Kehadiran mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebangsaan tidak selalu membuat warga kampung senang, walaupun bersamaan dengan visinya dalam membawa banyak program untuk memajukan ke wilayah daerah terluar, terdepan dan tertinggal (3T). Nyatanya, program yang diharapkan baik dari mahasiswa, kampus, bahkan pemerintah ini tak selalu memberikan dampak positif.
***
Sejatinya, KKN bertujuan memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa, sekaligus memberikan kontribusi positif dalam pembangunan masyarakat. Setiap kampus memiliki sistem penerapan KKN yang berbeda.
Misalnya, ada KKN Reguler semester, KKN Tematik, KKN Penyetaraan, hingga KKN Kebangsaan. KKN Kebangsaan digagas langsung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai program Merdeka Belajar.
Melansir dari Pedoman KKN Kebangsaan 2022, salah satu tujuan kegiatan ini dibuat adalah mendorong dan memacu kegiatan pembangunan nasional dengan menumbuhkan motivasi masyarakat di daerah. Mahasiswa dituntut aktif memberdayakan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan nasional.
Secara teknis, mahasiswa anggota KKN Kebangsaan berasal dari kampus yang berbeda, tapi akan ada satu kampus yang menjadi tuan rumah. Lokasi tersebut juga menentukan visi pembangunan nasional.
Misalnya, Di tahun 2022, Kemendikbudristek memilih Universitas Palangka Raya (UPR) di Kalimantan Tengah. Sesuai dengan tema mereka yakni “Penerapan Falsafah Huma Betang sebagai Perwujudan NKRI untuk Mendukung Pengembangan Lumbung Pangan (Food Estate) Menuju Kemandirian Nasional”.
Secara garis besar, pemerintah ingin mahasiswa turut berkontribusi dalam mengembangkan lumbung pangan nasional agar bangsa kita lebih mandiri. Fokus pembangunan itu ada di empat wilayah Kalimantan dengan menyulap rawa-rawa menjadi lahan pertanian.
Sayangnya, apa yang saya alami dan teman-teman saat itu sebagai mahasiswa KKN Kebangsaan tak terlalu banyak merealisasikan visi tersebut.
KKN Kebangsaan bukan sekadar kegiatan jalan-jalan
Tanpa menyadari beban visi yang kami bawa sebagai mahasiswa KKN Kebangsaan, saya sendiri malah kegirangan saat menjadi salah satu peserta terpilih dari Universitas Airlangga (Unair).
Sama seperti pandangan mahasiswa kebanyakan, KKN dianggap sebagai kegiatan jalan-jalan yang mengasyikkan. Alih-alih sedih karena akan ditempatkan ke pelosok, saya sendiri malah riang gembira karena bisa menambah pengalaman baru di Kalimantan Tengah.
Apalagi saat itu, waktu saya sebagai mahasiswa Unair lebih banyak dihabiskan untuk kuliah online karena pandemi Covid-19. Bagi saya yang orang Surabaya, pergi ke Kalimantan Tengah tanpa menghabiskan banyak budget dengan membawa visi besar adalah suatu privilege.
“Aku ikut KKN Kebangsaan pastinya biar dapat pengalaman. Sekalian bisa jalan-jalan ke luar pulau,” ujar Angel, mahasiswa asal Semarang yang satu tim dengan saya.
Baca Halaman Selanjutnya
KKN bukan gagah-gagahan jurusan
Ragam jurusan yang membingungkan
Sebetulnya, visi pembangunan nasional dari KKN Kebangsaan tak banyak mengubah sistem KKN pada umumnya. Hanya saja, kami tergabung dari kampus yang berbeda. Jurusannya pun makin beragam.
Idealnya, program yang diharapkan juga lebih beragam dengan jurusan yang lebih variatif. Tapi, ibarat pedang bermata dua, jurusan yang bervariatif itu justru menjadi boomerang bagi kami. Dengan banyak kepala dan ide yang bermunculan, kami harus menyatukan program-program sesuai visi food estate milik pemerintah.
Bayangkan, kelompok saya saat itu terdiri dari mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu Kristen, Ilmu Komunikasi, Pendidikan Matematika, Teknik Industri, Biologi, Kimia, sampai Fisika murni.
Sekilas, jurusan-jurusan tersebut lebih banyak berasal dari rumpun ilmu Sains dan tak berhubungan langsung dengan food estate.
Kami ditempatkan di Desa Maliku Baru, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Di satu desa itu saja, kami sudah menjumpai banyak persoalan. Boro-boro membahas soal food estate, kami harus menyelesaikan masalah yang lebih urgent.
“Kakak-kakak bisa mengajar di sekolah SD dekat sini kah?” pinta Kepala Desa Maliku Baru saat itu. Tentu saja kami tak menolak, walaupun sebenarnya program mengajar ini jauh berhubungan langsung dengan misi food estate.
Masalahnya, di Maluku Baru terdapat dua sekolah yang jaraknya berdekatan. Jadi, kami harus membagi dua tim untuk mengajar saat pagi. Selain sekolah, kami juga diminta untuk membantu kegiatan program stunting di puskesmas atau menangani masalah air keruh yang tak bisa dikonsumsi.
Gagal mewujudkan visi Kebangsaan KKN
Alhasil, dengan banyaknya program itu kami jadi sedikit lupa dengan misi utama membantu program food estate. Di akhir bulan, kami baru kebut-kebutan mengejar target. Salah satunya dengan melakukan sosialisasi dan pelatihan membuat media tanam hidroponik, serta pupuk organik.
Program ini bisa dikatakan agak aneh, karena biasanya tanaman hidroponik dipakai di kota-kota besar yang kekurangan lahan. Namun, Rosjetti, salah satu anggota tim andalan kami berujar hidroponik adalah satu-satunya jalan yang bisa ia upayakan agar program dari kelompok kami sejalan dengan visi KKN Kebangsaan.
“Masalahnya, di Maliku Baru ini tanahnya kebanyakan gambut. Tidak bisa dipakai sebagai lahan tani,” ujar mahasiswa yang berkutat di Fakultas Pertanian tersebut.
Belum lagi persoalan sumber daya manusianya yang mayoritas bukan petani. Kebanyakan dari mereka justru merantau ke kota besar dan bekerja sebagai buruh. Kadang-kadang, suami mereka jarang pulang dan hanya mengirimkan uang untuk keluarga mereka di desa.
Karena gatal tak bisa menyelesaikan masalah tersebut, kelompok kami juga sempat memberikan sosialisasi soal UMKM dan pemasaran. Jujur saja, banyaknya program yang sebetulnya tak menjurus langsung pada visi pembangunan food estate, membuat energi kami habis selama sebulan penuh. Pun juga warga yang tak merasa terselesaikan masalahnya dengan program food estate.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Panduan Bikin Proker KKN yang Diharapkan Warga Desa, Nggak Perlu Muluk-Muluk Entaskan Kemiskinan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
