Kalau ke arah barat (Semarang), bus pantura Surabaya-Semarang seperti grup Jaya Utama Indo atau Sinar Mandiri sering kali berhenti lama di Terminal Kembang Joyo, Pati, Jawa Tengah.
Banyak penumpang dari arah timur (Surabaya, Tuban, Rembang) yang turun di terminal ini, sekaligus banyak pula yang akan naik. Alhasil, durasi ngetemnya pun akan cukup lama.
Saya akhirnya memahami pola tersebut setelah setahun terakhir riwa-riwi Rembang-Jogja. Dari Rembang, saya memang harus ngebus ke arah Semarang terlebih dulu. Setelah turun di Semarang, baru kemudian pindah bus lain untuk tujuan Jogja.
Setahun terakhir itu pula, saya bersinggungan dengan banyak cerita. Terutama di Terminal Pati dan Jalan Baru Genuk Indah-Terminal Terboyo Semarang.
Bedanya, Terminal Terboyo Semarang memberi kesan menjengkelkan. Sementara Terminal Pati menyuguhkan situasi-situasi yang “mengusik” hati.
Berebut rezeki di tengah panas terik Terminal Pati
Ketika deru bus terdengar memasuki kawasan terminal. Disusul bus penuh sesak penumpang yang hendak parkir untuk ngetem, sejumlah orang di Terminal Pati langsung berlari berhamburan. Mereka adalah orang-orang yang saling berebut rezeki.
Seiring dengan turunnya banyak penumpang, sejumlah bapak-bapak akan sigap bergerak. Mengejar langkah para penumpang untuk menawarkan jasa mereka: ojek pengkolan.
Upaya tersebut berulang-ulang mereka lakukan setiap bus memasuki terminal. Meski sering kali berujung hampa: tidak satu pun penumpang menghendaki menggunakan jasa mereka.
Situasi di dalam bus pun tak kalah riuh dari kondisi di luar. Sejumlah pedagang asongan hilir mudik di antara bangku-bangku penumpang. Menjajakan dagangan masing-masing.
“Tahu, lumpia, kacang. Monggo.”
“Aqua, Sprit, Teh Pucuk dingin. Monggo minumnya.” Kalimat ini paling sering gayung bersambut.
Kala bus berhenti, suasana di dalamnya menjadi pengap. Apalagi bagi yang duduk di deretan kanan: langsung terpapar terik matahari yang menembus kaca. Panas menyengat, keringat merembes di sekujur badan, tenggorkan pun terasa kering.
Bulir-bulir air—penanda dingin—yang tampak dari botol-botol minuman yang dijajakan oleh para pedagang tentu saja sangat menggoda. Saya menjadi satu dari sekian penumpang yang selalu menyambut para pedagang minuman itu untuk membasuh dahaga.
“Perempuan-perempuan jalanan”
Suara riuh pedagang asongan di dalam bus bakal beradu dengan lengking suara para pengamen perempuan.
Sepanjang setahun terakhir ini, hanya hitungan jari saya mendapati pengamen laki-laki. Selebihnya adalah para pengamen perempuan di kisaran usia 30-40 tahun.
Ada yang mengamen dengan cara berpasangan: sepasang perempuan berbagi tugas, satu menggendong sound system, satunya lagi bagian menyanyi.
Saya paling sering menjumpai seorang ibu-ibu yang mengamen bersama anak perempuannya. Mereka sering membawakan lagu “Tiara” dan beberapa judul lagu Denny Caknan.
Entah bagaimana para pengamen itu bersikap legawa satu sama lain. Dalam pengamatan saya sepanjang 2024, jelas saja pengamen pertama lah yang bakal dapat recehan banyak.
Sementara urutan berikutnya biasanya hanya sisa-sisa. Masih ada satu-dua penumpang yang ngasih recehan sudah syukur betul.
Keos di Terminal Pati (1)
Keadaan keos tak luput dari terminal seingar-bingar Terminal Pati. Ada dua momen keos yang masih melekat di ingatan saya.
Momen pertama pada Desember 2024 lalu. Saat itu, bus Jaya Utama yang saya tumpangi tiba-tiba mengalami kendala teknis.
Alhasil, mau tak mau bus tersebut tidak bisa lanjut mengantar penumpang hingga ke Semarang. Para penumpang pun diturunkan di Terminal Pati untuk menunggu operan ke bus lain.
Sebenarnya kejadian semacam itu bukan perkara baru dalam perjalanan bus AKAP. Saya terlampau sering mengalaminya: baik di jalur pantura maupun di jalur selatan (Jogja-Surabaya).
Dan memang tidak ada yang perlu dirisaukan. Sebab, kondektur bus yang mogok pasti akan mencarikan operan ke bus lain. Itu pun sudah tidak perlu membayar lagi. Cukup menyerahkan bukti karcis operan saja.
Relatif hanya satu hal yang agak bikin risau: yakni kalau kursi di bus lain sudah penuh alias tidak dapat tempat duduk. Berdiri jarak Pati-Kudus saja sudah remuk, apalagi jika harus berdiri sampai Semarang.
Nah, pada momen di Desember 2024 itu, ada tiga orang penumpang yang memaki-maki kondektur bus yang mogok di Terminal Pati. Mereka menuntut uang kembali. Si kondektur tampak tetap kalem. Dia menjelaskan bahwa uang tidak bisa kembali karena bakal dikonversi menjadi karcis operan.
Sialnya, tiga orang itu malah makin nyolot. Si kondektur pun langsung pasang wajah garang dengan tangan kanan terkepal.
“Aku ini sudah 30 tahun di jalan. Jalanan nggak bisa diatur semaunya mbahmu!” Bentak si kondektur, disusul gertakan-gertakan lain yang lebih kasar.
Keriuhan itu mengundang sejumlah orang dari arah warung kopi. Orang-orang itu, atas nama solidaritas orang jalanan, jelas saja di pihak si kondektur.
Dikerumuni orang segitu banyak dengan mode siap baku pukul, tiga orang penumpang yang sebelumnya nyolot pun kicep. Meski sudah minta maaf, tapi nyaris saja mereka dihajar massa. Untung si kondektur berbaik hati. Meredakan emosi orang-orang di pihaknya.
Keos di Terminal Pati (2)
Suasana keos yang lain saya jumpai pada Januari 2025. Seperti biasa, saat bus berhenti di Terminal Pati, banyak orang yang langsung berebut mengais rezeki. Salah satunya adalah seorang pengamen, kali itu laki-laki.
Dengan kentrung seadanya, baju lusuh, dan keringat bercucuran, pengamen itu dengan santun memohon diri kepada para penumpang untuk mengamen. Kentrung dipetik, lagu pun dilantunkan.
Tak berselanag lama, seorang ibu-ibu agak gendut masuk ke dalam bus dari arah belakang si pengamen, lantas berjalan menuju kursi kosong. Si pengamen sebenarnya sudah memiringkan badannya, bahkan memepetkan badannya ke kursi agar ibu-ibu penumpang itu bisa lewat.
“Kamu ini ngapain, sih? Nyenggol, nyenggol, kotor lagi.” Tiba-tiba si ibu-ibu penumpang itu sewot dan membentak si pengamen dengan sorot mata tajam.
Si pengamen langsung menghentikan petikan kentrungnya. Tak kalah tajam dia menatap balik si ibu-ibu penumpang.
“Namanya di bus ya begini, Buk! Kalau nggak mau desak-desakan, nggak usah naik bus. Busnya mbahmu apa?” Ujar si pengamen. Si ibu-ibu penumpang tadi hanya diam tanpa kata. Sementara si pengamen tak henti-henti mendampratnya, sebelum akhirnya bus melanjutkan perjalanan.
Kakek tua penjual buku yang “mengusik” hati
Ini adalah sisi Terminal Pati paling “mengusik” hati saya. Hampir setiap persinggahan saya di Terminal Pati, pasti bertemu dengan seorang kakek tua penjual buku.
Aneka macam buku dia jual: kisah nabi, kisah Wali Sanga, kumpulan doa, tuntunan salat, buku mewarnai, hingga buku resep makanan. Buku-buku itu ditata dalam kardus yang si kakek pangkul sambil terbungkuk-bungkuk.
Kakek itu berjualan dengan diam. Dia berjalan dari kursi ke kursi sambil menyodorkan bukunya ke penumpang. Buku-buku semacam itu, di zaman seperti sekarang, jelas saja tidak ada yang meminati.
Setelah tidak ada satu pun yang membeli, si kakek akan turun dari bus, duduk di bawah terik matahari dengan wajah yang benar-benar membuat tak tega.
Sekali waktu saya sempat membelinya. Buku kumpulan doa. Bukan karena saya butuh, tapi karena saya iba. Persetan jika ada orang bilang, “Rasa iba adalah kesombongan karena merasa lebih mampu dari orang lain.”
Ah, kalimat puitis itu rasa-rasanya hanya jadi penghalang seseorang untuk berbagi. Saya hanya ingin berbagi. Itu saja. Urusan Tuhan menganggap saya sombong, terserah Tuhan saja.
Toh kala menerima uang sebesar Rp15 ribu sebagai penebus buku kumpulan doa yang saya beli, wajah kakek itu tampak sumringah. Jalannya yang terbungkuk-bungkuk jadi lebih bergairah. Jika harga dari memberi senyum sumringah itu adalah dianggap sombong, saya sungguh tidak masalah.
Masalahnya, saya tentu saja tidak bisa selalu membeli buku si kakek tua itu tiap bertemu di Terminal Pati. Sementara sering kali saya mendapatinya turun bus dengan tangan hampa, lantaran tidak ada satu pun yang membeli dagangannya.
Jika sudah begitu, saya hanya bisa menahan tangis dan sesak di hati. Dan mungkin si kakek juga menahan tangis dan sesak yang sama. Entahlah.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Sukolilo Pati yang Dicap Kampung Maling dan Kriminal Kini Jadi Desa Wisata, Apa yang Ditawarkan? atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
