Nekatnya Pengusaha “Kecil” di Jogja dan Jateng yang Tolak Tukang Parkir Liar, Rela Menggaji Mereka Asal Pelanggan Nyaman

Ilustrasi tukang parkir (Mojok.co)

Tak ingin pelanggan keluar uang lebih, padahal hanya belanja atau bertransaksi dengan nominal kecil, membuat pengusaha di Jogja dan Jawa Tengah ini punya sikap tolak tukang parkir liar. Apalagi, pelanggannya adalah mahasiswa dengan kocek yang tak seberapa.

Bagi sebagian orang, mengeluarkan uang meski hanya Rp2000 untuk tukang parkir yang kehadirannya tidak diharapkan memang terasa berat. Barangkali, itulah yang disadari oleh pemilik Mato Kopi, sebuah kedai kopi merakyat yang punya beberapa cabang di Jogja.

Di cabang-cabangnya, setiap hari ada ratusan kendaraan yang terparkir. Kebanyakan, milik para mahasiswa yang jadi pelanggan. Pasalnya warung kopi ini memang terbilang murah. Modal Rp7000 saja pelanggan bisa menikmati secangkir kopi hitam dan akses WiFi gratis untuk mengerjakan tugas.

Saat ini, Mato Kopi punya cabang di Jalan Selokan Mataram, Condongcatur, hingga di dekat Pasar Gentan. Pendiri warung kopi ini, Hanafi Baedhowi juga mendirikan Secangkir Jawa, kedai dengan gaya mirip yang juga sudah banyak bercabang di Jogja.

potret area mato kopi tanpa tukang parkir.MOJOK.CO
Area Mato Kopi tanpa tukang parkir (Hammam/Mojok.co)

Lulusan UIN Sunan Kalijaga Jogja ini memang ingin menghadirkan warung kopi yang terjangkau untuk kalangan mahasiswa menengah ke bawah. Namun, meski terjangkau ia tidak ingin membuat pelanggannya merasa tak nyaman. Termasuk dengan kehadiran tukang parkir liar.

Rela gaji tukang parkir daripada menariki pelanggan

Di beberapa cabang, sempat ada tukang parkir yang menata kendaraan. Namun, tidak pernah meminta uang kepada pelanggan.  Cak Hanafi mengaku kasihan, kopi saja harganya nggak sampai Rp10 ribu kok pelanggannya harus membayar parkir.

“Lha gimana Mas, wong pelanggan saya itu kebanyakan mahasiswa. Sehari bisa ke sini bolak-balik tiga kali. Sebelum kuliah ngopi, jeda kuliah balik ke sini lagi, pulang kuliah ya di sini lagi. Kasihan kalau ada biaya parkir terus. Uang parkirnya mending buat ngeteng rokok,” jelasnya saat Mojok wawancarai beberapa waktu silam.

Hanafi, punya trik tersendiri agar bisa mengatur keberadaan tukang parkir di tempatnya. Biasanya, sebelum menyewa lahan untuk dibuat warung kopi ia akan melakukan negosiasi dengan pemiliknya, yakni pihak desa atau warga setempat.

“Sebelum sewa saya bilang. Saya maju (menyewa) kalau nanti tidak ditariki biaya parkir. Kalau ada warga yang mau menarik parkir, masuk saja ke warung, saya gaji tapi tidak narik dari pelanggan,” ujarnya.

Sehingga tidak mengherankan jika warung kopi di Jogja ini jadi langganan banyak mahasiswa Jogja. Bahkan, sampai ada pelanggan yang dapat julukan “juru kunci”. Pasalnya, hampir setiap hari pasti nongkrong di Mato Kopi.

Warung kopi ini memang punya slogan “Senyaman Rumah Sendiri”. Frasa senyaman rumah sendiri ini memang begitu melekat. Saking nyamannya, kadang ada orang yang ke sini untuk sekadar memesan secangkir kopi lalu ditinggal rebahan tidur siang.

Baca halaman selanjutnya…

Saat pemilik apotek selama 8 tahun teguh tolak tukang parkir yang berusaha manfaatkan lahannya

Pemilik apotek yang 8 tahun menolak diparkiri, kasihan pelanggan beli obat murah tapi bayar parkir

Selanjutnya, ada kisah dari pemilik apotek di sebuah kabupaten di barat Jawa Tengah. Sejak buka usaha pada 2016 silam, ia terus menolak tawaran berbagai pihak yang hendak menariki parkir di halaman depan apoteknya.

Tak mengherankan sebenarnya, pasalnya keberadaan apotek tersebut ada di dekat pertigaan yang cukup ramai. “Padat banget, memang strategis untuk bisnis. Tentu bagi tukang parkir juga menarik,” kata Adit (33), anggota keluarga pemilik bisnis apotek tersebut saat Mojok hubungi Senin (15/4/2024).

Tantangannya tentu bagaimana cara bernegosiasi dengan berbagai pihak, termasuk ormas, yang ingin menjadi tukang parkir.  Pernah ada pula yang mengatakan perwakilan dari ormas. Bahkan ada yang menyebut punya relasi di Pemda untuk meyakinkan Adit dan keluarganya.

“Sampai sekarang ya kalau saya hitung bisa sekitar 20 pihak termasuk ormas yang datang,” terangnya.

Penolakan demi penolakan Adit dan keluarganya layangkan karena prinsipnya bahwa apotek ini belum perlu penataan parkir. Selain itu, ia mengaku tak nyaman dengan perilaku pungli sekaligus kasihan terhadap pelanggan.

“Kasihan pembeli yang beli obat murah, nggak sampai Rp5000 masa parkirnya lebih dari setengahnya,” keluhnya.

Selain itu, terkadang, sebagai pengusaha ia merasa miris. Ia mengaku margin penjualan obat-obatan tidak selalu besar. Bahkan, banyak di antaranya yang hanya ratusan rupiah saja.

“Bayangkan saja, jualan obat Bodrex itu untungnya nggak sampai Rp200, tukang parkirnya dapat Rp2000,” tuturnya.

Nominal Rp2000 memang tidak terlalu besar. Namun, baginya tidak semua orang rela untuk menyerahkan jika tidak merasa perlu.

Itulah kisah beberapa pengusaha “kecil” di Jogja dan Jawa Tengah yang ingin pelanggannya nyaman tanpa tarikan parkir yang semestinya. Tentu, ada tantangan. Namun, mereka memilih untuk bertahan dengan prinsipnya.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Pemilik Apotek di Jawa Tengah Nekat 8 Tahun Tolak Tawaran Tukang Parkir Liar Sampai Didatangi Ormas, Demi Pelanggan

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version