Durian Runtuh. Bukan kampung di serial anak Upin Ipin. Namun, durian runtuh di sini adalah buah yang saya dapat saat hendak menyaksikan konser musik band idola pada 2018 lalu. Sebagai mahasiswa miskin, saya rela hidup prihatin selama lima bulan demi konser itu. Namun, di luar dugaan, di hari H semesta malah “membayar” pengorbanan saya berkali-kali lipat.
“Wah. Gila banget ini.”
Kira-kira begitu isi pesan Anggi Tresna (27), seorang kawan asal Wonogiri, saat mengabari sebuah berita. Saya masih ingat tanggalnya, 9 Juni 2018, seminggu setelah ulang tahun saya ke-21. Situasinya pun saya belum lupa: sedang rapat organisasi di kampus demi menyambut mahasiswa baru UNY angkatan 2018.
Teman-teman saya, baik di rumah maupun di kampus, menjuluki saya ‘Si paling metal’. Persoalannya sederhana, tak ada hari bagi saya untuk tak memakai kaos band metal. Playlist yang saya putar di speaker sekretariat ormawa pun tak jauh-jauh dari musik besi. Kreator, Destruction, Exodus, Testament, jadi makanan sehari-hari mereka. Beberapa mengeluh sakit kuping, sih.
Makanya, ketika Anggi mengabari bahwa Megadeth, legenda thrash metal yang begitu saya idolakan bakal manggung di Kota Jogja, rasa-rasanya saya belum bisa percaya. Namun, keraguan saya hilang ketika Anggi mengirimkan tangkapan layar pengumuman resmi dari Rajawali, sang promotor acara, soal konser Megadeth itu.
“Wah. Benar-benar gila,” balasku, kehabisan kata-kata.
Pertama nonton konser musik band internasional pakai duit sendiri
Karena hidup di pelosok desa, tak banyak konser besar yang bisa saya datangi. Mentok-mentok, ya, gigs-gigs kecil dan beberapa show artis lokal saja. Sebelum Megadeth, saya tercatat baru dua kali datang ke konser band internasional. 2015, konser Helloween di Maguwoharjo, Sleman, dan Rock In Solo 2016 yang menghadirkan Nile–kelompok metal idola saya juga. Sudah, sih, itu saja.
Kedua konser itu pun saya hanya dibayari seorang teman. Maklum, masih SMA, duit jajan amat terbatas. Sekadar mengumpulkan Rp150 ribu pun masih mengkis-mengkis kala itu.
Meskipun saya sangat ngebet buat data ke konser Megadeth, ternyata harga tiketnya tidak murah–setidaknya dalam sudut pandang mahasiswa miskin seperti saya.
Waktu itu, saya lupa angka pastinya. Tapi, harga termurah berkisar di angka Rp600 ribuan buat tiket on the spot. Bagi mahasiswa yang anggaran tiap kali makan pol mentok Rp15 ribu, nominal segitu sangat eman-eman.
Apalagi, atas berbagai alasan yang tak dapat saya ceritakan, amat mustahil saya meminta uang tambahan dari orang tua. Apalagi, “hanya” demi tiket konser musik. Alhasil, otak saya pun langsung sat-set, berpikir keras bagaimana cara mengumpulkan uang.
“Ah, masih lima bulan. Masih cukup waktu,” kata saya dalam hati.
Sudah prihatin demi konser, uang tak kunjung terkumpul
Sebelumnya, saya sudah beberapa kali kerja part time. Misalnya, saya pernah kerja di tempat futsal sambil menunggu pengumuman SBMPTN 2017. Namun, setelah kuliah, saya belum berani mengambil part time lagi. Apalagi di semester-semester sibuk, seperti saat itu di mana saya tengah montang-manting mengurus acara penyambutan mahasiswa baru.
Hal itulah yang pada akhirnya bikin saya hanya punya satu opsi ngumpulin duit: prihatin. Ya, satu-satunya cara adalah dengan menekan pengeluaran. Uang makan saya kurangi habis-habisan. Telur dadar adalah lauk termewah dalam lima bulan fase prihatin itu. Sisanya, lambung saya akrab dengan abon, bon cabai teri, dan pendamping nasi lain yang bisa awet berhari-hari.
Sayangnya, upaya-upaya prihatin itu belum menemui hasil. Kurang dari dua minggu konser dimulai, uang yang saya butuhkan belum juga terkumpul. Saat sedang nabung, ada-ada saja kondisi yang bikin saya harus bongkar celengan.
Akhirnya, dua opsi lain yang sekiranya tersedia harus saya pilih. Pertama, menggadaikan laptop yang saya punya. Kedua, ambil part time secara kilat yang gajiannya seminggu sekali. Pertimbangannya, kalau gajian seminggu sekali, saya secara instan bisa langsung menikmati hasilnya.
Saya pun memilih opsi kedua karena lebih memungkinkan dan minim risiko.
Kawan kuliah saya, Jati (26), mengajak saya bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi. Jobdesk-nya mudah, saya hanya perlu packing paket sejak sore hingga malam hari. Rata-rata ada 50an paket yang harus saya kemas di tiap shift-nya.
Dalam sudut pandang saya, nyatanya pekerjaan ini penuh dengan masalah. Masalah pertama, saya sering mengalami kerja overtime tanpa upah tambahan. Dan masalah kedua, ternyata gajiannya sebulan sekali. Kedua dengkul saya mendadak lemas.
Tertipu mutual Facebook
24 Oktober 2018. Tiga hari tersisa sebelum konser musik itu digelar. Namun, di rekening saya hanya ada Rp400 ribu. Ini adalah sisa-sisa uang jajan saya selama sebulan.
Tak ada angin, tak ada hujan. Satu kabar baik datang. Promotor konser mengumumkan membuka pembelian tiket buy 1 get 1. Syaratnya sangat mudah saya penuhi: cukup menunjukkan kartu tanda mahasiswa (KTM) saat membeli.
Tanpa basa-basi saya langsung membagikan info ini hampir ke semua grup WA yang ada. Saya juga membagikannya ke grup-grup komunitas di Facebook dengan harapan ada yang mau saya ajak sharing beli. Lumayan, ‘kan, kita bisa dapat satu tiket dengan setengah harga.
Akhirnya, jawaban saya dapatkan. Ada salah satu akun Facebook, mengaku metalhead dari Jakarta, deal dengan saya. Kesepakatan yang kami bikin, saya tanggung dulu biaya pembelian. Nantinya dia akan mengganti separuhnya secara cash di venue konser.
Sayangnya, sebagaimana pepatah lama mengatakan, “jangan mudah percaya dengan manusia di Facebook”. Pepatah lama itu tertimbung eufria saya. Dan, benar saja, lelaki itu tak ada kabar. Berkali-kali DM saya tidak ia buka. Duh, bagaimanapun caranya dalam waktu cepat, satu tiket ini sudah harus laku terjual. Banyak grup WA, teman-teman pecinta konser musik, dan banyak orang lain, saya tawari tiket ini.
Hasilnya, nihil!
Datang ke lokasi dengan keadaan hampa
Sehari berselang, ada kabar yang bikin saya mix-feeling. Promotor mengumumkan pemenang give away tiket konser, dan nama saya masuk di dalamnya. Dua tiket gratis, berhak saya dapatkan. Saat melihat pengumuman, saya tersenyum. Tapi, seketika itu juga saya menahan rasa marah.
Ada alasan mengapa saya harus senang sekaligus kesal. Saya senang karena dapat tiket konser secara cuma-cuma. Namun, saya juga kesal karena, mengapa baru sekarang diumumkan? Saya sudah terlanjur kehilangan uang dari anon random di Facebook. Menjual tiket semahal ini agar saya balik modal, nyatanya juga sulit saya lakukan. Saya pun pasrah saja.
Di hari H, 27 Oktober 2018, pukul satu siang, pikiran saya terasa hampa saja meski empat tiket sudah di tangan. Saldo saya ATM saya tidak bisa ditarik lagi. Antara saldo dan PIN ATM saja digitnya masih lebih panjang PIN ATM. Sementara untuk cash, uang saya tinggal Rp35 ribu, ditambah utang beberapa ratus ribu dari Jati untuk menebus tiket buy 1 get 1 tadi.
Semesta masih mengizinkan saya nonton konser dengan tersenyum
Saya masih terbengong di sebuah angkringan depan gate konser. Rasanya agak aneh, malam ini saya akan menyaksikan salah satu band idola, tapi suasana hati malah kacau di siang itu. Di tengah lamunan, saya membuka sebuah pesan di Facebook, ternyata dari si abang-abangan metalhead Jakarta. Sudah semalaman penuh pesan ini saya anggurkan.
Isi pesan itu, ia minta maaf karena tidak jadi datang. Tapi, sebagai gantinya, ada salah satu kenalannya yang mau membayari tiket tadi. Membaca pesan ini saya pun langsung tersenyum. Kemudian, ia memberikan nomor WA yang bersangkutan kepada saya dan saat itu juga kami janjian bertemu di depan gate.
Tiga puluh menit saya menunggu. Penampilan Blackout, band lokal Jogja, saya lewatkan. “Tidak apa-apa!” batinku. Mas-mas yang janjian membeli satu tiket saya datang. Dia bersama beberapa teman lainnya yang ternyata saat datang belum memiliki tiket konser.
“Mas, punya tiket lagi enggak,” kata dia. Jantung saya langsung dag-dig-dug. Dua tiket tersisa saya keluarkan. Mereka rebutan karena saya tidak mematok harga. Kataku, “terserah, yang penting laku.”
Terjadi sebuah lelang yang tanpa saya intervensi akhirnya dua orang sepakat untuk membeli tiket saya masing-masing Rp400 ribu. “Sepakat,” kata saya tanpa pikir panjang. Akhirnya, “aksi hidup prihatin” selama lima bulan ke belakang ini berbuah happy ending. Sampai kapanpun saya tak akan melupakan pengalaman ini. Meski sederhana, ini menjadi kali pertama saya merasa benar-benar merasa puas dengan karena ternyata sebuah pengorbanan kecil bisa mendapat hasil yang lumayan.
Malam itu. Kami semua menikmati konser. Dave Mustaine dan kawan-kawan tampil memukau. Satu setengah jam penampilan mereka menyihir saya dan puluhan ribu penonton lain, yang saya kira, pasti ada cerita unik lainnya untuk mencapai konser tersebut. Sementara sisanya, adalah sejarah.
Penulis; Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Pengalamanku Bertemu Jemaah Blekmetaliyah di Rock In Solo 2023
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.