Ketika di NU Masih Ributkan Nasab Habib, di Muhammadiyah Sibuk Nambah dan Banggakan Universitas Baru yang Bikin Nahdliyin Iri

Ketika di NU masih gaduh soal nasab habib, di Muhammadiyah malah sibuk nambah universitas Muhammadiyah baru MOJOK.CO

Ilustrasi - Ketika di NU masih gaduh soal nasab habib, di Muhammadiyah malah sibuk nambah universitas Muhammadiyah baru. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ketika di Nahdlatul Ulama (NU) sedang rebut-ribut soal nasab Ba’alawi (nasab habib di Indonesia), ormas Islam tertua lainnya yakni Muhammadiyah malah sedang gencar-gencarnya membangun lembaga-lembaga pendidikan, yakni lima universitas Muhammadiyah baru.

***

Perdebatan soal nasab Ba’alawi alias nasab habib Indonesia sebenarnya merupakan perdebatan lama. Namun, entah kenapa perdebatan tersebut selalu terulang-ulang setiap tahun.

Dalam dua bulan terakhir di 2024 ini (Juni-Juli), kisruh mengenai nasab habib di Indonesia mulai memanas lagi. Lagi-lagi, pemicunya adalah Kiai Imaduddin Utsman, sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua RMI PWNU Banten hingga penasihat Generasi Muda Nahdlatul Ulama (GMNU) Provinsi Banten.

Kiai NU yang tegaskan habib bukan keturunan Rasulullah

Jauh sebelumnya (pada 2023 lalu), sosok yang akrab dengan panggilan Kiai Imad tersebut membuat gempar dengan tesisnya berjudul “Menakar Kasahihan Nasab Habib di Indonesia”.

Dalam karya ilmiahnya tersebut, Kiai Imad menyimpulkan bahwa nasab habib di Indonesia terputus, tidak menyambung sampai Rasulullah Saw.

Perihal nasab Ba’alawi alias nasab habib di Indonesia itu, Kiai Imad yang merupakan tokoh kiai NU bikin panas lagi usai tampil di YouTube Rhoma Irama Official belum lama ini.

“Saya melihat realitas sosial, bahwa ada klan yang mengaku sebagai ketuurnan Baginda Rasulullah Saw, di saat yang sama akhlak-akhlak yang ditampilkan jauh dari akhlak Rasululah Saw. Ajaran-ajarannya pun tidak sama seperti yang saya pelajari di pesantren yang berdasarkan pada ajaran Rasulullah Saw,” ujar Kiai Imad.

Lebih lanjut, kiai NU tersebut menyebut bahwa fenomena di Indonesia, ada orang yang dengan nasab tersebut justru merasa sombong. Merasa lebih mulia dari orang non Ba’alawi. Padahal orang-orang non Ba’alawi alias orang biasa adalah umat Rasulullah Saw juga.

“Itulah yang kemudian mendorong saya, betul kah mereka sebagai keturunan Rasulullah Saw? Dan dari perjalanan penelitian itu saya yakin seyakin-yakinnya, haqqul yakin, kalau mereka (Ba’awali atau habaib di Indonesia) bukan keturunan Baginda Rasulullah Saw,” sambungnya.

Petinggi NU buka suara

Perdebatan mengenai nasab habib itu lantas melebar ke mana-mana. Di kalangan warga NU akar rumput pun penasaran, apakah benar yang Kiai Imad katakan, bahwa habib bukan keturunan Rasulullah Saw? Atau yang benar yang bagaimana?

Sebelum video Kiai Imad dan Rhoma Irama itu ramai, petinggi-petinggi NU sebenarnya sudah buka suara mengenai kegaduhan polemik nasab Ba’alawi.

Misalnya Rais Aam PBNU, KH. Miftachul Akhyar. Ia menyebut bahwa jika ada orang dari klan Ba’alawi melakukan kesalahan, maka sebenarnya itu adalah persoalan individu. Sementara yang terjadi saat ini adalah, satu orang berbuat salah, lantas seluruhnya diserang dan dihujat.

“Memang ada perbuatan salah, (ada) pemicunya. Tapi sebagai umat Islam kan nggak sampai membesar-besarkan masalah. Apalagi itu hanya kelakuan, ya satu dua orang, tapi yang dihantam adalah jammiyahnya,” jelasnya seperti Mojok kutip dari kanal YouTube TVNU Televisi Nahdlatul Ulama.

Lebih lanjut, KH. Miftachul Akhyar menegaskan bahwa NU sendiri tidak membela seseorang, termasuk dari Ba’alawi, bukan karena faktor nasab. Tapi karena faktor keilmuan dan ketakwaan pada Allah Swt.

Sementara itu, Ketum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf menyebut bahwa kurang tepat juga misalnya menyimpulkan seseorang bukan keturunan Rasulullah Saw karena ada catatan yang terputus ratusan tahun.

“Sebetulnya supaya ini nggak dikembang-kembangkan terus, ini ujungnya soal husnuzon. Karena namanya catatan kalau dicari tidak mungkin lengkap dan urut. Karena tradisi mencatat di lingkungan Islam itu tradisi baru,” ujar Gus Yahya di kanal YouTube TVNU Televisi Nahdlatul Ulama.

“Tapi kan ada riwayat oral dari mulut ke mulut,” sambungnya.

Sebab, jika perkaranya adalah ada catatan yang terputus, maka akan menjadi repot jika mencari catatan misalnya kerhubungan dari zaman Nabi Muhammad Saw hingga Nabi Ibrahim As Oleh karena itu, ia meminta agar perdebatan dan kegaduhan soal nasab habib dihentikan.

Muhammadiyah sibuk tambah kampus

Dalam kurun dua bulan terakhir itu pula, ormas Islam tertua yang lain yakni Muhammadiyah justru terus menerus melakukan pengembangan di bidang pendidikan. Karena memang persoalan nasab sudah selesai di Muhammadiyah sejak lama.

Mengutip pernyataan Haedar Nashir selaku Ketum PP Persyarikatan, Muhammadiyah lebih concern pada bagaimana agama itu dipraktikkan: kata sejalan dengan tindakan yang menampilkan perilaku, ucapan langkah dan perbuatan yang membawa rahmatan lil al-alamin.

Muhammadiyah mengawali Juli 2024 dengan menambah lima universitas Muhammadiyah hasil penggabungan dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PTMA).

Dengan penggabungan tersebut, jumlah PTMA kini menjadi 163 dari yang sebelumnya berjumlah 172. Rinciannya, 89 universitas, 41 Sekolah Tinggi, 1 Akademi, 27 Institut, dan 5 Politeknik dengan total Program Studi (Prodi) sebanyak 2.315.

“Penggabungan atau merger beberapa kampus Muhammadiyah merupakan ikhtiar untuk meningkatkan kualitas pendidikan PTMA yang nantinya diikuti dengan peningkatan kualitas belajar mengajar, riset, pemberdayaan masyarakat, dan lainnya,” jelas Ahmad Muttaqin selaku Sekretaris Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam keterangan tertulis di Muhammadiyah.or.id.

Adapun lima universitas baru Muhammadiyah hasil penggabungan tersebut antara lain:

  1. Universitas Muhammadiyah Kalianda (penggabungan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah Kalianda dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Kalianda)
  2. Universitas Muhammadiyah Cileungsi (penggabungan Sekolah Tinggi Teknologi Muhammadiyah Cileungsi dan Akademi Kebidanan Bhakti Mitra Husada Depok)
  3. Universitas Muhammadiyah Ahmad Dahlan Cirebon (penggabungan Sekolah Tinggi Farmasi (STFM) Muhammadiyah Cirebon, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Ahmad Dahlan Cirebon, dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Muhammadiyah Cirebon)
  4. Universitas Muhammadiyah Kuningan (penggabungan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Kuningan dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan(STIK) Muhammadiyah Kuningan)
  5. Universitas Muhammadiyah Tegal (penggabungan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Muhammadiyah Tegal dan Politeknik Muhammadiyah Tegal).

Jumlah pesantren Muhammadiyah makin banyak

Di awal Juli 2024 ini pula, di tengah kegaduhan soal nasab, persyarikatan memberi kabar perihal makin bertambahnya jumlah pesantren Muhammadiyah (PesantrenMu), dari puluhan kini menjadi sekitar 440 pesantren.

Lembaga Pengembangan Pesantren Muhammadiyah (LP2M) kini tengah mengupayakan perbaikan sarana dan prasarana PesantrenMu. Tujuannya tidak lain agar menarik banyak calon santri.

Lantas jika sudah masuk PesantrenMu, maka akan merasa nyaman. Dengan begitu, pembelajaran pun akan berjalan maksimal. Proses pembelajaran dan pengasuhan pun akan menjadi sorotan LP2M agar PesantrenMU bisa mencetak bibit-bibit unggul.

Kiprah pesantren NU yang terkaburkan

Di luar urusan debat-debat nasab yang seolah tak berujung dari tahun ke tahun, sebenarnya dalam urusan pendidikan, NU juga terus berkembang. Terutama di ranah pesantren.

Setidaknya begitulah yang Ainul (25) lihat, sebagai pemuda yang aktif dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan aktif mengajar di salah satu pesantren NU besar di Jawa Timur.

“Tapi akhirnya hal itu tertutup alias seolah terkaburkan. Gara-gara ribut-ribut soal nasab di level atas,” ujarnya saat Mojok hubungi, Senin (8/7/2024).

“Dan entah kenapa setiap perkembangan pendidikan NU jarang bisa ke-blow up. Lebih sering perdebatan-perdebatan kontroversialnya. Dulu polemik tambang, sekarang polemik nasab habib. Belum lagi pengajian Ghufron yang pakai bahasa semut,” sambung Ainul.

Namun, Ainul sendiri mengakui, soal perkembangan infrastruktur Muhammadiyah memang sedikit lebih maju ketimbang NU. Satu hal yang di satu sisi membuatnya sebagai Nahdliyin “merasa iri”.

Di sisi lain, Izzu (26) seorang pemuda Muhammadiyah menyebut bahwa persyarikatan memang menghindari perdebatan-perdebatan yang kurang produktif. Saat ini, seperti data-data yang disebutkan di atas, persyarikatan lebih fokus untuk meningkatkan kualitas di tubuh organisasi.

“Sekarang fokus persyarikatan adalah perbaikan kualitas. Misalnya, banyak kampus yang nggak progres. Nah langsung di-marger. Jadi nggak cuma ekspansi kuantitas, tapi juga peningkatan kualitas,” terangnya. Ia tak mau berkomentar jauh soal perdebatan nasab habib, karena itu bukan ranahnya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Memang Lebih Unggul dari Kampus Lain? Lulusannya Dibekali biar Nggak Nganggur kayak Sarjana pada Umumnya

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

 

Exit mobile version