Pertama Kali Coba Tahu Gimbal Khas Semarang, Dibuat Bingung dan Khawatir karena Pedagangnya yang Suka Iri-irian

ilustrasi - Sejumlah lapak di kawasan Taman Indonesia Kaya, Semarang. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Warga Semarang tentu tak asing dengan kuliner khas bernama Tahu Gimbal. Tak cukup sulit menemukan masakan yang kaya rasa akan petis udang tersebut. Salah satunya bisa ditemui di kawasan Taman Indonesia Kaya, Jalan Pandanaran. 

Namun, kebingungan melanda saya saat hendak memilih lapak yang berjejer-jejer dengan pilihan menu Tahu Gimbal yang sama. Sebagai warga Surabaya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Kota Semarang, jujur saya kebingungan. 

Tak cukup menelisik isi dari Tahu Gimbalnya saja, tapi saya harus terseret dengan persaingan antar pedagangnya kalau mau mendapatkan rasa yang asli. Mohon maklum, sebab saya termasuk orang yang sering kali zonk saat memilih kuliner. 

Misalnya, saat bertandang ke sebuah restoran di Kudus. Ketika teman-teman saya memesan menu tradisional dengan rasa rempah yang kuat, saya justru memilih seafood dengan rasa yang kureng alias hambar. Belum lagi, harganya yang tak sepadan.

Lidah Jawa Timur saya ini memang terbiasa mencicipi masakan yang tidak terlalu manis, gurih dan asin, serta sedikit pedas. Di Semarang pun, saya malah memesan kerang dara goreng yang rasanya benar-benar B aja. Oleh karena itu, saya tidak ingin menyesal saat mencoba Tahu Gimbal.

Lapak Tahu Gimbal di Semarang yang berjejer

Mulanya saya pikir, Tahu Gimbal khas Semarang bakal tak jauh berbeda dengan tahu tek yang ada di Surabaya. Ada tahu goreng, lontong, dan telur yang dilumuri bumbu kacang bercampur petis. Hanya saja, menu Tahu Gimbal lebih kompleks karena berisi “gimbal” atau gorengan tepung yang dicampur udang.

Tahu Gimbal. MOJOK.CO
Tahu gimbal khas Semarang. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Masakan khas Semarang itu bisa dijumpai di sepanjang jalan, baik di ruko maupun lapak. Kebetulan, saat saya bersama karyawan Mojok lain bermain ke Taman Indonesia Kaya, kami menemukan lapak Tahu Gimbal.

Cuaca Semarang yang semakin panas saat siang membuat perut kami keroncongan. Kami pun memutuskan untuk makan Tahu Gimbal sembari niup di lapak. Masalahnya, langkah saya tiba-tiba terhenti saat hendak menyebrang jalan dari Taman Indonesia Kaya ke lapak tersebut.

Bukan hanya karena pengendara motor maupun mobil yang mengebut, tapi kebingungan saat melihat banner-banner lapak. Lebih dari delapan lapak menggunakan nama ‘Pak Edy’, ‘Pak Edi’, ‘Haji Edy’.

Misteri nama pemilik, ternyata bukan satu kongsi

Mulanya, saya mengira tahu gimbal dijual oleh orang yang sama atau satu pemilik di Taman Indonesia Kaya, Jalan Pandanaran. Namun, setelah saya amati lebih jauh ternyata pemiliknya berbeda. Seperti yang saya sebutkan tadi, ada Edy pakai “y” dan ada yang pakai “i”. Ada juga yang pakai haji. 

Baca Halaman Selanjutnya

Akhirnya melihat lapak satu-persatu

 “Kita lihat lapaknya satu-satu dari ujung aja yuk!” ajak kru Mojok yang menemani saya, Jumat siang (26/9/2025).

Untungnya, dari pengamatan kami, beberapa lapak sedang istirahat karena bertepatan dengan pelaksanaan salat Jumat. Dengan begitu, pilihan lapak kami jadi terkurasi dengan sendirinya dan hanya menyisakan sejumlah ibu-ibu yang memasak.

“Pilih yang itu aja yuk, yang ibunya lagi masak kerupuk udang,” kata teman saya.

Penghargaan Tahu Gimbal Haji Edy oleh Suara Merdeka Semarang. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Saya pun manut-manut saja menuju lapak Haji Edy yang berada di tengah. Ketika memesan dan menunggu hidangan Tahu Gimbal tiba, saya tidak sengaja melihat sertifikat penghargaan kepada Tahu Gimbal Haji Edy sebagai kuliner legendaris. Dari sana saya jadi lega. Minimal, rasanya tak menipu dengan harga Rp30 ribu satu porsi.

Ndilalah, setelah saya perhatikan lagi banner di tiap lapak, terpampang foto wajah yang berbeda dengan bukti sertifikat masing-masing. Lalu mengklaim dagangan mereka dengan kata “Asli”. Artinya, Tahu Gimbal Haji Edy yang makan saya tadi belum tentu asli hanya karena sertifikat yang ia peroleh, sebab yang lain juga punya sertifikat.

“Asem tenan, terus sing endi iki sing asli?” (asam sekali, terus yang mana ini yang asli?), batin saya saat itu.

Lapak Haji Edy legendaris sejak tahun 1972

Di dalam mobil ojek online yang kami pesan, saya masih ngedumel, penasaran dengan keanehan lapak berderet tadi. Saya pun iseng bertanya keaslian pemilik Tahu Gimbal yang ada di kawasan Taman Indonesia Kaya ke sopir ojek online.

“Oh di sana itu yang asli memang Haji Edy, saya bahkan njamani waktu bapaknya jualan masih pakai gerobak. Kalau nggak salah pas saya SMA, sekitar tahun 1986,” kata sopir ojek online yang merupakan warga asli Semarang.

Lapak berjejer Tahu Gimbal Pak Edy di Taman Indonesia Kaya, Semarang. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Saya pun mengonfirmasi hal itu kepada Donna (40), anak dari Haji Edy yang kini melanjutkan bisnis ayahnya. Donna bercerita jika Haji Edy sudah berjualan sejak tahun 1972. Mulanya, ia berjualan di sekitar Gor Pancasila yang saat ini berubah menjadi Ciputra.

Namun, karena kawasan tersebut beberapa kali mengalami relokasi, Edy akhirnya mendapat lapak di seberang Taman Indonesia Kaya sekitar tahun 1980-an. Di tempat itulah kemudian pedagang-pedagang lain mulai menggunakan nama yang mirip.

“Itu dulu yang jual pakai nama sendiri-sendiri. Barulah di tahun 2018 (pakai nama mirip) karena berjajar-jajar gini to, pelanggan pada datang. Karena ramai, jadi kecemburuan sosial,” ujar Donna saat dikonfirmasi Mojok lewat WhatsApp, Sabtu (27/9/2025).

Donna tak menampik jika hal tersebut justru membuat pelanggan bingung. Dia pun pernah menegur pedagang lain, tapi tak digubris. Meski begitu, Donna mengaku tak terlalu khawatir karena ia sudah punya pelanggan tetap dan branding rasa yang terpecaya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

Baca Juga: Orang Plat K Harus Hadapi Banyak Derita kalau Merantau di Semarang, Benar-benar Penuh Drama atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version