan. Tadi itu teduhnya cuma pas istirahat. Kalau sudah kerja lagi panasnya kembali. Gusti Allah kayanya lagi menguji semangat hidup kami,” kelakar Kelik sambil melenggang pergi.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Jeritan Petani di Sedayu yang Anak-anaknya Nggak Mau Mengolah Sawah di Jogja
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News