Aksi MayDay 2025 di Titik Nol Kilometer, Malioboro, Jogja, menyisakan kisah kelam dari pada pedagang. Mereka dilarang membantu para demonstran. Di luar aksi kemarin, ada yang mengaku kalau selama ini preman-preman memang kerap mengintimidasi mereka sampai melarang jualan.
***
Jogja belum gelap. Kalau saya tak salah melihat waktu, jarum jam baru menunjukkan pukul 17.15 WIB. Massa aksi yang mengikuti peringatan Hari Buruh Internasional di Titik Nol Kilometer pun segera membubarkan diri setelah selesai membacakan tuntutan mereka.
Di tengah kekhidmatan, tiba-tiba terjadi insiden. Sekelompok orang, berbaju merah, mengatasnamakan salah satu paguyuban di Malioboro, mendatangi para pedagang bakso kawi dan es cincau yang jualan di lokasi demonstrasi.
Mereka mengusir para pedagang. “Nggak boleh jualan di sini, katanya sih ganggu rezeki mereka,” ujar Riyanto, pedagang bakso kawi yang mendapat intimidasi, Kamis (1/5/2025) sore itu.
Padahal, Riyanto cuma mau mencari nafkah. Sore itu, dagangannya sedang diborong oleh salah satu kolektif yang mengikuti aksi demonstrasi. Dagangannya dibeli semua dan ia diminta membagi-bagikan bakso kawinya kepada orang-orang di sana.
Sepengalaman saya mengikuti aksi demonstrasi di Jogja, memborong dagangan para pedagang yang melintas memang kerap dilakukan. Baik itu penjual cilok, bakso, maupun sate. Namun, sore kemarin situasi berbeda. Setelah didatangi sekelompok orang berbaju merah, Riyanto malah diusir; gerobaknya didorong paksa bahkan beberapa kali digebrak-gebrak hingga membuatnya ketakutan.
“Ya saya menyingkir saja lah, Mas. Nyari titik yang aman, daripada kejadian yang nggak-nggak,” ungkapnya.
Jujur, kejadian kemarin cukup mengagetkan saya. Dalam aksi-aksi demonstrasi yang saya ikuti di Jogja, intimidasi preman memang sering terjadi. Tapi mengintimidasi pedagang yang cuma niat jualan, baru kemarin saya jumpai.
Selama ini, intimidasi memang sudah kerap terjadi di Malioboro, Jogja
Riyanto, yang sudah jualan bakso kawi di Jogja sejak 2005, menyebut dalam dua tahun terakhir aksi intimidasi “oknum” preman di Malioboro memang makin terang-terangan. Ia bercerita, dulu para pedagang masih sangat adem ayem, tak pernah khawatir buat jualan.
“Tapi belakangan ini, ya kira-kira dua tahun terakhir, mau jualan malah takut aja, Mas. Kita berhenti sebentar di sekitaran Malioboro buat sekadar duduk aja, langsung didatengin, diusir, katanya nggak boleh jualan di situ,” ujarnya.

Selama ini, Riyanto jualan berkeliling menggunakan gerobaknya. Di kawasan Malioboro sendiri, ia ngetem di sekitaran Pasar Beringharjo dan Taman Pintar.
“Tapi kan kalau lagi jalan ke sana (Pasar Beringharjo) ada saja satu-dua orang mau beli. Mau nggak mau saya layani,” kaya Riyanto. “Tapi kalau udah begitu, pasti ada saja orang yang datang, ngusir saya nggak boleh jualan katanya. Itu pembeli kadang juga ketakutan.”
Bahkan, intimidasi sampai di titik perusakan properti. Tiap kali didatangi preman, ada saja barang Riyanto yang dirusak. Entah kursinya dilempar, ciduk kuahnya diambil, gerobak dipukul, dan sebagainya.
“Dulu aman-aman saja. Sekarang makin mengkhawatirkan, Mas.”
Mau bantu demonstran saja susah
Padahal, aksi-aksi demonstrasi di Jogja adalah momen saat dagangan Riyanto laris manis. Ia mengaku, ketika ada demo, terutama di Malioboro, banyak massa aksi yang menglarisi dagangannya.
Seringnya ada satu atau dua orang yang memborong, membeli semua bakso kawinya. Kemudian ia diminta buat membagikannya ke orang-orang yang ikut demo.
Alhasil, tindakan itu bikin dagangannya cepat habis. Ia juga bisa pulang lebih cepat bertemu keluarganya.
“Hari-hari biasa, saya jualan siang pulangnya malam. Nunggu bakso habis,” kata Riyanto. “Kalau ada demo-demo gitu, nggak sampai satu jam pasti sudah ludes, Mas. Itu kan menjadi rezeki buat pedagang seperti kami.”
Preman yang sama dengan yang kerap merepresi demonstran
Kalau boleh jujur, berdasarkan amatan saya selama mengikuti aksi-aksi demo di Malioboro, preman yang mengintimidasi pedagang kemarin itu memang familiar. Mereka adalah orang yang sama dengan yang selama ini kerap merepresi para demonstran.
Ketika terjadi demo di Gedung DPRD DIY, sebelum polisi datang biasanya orang-orang tersebut sudah standby di depan gedung. Meskipun punya embel-embel salah satu “paguyuban” di Malioboro, mereka kerap terlihat membantu polisi “melawan” mahasiswa.
Bahkan, salah satu aktivis yang saya temui, sebut saja Jono, bercerita kalau preman kemarin adalah orang-orang yang ikut gebukin para PKL yang menolak direlokasi. Jono sendiri merupakan aktivis yang ikut mengadvokasi para PKL korban relokasi paksa di Malioboro.
Lucunya lagi, preman-preman kemarin malah ikut barisan demonstran ketika ada aksi Tolak Putusan MK sebelum Pemilu kemarin. Mereka ikut demo, mengaku mendukung penuh sikap mahasiswa dan aliansi masyarakat sipil. Cukup aneh memang.
Makanya, tak heran mengapa para aktivis yang aktif mendampingi para PKL di Malioboro menyebut kalau preman-preman ini peliharaan salah satu partai. Saya sulit mengonfirmasi dari partai apa. Yang jelas, mereka siap jadi tukang gebuk.
Tak cuma mahasiswa, atau elemen-elemen lain yang ikut aksi, penjual bakso kawi pun kena gebuk.
Kalau kata Riyanto, yang meresahkan di Malioboro bukan mahasiswa yang demo atau pedagang-pedagang yang “dianggap mengganggu wisatawan”, tapi para preman yang berkeliaran.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Malam Mencekam di Malioboro: Kepungan Preman yang Mengancam Demokrasi di Sumbu Filosofi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.