Dari Jombang, deretan kursi yang saya dan istri duduki di KA Pasundan Lebaran masih kosong. Setiba di Stasiun Madiun, beberapa penumpang mulai ikut duduk. Termasuk seorang bapak dan putrinya yang berusia empat tahunan.
“Tas ayah udah sobek.”
“Iya. Ayah belum beli lagi.”
“Ayah memang ada uang buat beli?”
“Ya nanti-nanti dulu.”
“Kalau beli memang di mana?”
“Ada toko tas. Belinya bisa di situ.”
Diam sejenak.
“Ayah. Nanti kalau sampai di rumah, abis mandi, abis bersih-bersih, kita buka celenganku ya.”
“Memangnya mau buat apa?”
“Nanti uangnya buat beli tas ayah. Ayah beli tas baru pakai uangku aja.” Si ayah tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Lalu mencium ubun-ubun putrinya.
Percakapan dan pemandangan itu tersaji di hadapan kami persis, di KA Pasundan Lebaran dalam rute Surabaya-Kiaracondong, Senin (7/4/2025) siang WIB.
Di KA Pasundan Lebaran, mengenang perjalanan meninggalkan kampung halaman
Bapak-bapak tersebut bernama Dedi. Usianya 40 tahunan. Dia meninggalkan kampung halamannya, Ponorogo, Jawa Timur, untuk kembali ke tempat dia beranak-istri: Kutoarjo.
“Kalau mudik mesti ke Ponorogo. Kampung halaman saya,” ungkap Dedi. Tegur sapa sebelumnya membuatnya malah nyaman untuk berbagi cerita dengan kami.
Sudah sejak bujang Dedi meninggalkan Ponorogo. Dulu tujuan utamanya adalah Jakarta karena (konon) menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
Di Jakarta, dulu Dedi ikut jualan pakaian di Tanah Abang. Pernah juga menjadi satpam bank. Lalu pada 2014, seorang teman mengajaknya merantau ke Taiwan.
“Di Taiwan dulu juga satpam. Awalnya bener-bener nggak bisa bahasa Mandarin, Mas. Saya belajar otodidak,” ungkapnya.
Dipenjara, lalu mati-matian di Jakarta
Suasana KA Pasundan Lebaran gerbong 7—gerbong tempat kami duduk—agak hening. Banyak penumpang tertidur.
Agar tidak mengganggu penumpang lain, Dedi melirihkan suaranya untuk melanjutkan bercerita. Raut wajahnya tampak antusias.
“Saya legal di Taiwan itu dua tahun. Setelahnya kan ilegal. Saya akhirnya sembunyi-sembunyi. Kerja dan tinggal di perkebunan,” beber Dedi.
Namun, persembunyian Dedi dan sejumlah temannya akhirnya terendus juga oleh pihak imigrasi Taiwan. Pada suatu malam di 2018, pintu tempat tinggal Dedi diketuk dari luar.
Tanpa curiga, dia mengira itu adalah ketukan temannya. Setelah dibuka, ternyata polisi dan pihak imigrasi. Dedi dan sejumlah temannya pun dimasukkan sel sebelum akhirnya dideportasi.
“Ditahan cuma delapan harian. Untungnya, uang yang saya bawa itu cuma diperiksa dan diberitahu petugas dipotong berapa sebagai denda saya. Sisanya masih utuh, dikembalikan lagi,” ucap Dedi.
Setelah lima tahunan di Taiwan, Dedi lalu pulang ke Kutoarjo. Lantaran tidak ada yang bisa dikerjakan di sana, dia memilih kembali ke Jakarta. Kali itu menjadi driver ojek online (ojol).
Menurutnya, kerja menjadi driver ojol itulah hidupnya terasa mati-matian mencari pemasukan untuk dikirim ke kampung halaman. Butuh kerja ekstra untuk mendapat banyak penumpang.
Kampung halaman: nyaman tapi tak memberi harapan
Dari speaker, petugas mengabarkan bahwa KA Pasundan Lebaran yang kami naiki akan berhenti agak lama di Stasiun Walikukun. Sekitar 20 menit. Setelah pengumuman berhenti, Dedi masih lanjut bercerita.
“Awal 2024 ada tawaran dari teman buat kerja di sebuah smelter nikel di Sulawesi Barat. Jadi penerjemah bahasa Mandarin buat mandor-mandornya yang orang Cina,” lanjut Dedi.
Satu tahun kemudian, Dedi berhenti. Beberapa hari sebelum lebaran 2025, dia memutuskan pulang ke Kutoarjo. Lalu membawa anak-istrinya mudik ke Ponorogo.
“Saya tentu penginnya hidup di kampung halaman. Di Kutoarjo nyaman. Di Ponorogo juga nyaman. Cuma, bingung aja, mau kerja apa kalau di sana (Ponorogo maupun Kutoarjo)?,” keluh Dedi.
Untuk saat-saat ini, Dedi masih belum memiliki plan bakal kerja apa lagi setelah libur lebaran usai. Sepanjang belum ada tawaran kerja lagi, dia akan menikmati waktu berkumpul dengan anak-istrinya di rumah.
Kegundahan di KA Pasundan Lebaran
Saat KA Pasundan Lebaran berhenti di Stasiun Walikukun, Dedi memilih diam di kursinya bersama sang anak. Sementara saya memilih turun: menghisap rokok bersama penumpang lain.
Urusan pinjam korek menciptakan obrolan antara saya dengan Kholil (30) di titik teduh belakang gerbong 7. Sama seperti saya dan istri, Kholil ternyata naik KA Pasundan Lebaran dari Stasiun Jombang. Dia akan turun di Kiaracondong, Bandung.
“Rasanya baru sebentar pulang, nyicipi soto daging dan olahan cecek (kikil) ibu. Sekarang sudah harus pergi jauh lagi,” ujarnya. Ada sedikit getar pada suaranya. Seperti menahan tangis.
Kholil tak bercerita detail. Dia hanya menyebut kalau sudah lama dia merantau meninggalkan Jombang. Berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk bekerja. Dari Surabaya, Jakarta, lalu kini Bandung.
“Samean (kamu) nggak kepikiran menetap di Jombang ta, Mas?” tanya Kholil.
Tentu saja (penging). Sering saya berdiskusi dengan istri, suatu saat ada masanya kami akan kembali untuk menetap di Jombang. Tapi masih suatu saat. Entah kapan. Rasa-rasanya masih jauh.
“Lihat ibuku semakin tua. Aku sendiri makin dewasa malah makin sedih setiap meninggalkan rumah. Jadi pengin banget pulang ke Jombang aja,” tutur Kholil.
Akan tetapi, pulang ke Jombang pun, bagi Kholil, tidak lantas merampungkan kegundahannya. Sebab, masalah selanjutnya: apa yang bisa dia kerjakan di Jombang?
Obrolan kami belum sepenuhnya tuntas. Namun, KA Pasundan Lebaran sudah harus melanjutan perjalanan.
Sekembali ke tempat duduk saya, saya dapati Dedi tertidur. Sementara putrinya sedang asyik main hp. Sisa perjalanan menuju Jogja saya habiskan dengan lamunan menatap luar jendela. Tiba-tiba banyak hal berkecamuk di batin dan kepala.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: THR Ludes sementara Gajian Masih Lama, Kembali ke Perantauan dengan Nelangsa dan Hidup dalam Keprihatinan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan