Ada alasan kuat mengapa kita harus sepakat mendukung kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang tidak menaikkan cukai rokok. Sebab, hajat hidup orang banyak memang sedang dipertaruhkan. Purbaya memastikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tidak akan naik pada 2026.
Keputusan itu ia ambil guna membasmi rokok ilegal yang terus hidup dan dapat mematikan industri rokok meski pada akhirnya kebijakan itu menuai pro dan kontra. Beberapa pihak yang kontra mengirimkan karangan bunga sebagai simbol protes ke kantornya.
Namun, Menkeu Purbaya tak terlalu menggubris protes tersebut. Ia keukeuh untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok.
“Jadi gini, setiap kebijakan kan ada pro kontra, ada yang suka dan tidak. Kan saya sudah hitung alasannya kenapa karena saya nggak mau industri kita mati. Terus dibiarkan yang ilegal hidup,” ujar Purbaya.
Alasan itu masuk akal, sebab ia sedang menjaga roda penghidupan masyarakat banyak.
#1 Enam juta orang hidup berkat IHT tapi cukai rokok tinggi
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang menegaskan jika cukai rokok terus naik—tanpa dihentikan—maka akan banyak elemen masyarakat yang menjadi korban.
“Merujuk data Kemenprin, sekitar 6 juta orang menggantungkan hidupnya pada ekosistem IHT dari hulu ke hilir. Petani tembakau dan cengkeh, buruh pabrik, distributor, pedagang, dan lain-lain,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Selasa (30/9/2025).
Sementara selama ini, kata Rizky, pemerintah terus “mencekik” IHT dengan menetapkan cukai yang tinggi. Penetapan cukai yang tinggi mampu membuat efek domino: Jika cukai terus naik, maka daya bali masyarakat bakal turun. Jika daya beli masyarakat turun, petani tembakau dan cengkeh tidak terserap.
Selanjutnya, buruh pabrik dibayangi PHK. Pendapatan warung kecil berkurang. Lalu IHT terancam ambruk, sementara IHT adalah penopang ekonomi nasional.
#2 Ladang penghidupan petani tembakau
Salah satu petani tembakau Kedu Sili alias Siluk, Nurwiyadi (74) menganggap tembakau adalah teman meski tarif cukai rokok tinggi. Sejak SD, ia sudah berkutat dengan penanaman tembakau di Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul.
Saban hari ia pergi ke ladang sejak pukul 07.00 WIB hingga 11.00 WIB. Siangnya, ia istirahat sebentar lalu melanjutkan lagi kegiatannya di ladang dari sore sampai Magrib.
“Mau tumandang (mengerjakan) apa saja harus melinting dulu. Kalau belum tuwuk (jenak) melinting, nanti saya jadi nglentruk. Tembakau juga pasti ada di kantong saya, ke manapun. Jadi seperti teman sendiri,” ujarnya disertai tawa, Kamis (7/8/2025).
Lebih dari itu, tembakau juga ibarat nyawa baginya sebab dari tembakau ia bisa menghidupi keluarganya turun-temurun. Dulu, empat anaknya bisa sekolah hingga SMK karena hasil dari tembakau. Kini pun, anak keempatnya juga ikut menggantungkan hidup dari tembakau.
Wajar saja. Tembakau Siluk memiliki harga jual tinggi dengan peminat yang besar pula. Terutama dari Gunung Kidul dan Kulon Progo. Dari dua petak ladang masing-masing 500 meter, Nurwiyadi mengaku bisa mendapat 40 anjang dalam satu kali panen. Setelah dirajang, harga tembakaunya bisa sampai Rp100 ribuan perkilogram.
Selain Nurwiyadi, Kisutoro yang mengolah ladang tembakau Siluk di area tugu “Kalidadap II” mengaku, bisa mendapat daun sebanyak 15 anjang (berkisar 13-15 kilogram).
“Hasil rajangan itu nanti dijual bisa Rp150 ribu perkilogram. Rata-rata Rp120 ribu perkilogram. Bahkan bisa Rp300 ribu perkilogram,” jelas Kisutoro.
Nurwiyudi dan Kisutoro hanyalah segilintir orang yang menggantungkan hidupnya sebagai petani tembakau. Penghasil tembakau juga tersebar di berbagai Idnonesia seperti Temanggung, Gunungkidul, Jember, Probolinggo, dan daerah lain.
#3 Bukan cuma petani, tapi juga buruh pabrik
Tak hanya petani, tarif cukai rokok yang tinggi berdampak pada pendapatan buruh pabrik rokok. Di Mlati, Sleman, Jogja misalnya, setidaknya ada 160 buruh yang menggantungkan hidupnya di pabrik rokok. Rata-rata mereka adalah perempuan.
Salah satunya Rahma (22) yang sudah berkali-kali mengirim lamaran pekerjaan tapi tak kunjung ada yang nyantol. Sekalipun ada, gajinya tidak seberapa–jauh dari UMR Jogja.
Namun, setelah tahu ada lowongan pekerjaan di pabrik rokok dengan gaji yang lumayan, ia langsung nekat mendaftar meski nul putung soal rokok dan tugasnya.
“Sebagian uang bisa buat bantu-bantu orangtua,” ujar Rahma.
Di kunjungan lain, Mojok pernah mewawancarai Muhammad Saefudin (61), kepala produksi Pabrik Rokok Aroma. Udin, sapaan akrabnya, mengungkap gaji di sana rata-rata adalah Rp2,4 juta.
“Seminggu mungkin Rp600 ribu, kalau yang SKM malah bisa lebih besar gajinya karena shift-nya lebih lama,” jelasnya.
Selain pabrik rokok di Jogja dan Magelang, masih banyak buruh rokok yang menggantungkan hidupnya dari hasil tembakau.
#4 cukai rokok tak naik sama dengan menjaga kedaulatan bangsa
Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin mendukung penuh kebijakan Menkeu Purbaya yang tidak akan menaikkan tarif cukai rokok. Menurut Atfi, sapaan akrabnya, kebijakan tersebut termasuk upaya menjaga kedaulatan bangsa.
Ia menjelaskan, pengendalian tembakau dan kampanye antirokok sejatinya tidak berdiri sendiri. Melainkan ada kepentingan asing di belakangnya.
Merujuk buku Nicotine War karya Wanda Hamilton, pengendalian tembakau secara global didasari satu motif: perang dagang.
Industri farmasi global berhasrat mengambilalih pasar nikotin dari IHT untuk produk-produk dagang mereka seperti koyo nikotin dan obat-obatan yang diklaim bisa membantu seseorang berhenti merokok.
“Jika narasi antirokok selama ini mengusung misi klise: demi kesehatan manusia, nyatanya tidak begitu. Mereka hanya ingin jualan produk yang sama-sama pakai nikotin juga,” jelas Atfi mengutip Wanda, menjelaskan tarif cukai rokok.
Untuk misi tersebut, industri farmasi global sampai menggandeng WHO, lembaga kesehatan internasional lain, dan lembaga-lembaga swadaya. Bahkan mereka sampai masuk ke ruang-ruang politis yang pada akhirnya membuat sejumlah negara meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
“Indonesia memang belum meratifikasi produk asing bernama FCTC itu. Tapi poin-poin pengendalian tembakau itu telah diadopsi dalam butir-butir regulasi yang mencekik IHT,” ujar Atfi.
“Seperti Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pembatasan iklan, regulasi tata niaga (seperti tidak boleh jualan di dekat sekolah), bahkan soal kemasan pun diatur misalnya dengan penampilan gambar peringatan dan wacana bungkus rokok polos,” lanjutnya.
***
Oleh karena itu, kebijakan Menkeu Purbaya untuk tidak menaikkan cukai rokok semestinya tidak diganggu, melainkan didukung sebagai upaya mengembalikan ekosistem dan kedaulatan ekonomi nasional.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza & Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cukai Rokok Tak Naik: Kewajiban Melindungi Ekonomi Rakyat dari Gangguan Kepentingan Asing dan Tantangan untuk Para Antirokok atau Liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












