Di Kecamatan Godong, Grobogan, ada kepercayaan orang yang meninggal di hari Selasa Kliwon maka tali pocongnya diincar oleh orang untuk tujuan tertentu. Salah satu cerita datang dari narasumber Mojok yang keluarganya meninggal di hari tersebut.
***
Selasa (8/2/2022), saya menerima kabar duka. Kabar lelayu ini datang dari keluarga salah satu rekan kerja. Tak pakai lama, saya dan suami langsung memutuskan untuk berkunjung ke rumah duka di Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Saya berangkat dari Kota Semarang sekitar pukul 19.00 WIB, kebetulan cuaca malam itu cerah, bulan sabit juga nampak menggelantung di langit. Jaraknya yang harus saya tempuh dari Kota Semarang menuju Godong sekitar 46 kilometer. Jarak ini bisa ditempuh sekitar dua setengah jam jika mengendarai sepeda motor.
Malam itu, Jalan Raya Semarang-Demak yang saya lalui cukup lengang. Jalan antar kota itu banyak melewati persawahan baik sisi kiri maupun kanannya. Sayangnya, lampu penerangan jalan sangat minim, alhasil kegelapan menemani perjalanan kami malam itu.
Tak terasa dua jam lebih kami berkendara, menembus kegelapan, melintasi persawahan, sesekali terdapat pemukiman penduduk. Saat itu kami hanya mengandalkan aplikasi peta digital. Perjalan diarahkan melalui Pasar Godong.
Lewat arahan peta digital, tibalah kami di sebuah gang kecil yang hanya bisa dilalui satu sepeda motor, lokasinya tak jauh dari Pasar Godong. Sebelum masuk lebih dalam ke gang tersebut, bendera kuning tergantung di salah satu sudut gang. Inilah rumah duka yang saya tuju.
Lebih masuk ke dalam, sejumlah karangan bunga bertuliskan ucapan duka berjajar rapi di tembok rumah. Tenda serta kursi tamu juga sudah terpasang di halaman depan rumah duka yang berwarna kuning, di beberapa bagian rumah tersebut dihiasi ornamen dari kayu jati.
Rumah tersebut merupakan rumah keluarga Indra (27), seorang rekan yang memberi kabar bahwa ibunya meninggal terkena serangan jantung pada Selasa (8/2/2022) pagi. Saya tiba di rumahnya tepat pukul 21.30 WIB. Sejumlah kerabat Indra masih bercengkrama di teras rumah duka.
Indra juga berbaur dengan para kerabat di teras depan rumah duka itu. Melihat saya dan suami datang, Indra langsung menyambut. Beberapa kerabatnya secara ramah juga mempersilakan saya duduk di teras tersebut.
“Duduk dulu ya, barusan saja selesai pengajian Yasin dan Tahlil,” ucap Indra.
Indra lantas bercerita, sebelum berpulang, sang ibunda sempat dirawat di salah satu rumah sakit di Kota Semarang. Namun, tak lama setelah operasi pemasangan ring jantung ibunya dikabarkan wafat.
“Semalam ibu saya habis operasi pemasangan ring jantung, Selasa pagi pihak rumah sakit memberi kabar ibu saya meninggal. Jenazah langsung dibawa pulang ke Grobogan dan siang tadi dimakamkan,” tutur Indra.
Di tengah perbincangan kami, seorang pria berperawakan jangkung, mengenakan baju batik dan berpeci hitam menghampiri saya. Pria yang sudah berusia sepuh itu mengajak saya berjabat tangan. Setelah itu, ia mengucapkan terimakasih karena sudah datang untuk melayat.
“Makasih yo nduk sudah datang melayat malam-malam, tolong ibunya Indra di doakan supaya tenang di alam sana,” ucapnya dengan nada ramah.
Wajah pria tersebut tampak lelah, namun ia tetap menghampiri para pelayat yang datang ke rumah duka dan menyambutnya secara ramah. Sesekali matanya nanar melihat sekeliling rumah, setelah itu ia menutup mata dan mengambil nafas panjang seperti sedang berdoa.
Selang berapa lama lamunan saya dipecahkan oleh suara Indra. “Itu tadi bapakku, sudah aku suruh istirahat buat tidur katanya nggak bisa tidur soalnya kepikiran sama makam ibuku,” kata Indra.
Tali pocong jadi incaran
Ucapan Indra barusan membuat saya penasaran. Indra mengatakan, ibunya meninggal pada hari Selasa Kliwon, pada kalender penanggalan Jawa. Bagi masyarakat Jawa yang masih memegang kepercayaan kejawen seperti ayah Indra, Selasa Kliwon adalah hari yang sakral.
Bahkan tak jarang di wilayah Indra tinggal, ada orang tak bertanggung jawab mengambil tali pocong pada jenazah yang baru saja meninggal pada Selasa Kliwon. Hal itu membuat masyarakat yang sanak keluarganya meninggal pada Selasa Kliwon merasa tak tenang, karena tali pocong pada jenazah yang dikebumikan jadi incaran.
Kabarnya orang-orang tak bertanggung jawab itu mengincar tali pocong untuk pesugihan, ilmu kebal, pelaris hingga segala sesuatu yang berbau mistis. “Kata bapak, orang yang meninggal Selasa Kliwon kain kafan hingga tali pocongnya jadi incaran orang-orang tidak bertanggung jawab. Makanya beliau kepikiran makam ibuku,” ungkap Indra.
Indra menceritakan, cara pengambilan tali pocong milik jenazah juga cukup mencengangkan, yakni dengan cara menggali makam menggunakan tangan kosong, tanpa cangkul atau alat bantu lainnya. Lalu melepas tali pocong tersebut menggunakan gigi.
“Nah, ngambilnya itu lewat jam 12 malam,” kata Indra.
Lebih lanjut, Indra menjelaskan jika ada orang yang meninggal pada malam Selasa Kliwon di desanya, keluarga akan menjaga makam setiap malam sampai hari ke-40. “Kepercayaan orang sini seperti itu, dan masih dijalankan, jadi setiap ada orang yang meninggal pada Selasa Kliwon, keluarga selalu berjaga di makam setiap malam,” imbuhnya.
Benar atau tidaknya peristiwa itu membuat saya penasaran. Namun, pertanyaan saya langsung dijawab oleh Indra lewat pengamalan dari keluarganya yang lain. Ia bercerita makam sepupunya yang meninggal pada Selasa Kliwon dulu juga dijaga. Kejadiannya tahun 2020. Sepupunya meninggal karena kecelakaan.
Kala itu, sepupu Indra masih berusia 20 tahun, meninggal lantaran kecelakaan saat olahraga ekstrim yaitu downhill. “Dulu adik sepupu saya juga meninggal Selasa Kliwon, dan kebetulan dia masih perjaka. Makamnya dijaga bergantian setiap malam sama saudara-saudara yang laki-laki selama 40 hari, termasuk bapak saya,” tutur Indra.
Indra menceritakan, sanak keluarga biasanya mulai berjaga di makam mulai pukul 23.00 WIB hingga menjelang subuh. Selama berjaga di makam, mereka tidak diizinkan untuk tertidur. “Bisa dua sampai tiga orang yang jaga itu juga tidak boleh tidur, biasanya bisa disambi tahlil di makam kalau yang Muslim,” terangnya.
Indra juga mengaku saat sepupunya meninggal, ia diminta untuk ikut menjaga makam sepupunya. Namun, lantaran terpisah jarak dan beberapa hal ia tak bisa ikut menjaga makam. “Kebetulan waktu itu saya sedang penelitian untuk skripsi di lereng Gunung Ungaran Kabupaten Kendal dan tidak bisa pulang ke Godong makanya nggak bisa ikut jaga makam,” ucap Indra.
Malam itu, Indra menuturkan mengenai rencana keluarga untuk menjaga makam almarhum ibunya. Menurut sang bapak, tradisi menjaga makam orang yang meninggal pada Selasa Kliwon selama 40 hari masih bisa disiasati.
“Tadi sudah rembukan sama keluarga besar, katanya tidak perlu menjaga di makam sampai malam ke-40 tapi ada syarat penggantinya,” katanya.
Indra menjelaskan, keluarga intinya telah sepakat melaksanakan syarat pengganti yaitu tidur dilantai, dengan beralaskan tikar selama 7 hari. Tak hanya sekedar tidur beralaskan tikar di lantai, untuk menggantikan prosesi menjaga makam, selama tujuh hari pihak keluarga diminta untuk tidur diatas jam 12 malam.
“Bapak tadi bilang mulai malam ini sampai tujuh hari kedepan saya sekeluarga harus tidur di lantai pakai tikar sebagai bentuk tirakat,” jelas Indra.
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 22.30 WIB. Usai mendengar cerita dari Indra mengenai almarhum sepupu dan almarhum ibunya yang meninggal pada Selasa Kliwon, jujur, saya merinding dan takut.
Tak lama kemudian, saya bergegas pamit untuk pulang ke Kota Semarang. Sialnya, sepanjang perjalan pulang saya harus melewati daerah Purwodadi dan Demak yang didominasi area persawahan, tanpa pencahayaan yang cukup, dan jauh dari pemukiman.
Mau tidak mau saya dan suami tetap menyusuri kegelapan tersebut dan kita sampai di Kota Semarang sekitar pukul 02.00 WIB. Sesampainya di rumah, entah kenapa saya masih terngiang-ngiang soal cerita mistis kematian di hari Selasa Kliwon yang yang diceritakan oleh Indra.
Reporter: Aninda Putri Kartika
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Kisah Mistis Watu Manten di JJLS Gunungkidul dan liputan menarik lainnya di Susul.