Jika kamu ingin mencoba kuliner atau makanan tradisional khas Jogja, pergilah ke Pasar Ngasem. Pasar yang terletak di kawasan Taman Sari itu dulunya memang terkenal sebagai pasar burung, tapi sejak 2010 sudah beralih fungsi menjadi pasar kuliner sekaligus pasar seni. Di sana, kamu bisa mencoba sate koyor, apem, serabi, dan sebagainya.
Kuliner yang dijual di sana terkenal legendaris dan autentik karena masih menggunakan cara tradisional. Misalnya, serabi atau apem beras yang langsung dimasak di atas tungku. Selain serabi atau jajanan pasar, saya tertarik dengan sate koyor.
Hampir satu tahun tinggal di Jogja, saya baru kali ini mencicipi kuliner yang terbuat dari gajih atau lemak sapi tersebut. Mumpung di Pasar Ngasem pada Sabtu (2/8/2025) bersama teman saya yang berasal dari Surabaya, Nyimas. Namun,
Antrean panjang di Pasar Ngasem
Saya dan Nyimas hendak jalan-jalan dua hari mengitari Jogja. Pasar Ngasem adalah salah satu tempat tujuan kami untuk membeli sarapan. Sebelum berangkat, Nyimas sudah jauh-jauh hari mencari informasi di internet soal jadwal buka pasar tersebut.
“Kita harus berangkat pagi-pagi sekali. Takut kehabisan,” ucap Nyimas kepada saya, Sabtu (26/8/2025).
Saya pun hanya manggut-manggut menurutinya. Masuk akal, pikir saya saat itu karena namanya pasar pasti sudah buka pagi sekali. Kami pun berangkat sekitar pukul 07.45 WIB. Waktu yang terbilang kesiangan jika ingin sarapan di Pasar Ngasem. Belum lagi, jarak kos saya dengan Pasar Ngasem harus ditempuh sekitar 35 menit.
Dan benar saja, saat kami tiba di Pasar Ngasem pukul 08.30 WIB, pengunjung sudah memadati pasar tersebut. Bahkan untuk sekadar memotret patung Craki yang menjadi ikonik pasar tersebut saja, kami sudah tak sanggup karena saking banyaknya orang yang berlalu lalang.

Untuk mengeksplor kuliner yang dijual, kami hanya bisa mengandalkan banner-banner yang sudah tampak dari atas. Maklum, karena kami berdua bertubuh kecil. Tak sanggup menyibak lautan manusia yang juga antre di depan-depan lapak.
Untungnya, masih ada lapak yang baru buka yakni serabi dan apem. Alhasil, kami langsung ikut mengantre dan mendapat nomor dua. Itu pun kami masih harus menunggu sampai serabinya jadi. 5 menit berlalu, tapi serabi kami belum jadi, maka kami memutuskan untuk mengeksplor area Pasar Ngasem kembali.
Baca Halaman Selanjutnya
Keburu kesal karena antrean panjang sate koyor
Keburu kesal karena antrean panjang sate koyor
Jika di hari pertama kami hanya membeli serabi dan empal gentong, di hari kedua kami baru membeli sate koyor. Beberapa menit sebelum pergi ke Pasar Ngasem, kami mampir ke rumah bude Nyimas yang merupakan asli orang Jogja.
Di rumah bude Nyimas tadi, beliau sempat merekomendasikan kuliner di Pasar Ngasem. Katanya, ada sate koyor yang nikmati disantap untuk sarapan. Saya pun jadi tertarik karena penasaran dengan rasanya.
Namun, lagi-lagi kesalahan kami adalah datang terlalu siang. Untuk mengambil nomor antrean saja, saya harus menunggu sekitar 15 menit. Sementara, Nyimas dari awal sudah memilih empal gentong. Kuliner yang saya makan di hari pertama. Kuahnya mirip gule ditambah daging berupa usus, babat, dan daging sapi. Harganya cuman Rp10 ribu untuk satu porsi berisi 3 tusuk.
Ketika Nyimas sudah menyelesaikan seporsi empal gentongnya, saya masih menunggu antrean dari nomor urut 47 ke 80. Bahkan pergantian dari nomor 47 ke 50 saja, lamanya bukan main. Maka jadilah kami mengantre selama 2 jam.
Rupanya, tak hanya saya yang kesal karena harus mengantre tapi orang-orang di sebelah saya juga begitu. Walau hari semakin siang, antrean sate koyor di Pasar Ngasem tidak kunjung habis. Malah lebih ramai.
“Tahun kemarin juga gitu Kak. Saya kena zonk, karena pas liburan jadi antre banget. Akhirnya milih makan di lontong kari karena lumayan agak sepi, eh mahal dan sedikit porsinya. Tapi kalau kalian punya kesabaran seluas samudera buat antre dan mau eksplore lebih, kayaknya nggak akan zonk,” ujar Daissy yang juga pernah membeli sate koyor di Pasar Ngasem, Jumat (1/8/2025).
“Sama, akhirnya aku pilih makan di warteg gara-gara nggak sabar. Nungguin antrean apemnya aja antre sampai 80 orang, guila. Hari Sabtu lo itu,” ucap Farah.
Merusak itinerary yang sudah dirancang untuk liburan di Jogja
Sebetulnya, Nyimas sudah menyarankan saya untuk ditinggal saja, karena agenda kami hari itu sudah sangat molor. Rencananya, setelah sarapan di Pasar Ngasem kami akan lanjut ke Keraton dan belanja baju batik di Pasar Bringharjo, lalu jalan-jalan di Malioboro.
“Aku takut waktu kita nggak cukup. Kalau aku ke lihat-lihat batik di toko dekat sini gimana? Nanti kamu susul aku,” ujar Nyimas.
“Ya,” ucapku singkat dan lemas karena sudah kesal dengan sate koyor yang tak kunjung tersaji.
Namun, entah kenapa saya masih rela menunggu. Padahal, tidak apa jika Rp10 ribu saya melayang karena di sela-sela menunggu antrean saya sudah beli makanan macam-macam guna mengganjal perut.
Alhasil, saat sate koyor pesanan saya tiba, saya tidak terlalu sumringah atau bersemangat untuk makan karena sudah kenyang duluan. Ya mau bagaimana lagi, perut saya sudah keroncongan dari tadi.
Dari saya sini belajar agar tidak FOMO. Mengambil keputusan tepat agar orang lain tidak merugi dan membuat waktu jadi lebih efektif.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Warung Makan Yu Ngademi Pasar Ngasem dan Bobor Daun Kelor yang Menyelamatkan Indonesia atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.