Kuliah di Jogja tinggal di kos itu hal yang biasa. Namun, sekarang banyak juga yang dibelikan rumah oleh orang tuanya.
Pengalaman leluasa tinggal di rumah megah selama kuliah di Jogja dirasakan oleh Qodir* (25). Lelaki yang studi di UMY pada 2017-2022 silam ini tak perlu risau untuk mengatur kamar kecil agar bisa muat berbagai barang.
Tidak tanggung-tanggung, rumah yang Qodir tempati selama kuliah terbilang megah. Ia lupa tipe rumahnya. Namun, bangunannya terdiri dari dua lantai dengan tiga kamar, dua kamar mandi, serta dapur dan ruang tengah yang lapang. Ada pula ruang untuk memarkirkan mobil yang ia pakai sehari-hari.
“Dulu belinya sekitar Rp1,5 miliar. Lokasinya ya strategis, di dekat Jalan Gamping,” ujarnya.
Sebelum itu, Qodir sebenarnya pernah sempat tinggal di kos seharga Rp800 ribu per bulan. Untuk biaya listriknya sekitar Rp100 ribu per bulan, lumayan besar lantaran kamarnya menggunakan pendingin ruang.
Tinggal di rumah yang cukup besar sendirian, tentu membawa banyak kenyamanan. Menurut Qodir, kenyamanan paling utama tentu karena tempat tinggalnya lapang. Beda dengan saat ia di kamar kos berukuran 4×3.
“Ya ngga usah mikir bayar bulanan lagi juga. Sudah beres lah pokoknya,” cetusnya saat kami berbincang pada Rabu (11/10/2023). Kebetulan, beberapa bulan belakangan Qodir sedang pulang ke kampung halamannya, sebuah kabupaten di pesisir utara Jawa Tengah.
Alasan orang tua rela membeli rumah saat anak kuliah di Jogja
Orang tua Qodir sebenarnya sudah berencana membeli rumah di Jogja sejak awal anaknya hendak masuk UMY. Namun, selama satu semester pertama masih mencari-cari hunian yang tepat dan strategis.
Pada masa Qodir hendak masuk kuliah, kebetulan kakaknya juga sedang menyelesaikan skripsi di sebuah kampus swasta lain di Jogja. Adiknya juga berencana melanjutkan pendidikan ke sebuah pondok pesantren di Jogja. Sehingga, orang tuanya bakal lebih sering menyambangi kota ini.
“Daripada setiap ke Jogja nginep di hotel kan mending cari rumah sekalian. Bisa bermanfaat. Sekarang saja pas aku lagi nggak di Jogja, saudara bisa menempati rumah itu,” ungkapnya.
Selain itu, saat mendapati harga yang cukup mahal yakni Rp1,5 miliar, orang tua Qodir justru melihat peluang. Pasalnya, saat perumahan itu baru selesai dibangun, harga unit rumah mereka masih di angka sekitar Rp750 juta.
“Jadi rumahnya itu beli dari tangan kedua. Ya sudah sekitar 3-4 tahun sejak awal perumahannya jadi. Harganya meningkat dua kali lipat artinya potensi juga buat investasi,” terangnya.
Selain Qodir, Mojok juga berbincang dengan disampaikan Bima* (24), alumnus Fakultas Kedokteran UII. Pada semester kedua perkuliahan, orang tuanya membelikan rumah kecil di Candibinangun, Pakem, Sleman seharga Rp400 juta. Rumah dua kamar tidur dan satu kamar mandi di cluster perumahan kecil.
“Orang tua itu sebenarnya jarang ke Jogja tapi ngelihat daerah Pakem itu sejuk dan asri. Akhirnya pengin beli rumah,” tuturnya.
Baca halaman selanjutnya…
Sekalian buat pensiun orang tua, dibelikan rumah tetap penuh suka dan duka
Saat ini saat Bima sedang co-ass di luar daerah, rumah itu ditinggali oleh temannya. Hitung-hitung ada yang merawatkan rumah.
Sejauh pengetahuannya, orang tuanya tak pernah menyinggung urusan investasi rumah di Jogja. Rumah ini, selain untuk tinggal Bima semasa studi, hanya jadi proyeksi tempat singgah orang tua saat pensiun kelak.
Suka duka dibelikan rumah
Selain urusan kelapangan tempat, menurutnya punya rumah sendiri juga membuat ia bisa berbagi manfaat bersama teman-teman kuliah. Jika ada keperluan untuk rapat organisasi, ia dengan ringan menawarkan rumahnya sebagai lokasi berkumpul.
Jika ada teman dari luar kota pun, bisa ia ajak menginap di rumahnya tanpa segan karena tidak ada orang tua. Seperti kebanyakan mahasiswa, ia mendambakan kebebasan. Meski berada di kompleks perumahan gedongan, menurut Qodir, aturannya tetap bebas.
“Untung nih di blok tempatku bebas. Blok sebelah yang masih di perumahan sama itu ketat. Soalnya penghuninya kebanyakan keluarga,” paparnya.
Kuncinya hanya satu yakni tidak menimbulkan keributan. Selain itu, nyaris tidak ada aturan yang merepotkan termasuk urusan normal kesopanan dan asusila.
Soal keributan itu, alumnus UMY ini mengaku pernah kena tegur sekali. Saat itu mobilnya berknalpot blong yang menyebabkan suaranya bising. Suatu ketika, ada beberapa temannya yang mampir ke rumah menggunakan mobil serupa. Alhasil, ia kena tegur satpam kompleks dan warga.
Selain itu, semuanya nyaris membuat Qodir merasa lebih nyaman ketimbang tinggal di kos. Paling-paling, ia harus melakukan perawatan rumah ketika ada engsel pintu yang rusak maupun saluran air yang mampat.
“Kalau itu mah memang tanggung jawab. Bapakku cuma berpesan suruh ngerawat rumah ini. Nggak ada konsekuensi lain seperti uang saku dikurangi karena nggak tinggal di kos lagi,” pungkasnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News