Sukun, BonCabe, Roma Kelapa: Teman Setia Mahasiswa Miskin Jogja di Bulan Puasa

Sukun, BonCabe, Roma Kelapa: Teman Setia Mahasiswa Miskin Jogja di Bulan Puasa.MOJOK.CO

Ilustrasi - Sukun, BonCabe, Roma Kelapa: Teman Setia Mahasiswa Miskin Jogja di Bulan Puasa (Mojok.co/Ahmad Effendi)

Kolak, es buah, atau es pisang hujau, adalah menu yang umum untuk menemani santap buka puasa. Namun bagi Faris (26), kudapan tersebut terlalu mewah. Sebagai mahasiswa miskin yang merantau di Jogja, ia lebih akrab dengan pedasnya BonCabe serta seretnya sukun rebus dan Roma Kelapa ketimbang makanan-makanan manis di Bulan Ramadan tadi.

***

“Nggak ikut bukber, aku buka puasa di kos saja.”

Itu adalah kata-kata yang rasanya baru kemarin saya dengar. Padahal, kalau diingat-ingat lagi, kalimat itu keluar pada 2018 alias tujuh tahun yang lalu.

Namun, ketika bertemu Faris di sebuah warung kopi pada Selasa (4/3/2025) malam, ingatan saya disegarkan oleh kalimat memelas tadi. Bagaimana tidak, sebelum istilah frugal living alias ngirit viral baru-baru ini, lelaki asal Jawa Timur itu sudah lebih dulu menjalaninya.

Jangankan buat buka bersama (bukber), tiap ada ajakan nongkrong, ngopi, atau keluar malam saja, dulu Faris selalu menolak karena alasan mau ngirit. Awalnya kami selalu menganggapnya terlalu perhitungan, sebelum akhirnya benar-benar memahami kondisi ekonominya.

“Gimana, sekarang udah mau diajak bukber belum,” canda saya saat basa-basi menyapa Faris. Lelaki yang kini bekerja di sebuah LSM ini hanya tersenyum, memahami apa maksud saya.

Mahasiswa miskin “penyapu” makanan yang tidak habis

Kalau ditanya seberapa susah hidup Faris, mungkin tak ada kata-kata yang bisa mewakilinya. Datang merantau dari keluarga petani di Jawa Timur, ia kuliah berbekal beasiswa bidikmisi. Kebetulan, kami berasal dari fakultas yang sama saat masih kuliah di UNY, Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Selama setahun awal di 2017, kos kami juga hanya terpisah beberapa blok saja di Karangmalang.

Namun, karena sejak masa pendaftaran sampai PKKMB saya sudah bertemu dengannya, kami pun menjadi akrab. Selain karena kami sama-masa “mahasiswa miskin”, bagi saya ia juga merupakan teman diskusi yang baik.

Tak cuma itu, di kalangan “circle miskin” kami, Faris dikenal sebagai “penyapu”. Sebagai orang termiskin di antara yang miskin, ia punya kebiasaan menghabiskan sisa makanan teman yang tidak habis.

Ada kalanya di antara kami memang terlalu kenyang untuk menghabiskan makanan. Namun, ada titik di mana kami juga sadar bahwa Faris belum makan. Sehingga, kami pun sengaja menyisakan makanan baginya untuk dihabiskan.

“Emang suram banget, anjir! Kalau dipikir-pikir, memang kita miskin banget,” tawanya pecah, mengingat masa lalunya sebagai mahasiswa miskin yang hidup penuh dengan keterbatasan.

Sukun rebus menjadi pengganti nasi

Ada banyak hal yang sudah saya ketahui mengenai Faris. Namun, banyak juga cerita yang belum pernah saya dengar dari mahasiswa miskin tersebut–sampai ia buka suara pada malam itu.

Faris, memang hidup bermodal uang beasiswa yang jumlahnya Rp650 ribu sebulan. Itupun sering telat pencairannya. Ia juga merupakan tipikal mahasiswa yang enggan meminta transferan ke orang tua karena dua alasan. Pertama, nggak mau jadi beban. Kedua, kalaupun minta, kecil kemungkinannya buat dikasih.

Malam itu, Faris bercerita kalau di masa sulitnya, berbulan-bulan dia mengganti nasi dengan buah sukun rebus–saking nggak punya uang.

“Bapak kos itu punya pohon sukun. Nah, katanya kalau ada yang mau ambil saja, toh di sana nggak ada yang doyan,” kata Faris, mengingat.

“Yaudah, karena nggak punya beras buat dimasak, nyaris tiap hari aku metik satu buah sukun buat direbus di magicom. Kalau ada duit beli lauk ya beli, kalau nggak ya cukup digaramin aja. Hahaha.”

Faris sampai mengaku tak ingat berapa lama ia menjadikan sukun sebagai “makanan pokok”. Sebab, ketika sedang pegang uang pun, ia masih kerap merebus sukun karena lebih ngirit.

Yang ia ingat, kebiasaan itu baru berakhir pada 2020, ketika ia harus pulang ke rumah karena pandemi dan mengakhiri tiga tahun romantisme ngekos di Karangmalang, Jogja.

“Makanya sekarang kalau ada penjual gorengan yang jual sukun goreng, aku baper banget karena banyak kenangannya,” jelas mahasiswa miskin ini.

Bertahan dengan BonCabe dan Roma Kelapa selama bulan puasa

Selain buah sukun, menu wajib lain yang akrab dengan lambungnya adalah BonCabe dan Roma Kelapa. Bahkan, pada bulan puasa 2018, nyaris tak ada makanan lain yang masuk ke perutnya selain BonCabe dan Roma Kelapa.

“Dulu teman-temanku hype banget pada war takjil di Masjid UGM. Tapi sampai detik ini, aku belum pernah yang namanya ngerasain menu buka puasa di sana. Nggak tahu trick and tips-nya buat bisa dapat,” kata Faris.

Untungnya, sebelum bulan puasa tiba, Faris sempat pulang ke rumah. Oleh orang tuanya, ia dibekali dengan beras, uang saku Rp150 ribu, dan empat bungkus biskuit Roma Kelapa.

Siapa sangka, bekal inilah yang menjadi penolongnya selama puasa. Baik saat sahur maupun berbuka, BonCabe adalah teman nasi. Seringnya tanpa lauk pendamping, sekalipun itu “cuma” tahu ataupun tempe.

Sementara Roma Kelapa adalah pengganjal perutnya di sela-sela jam tarawih dan sahur. Tapi, jangan salah, ada satu rahasia yang barangkali pembaca kudu tahu. Saya dan Faris pernah makan dengan lauk Roma Kelapa. Sekali lagi: saking nggak ada duitnya.

“Karbo ketemu karbo. Seret ketemu seret. Memang sesusah itu hidup,” kata Faris, tentu dengan tawa terbahak-bahak, berharap ia tak akan mengalami masa sulit itu lagi.

Tidak ada alasan mokel bagi mahasiswa miskin, karena memang tak ada yang bisa dimakan

Bagi Faris, hidup sebagai mahasiswa miskin dengan berbagai keterbatasan tadi, tetap ada hikmahnya. Salah satunya, puasanya jadi bisa sebulan full. Tak ada bolong-bolongnya.

“Karena gimana mau mokel, orang makanan yang mau dipakai mokel aja nggak ada,” katanya, menahan tawa.

Untungnya, setelah lulus kuliah pada 2021 lalu, ia sudah bisa beranjak dari masa-masa sulit itu.

Setidaknya, kini ia bisa makan dengan layak. Meski tidak banyak, ia juga sudah bisa mengirim uang ke orang tuanya di desa. Bagi Faris, biarkan “kesusahan yang absurd” tadi menjadi cerita buat anak-cucunya kelak.

Faris juga sudah mengizinkan kesusahan hidupnya ini saya tulis di Mojok. 

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Mahasiswa Miskin Sulit Kuliah di UNAIR Surabaya, Terhalang KIP Kuliah yang ‘Penuh Drama’ atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version