Beternak Kura-kura Darat dan Menua Bersamanya

Kura-kura darat jenis Sulcata

Delapan induk kura-kura darat jenis Sulcata itu dibeli oleh Tonny Hidayat masing-masing sekitar Rp 25 juta. Harga yang menurutnya nggak terbilang mahal karena selain hobi ia juga jadi sumber penghidupan keluarganya.

****

Jonathan namanya, tahun 2021 ini usianya genap 189 tahun. Pulau St. Helena di Atlantik Selatan adalah tempat ia menghabiskan sebagian besar masa hidupnya. Jika saja ia bisa mengerti, dua perang dunia sudah ia lewati. Namun sepertinya Jonathan tak peduli.  Di usianya senjanya, ia tetap beraktivitas seperti biasa, makan dedaunan, berjemur, dan bergerak lambat seperti dulu kala semasa remaja.

Jonathan merupakan salah satu kura-kura darat tertua yang hidup sampai saat ini dan tercatat sejarah. Sosoknya pertama kali terdokumentasi pada 1882. Dalam laporan BBC, dari bentuk fisiknya diperkirakan usia Jonathan kala itu sudah menginjak 50 tahun.

Namun tulisan ini bukan tentang Jonathan yang terpaut jarak ribuan kilometer dari Indonesia. Ini tentang para peternak dan penghobi kura-kura darat yang kerap juga disebut tortoise, di Yogyakarta. Saya pun berkunjung ke Safari Kura, salah satu breeder kura-kura darat jenis Sulcata yang berlokasi di Wirobrajan, Sabtu (17/04/2021) siang.

Kala memasuki ke area pekarangan tempat ratusan kura-kura dipelihara, mata saya langsung tertuju pada seekor kura-kura dengan panjang hampir satu meter. Ia nampak sedang ndusel di pasir dan terlelap kala teriknya siang.

Dengan nada penasaran, saya bertanya pada lelaki di samping saya, “Itu yang di pojokan berapa umurnya Pak?”

“50 tahun itu Mas,” kata pria bernama Tonny Hidayay, sang pemiliki Safari Kura. “Nyuwun sewu Pak, umur njenengan berapa?” “39 tahun Mas,” jawabnya sambil tertawa yang spontan disusul gelak tawa saya. Kami seolah langsung sama-sama paham arah bercandaan ini.

“Itu Bapak rawat dari usia berapa Pak?”

“Baru dua tahun lalu Mas, 2019 saya beli dari seseorang di Jakarta, di Jakarta sudah dipelihara 10 tahun. Sebelumnya diimpor dari Afrika,” jelas Tonny.

Tonny kemudian menjelaskan bahwa umur panjang adalah salah satu keistimewaan memelihara kura-kura darat. “Kan menarik tuh Mas, bisa untuk diwariskan ke anak cucu kalau berumur panjang,” katanya.

“Berarti Bapak sudah mengajarkan anak untuk mencintai kura-kura? Agar supaya mau mewarisi?”

“Oh ya belum mas, lha anak saya masih umur tiga dan empat tahun, ya masih saya ajari untuk menyayangi sesama makhluk hidup dulu lah intinya.”

Tonny mengajak saya membayangkan bagaimana langgengnya memelihara kura-kura. Dalam sekali siklus hidup seseorang, jika hobi pelihara ikan koi, pastilah sudah berganti-ganti jenis  dan generasi karena usia koi tidaklah panjang. Kucing dan anjing pun katanya, maksimal bertahan belasan tahun. Namun kura-kura darat abadi!

Kembali lagi ke kura-kura tertua yang jadi bahan pembicaraan tadi, jenisnya adalah Sulcata dan merupakan pejantan utama di Safari Kura. Dalam satu kandang utama, ada delapan ekor indukan Sulcata, dua pejantan dan enam betina yang dibeli bersamaan dari Jakarta.

Indukan kura-kura darat jenis Sulcata dan anaknya di Safari Kura . Foto oleh Hammam/Mojok.co

Tonny lalu menjelaskan bahwa kura-kura tersebut merupakan pejantan yang mengawini semua betina di kandang itu. Lantas saya bertanya, “Terus yang jantan satunya bagaimana Pak?”

“Ya nganggur Mas, itu liat aja stres terus dan pilek, soalnya memang kura-kura darat itu cenderung punya raja di setiap kandang, rajanya itu disebut pejantan alfa, ya seperti serigala lah Mas, kan begitu juga.”

Sebenarnya Tonny merasa perlu untuk memisahkan dua pejantan ini di dua kandang yang berbeda. Sang pejantan tertua diberi jatah empat betina dan pejantan satunya lagi diberi dua betina. Namun ia masih belum sanggup untuk membuat kandang baru, perkara lahan dan biaya jadi pertimbangannya.

Tonny belum lama menggeluti bisnis beternak kura-kura. Ia baru memelihara 2018, kemudian mulai jual beli dalam skala kecil. Baru kemudian mengembangbiakannya.

Meski begitu, ia mengaku sudah mulai tertarik dengan kura-kura sejak tahun 2010. Namun kala itu ia belum berani mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli seekor kura-kura. “Pas itu mau beli Sulcata harganya sekitar 2,5 juta rupiah mas di pasaran, segitu itu gaji saya sebulan mas dulu,” kenangnya.

Beternak kura-kura, hobi sekaligus usaha

Situasi banyak berubah dalam satu dekade terakhir. Perubahan itu juga dialami Tonny dalam urusan finansialnya. Beberapa bisnis berhasil ia jalankan, mulai dari usaha di bidang teknologi seperti software house dan penyedia cctv hingga beberapa brand kuliner di Yogya. Namun ia mengalami pukulan telak tepat di jantung keuangannya kala pandemi.

“Bisnis saya itu turun Mas omsetnya, terutama yang kuliner, jadi 10-20 persen saja, itu tinggal segitu lho Mas, bukan turun 10-20 persen, tapi sisa segitu,” ia menekankan.

Beberapa gerainya kulinernya pun tutup. Namun titik itulah yang membuatnya berani terjun bebas di bisnis kura-kura darat. Demi memproduksi banyak anakan kura-kura dalam setahun, Tonny rela merogoh kocek dalam-dalam.

Saya menanyakan berapa harga delapan indukan Sulcata yang dimiliki Tonny. “Satunya di atas 25 juta Mas kalau yang itu,” katanya dengan santai.

Belum lagi, selain yang diproyeksikan untuk dikembangbiakan, Tonny masih punya banyak koleksi lain. Setidaknya ada lima jenis kura-kura darat lain di samping Sulcata, seperti Hermani dari Eropa. Lalu Indian Star (India), Pardalis (Afrika), dan Aldabra (Pulau Aldabra), dan Red Foot (Amerika Selatan).

Jenis-jenis selain Sulcata tadi mayoritas diimpor dari berbagai negara asli kura-kuranya. Harganya pun jauh di atas jenis Sulcata, salah satu yang menarik perhatian saya adalah Aldabra, kura-kura terbesar kedua di dunia setelah Galapagos. Harga anakan Aldabra yang ukurannya masih berkisar 10 cm saja dibanderol 28-30 juta rupiah.

Memiliki banyak berbagai jenis bagi Tonny adalah bentuk kecintaannya pada tortoise. Sebagian belum bisa dikembangbiakan karena menurutnya masih susah. Satu yang sedang diuji coba untuk dikembangbiakkan adalah jenis Red Foot, namun ia belum yakin kapan bisa berhasil.

Beruntungnya, meski gerakkannya lambat dan lemah gemulai, kura-kura cukup intens bereproduksi dan menghasilkan telur. Sulcata dewasa bisa bertelur sekitar 30-90 butir per tahun. Sementara size kecil menghasilkan 15-20 butir telur. Dan indukan Sulcata di Safari Kura tergolong berukuran besar.

Dalam setahun terakhir, setidaknya lebih dari 300 telur berhasil ditetaskan di Safari Kura. Dan sejumlah itulah anakan kura-kura yang berhasil dijual Tonny. Sebagian dijual ke seler lain, namun juga ada yang dijual ke end user alias konsumen umum.

Sulcata tergolong jenis tortoise yang paling umum dan banyak digemari di Indonesia. Nilai jualnya pun tergolong tinggi. Anakan  dengan panjang 5-6 cm biasanya dibanderol Rp 1,2 juta hingga Rp 1,4 juta. Itu tadi harga rata-rata, ada juga yang bisa mencapai Rp 9 juta, semua tergantung kualitas dan detail-detail yang biasanya bisa dicermati penghobi. Jadi berapa kisaran  total nominal hasil penjualannya setahun terakhir? Coba dihitung sendiri.

Tingginya tingkat penjualan kura-kura darat ini memang sudah diperkirakan Tonny. “Pandemi kan bikin orang di rumah ya Mas, jadi banyak yang ingin peliharaan baru. Nah kura-kura darat ini selain menarik, juga mudah dipelihara, jadi demandnya cukup tinggi,” katanya.

Tonny optimis, kura-kura bisa jadi peliharaan sepopuler kucing dan anjing di kalangan masyarakat. “Tapi gimana bisa gitu Pak, kura-kura kan ndak seinteraktif kucing dan anjing?” tanya saya penasaran.

“Sekarang begini Mas, untuk dipelihara, kura-kura darat ini tergolong aman lebih aman dari kucing dan anjing. Tidak nyakar, tidak banyak tingkah. Lalu perawatannya lebih mudah kalau sekadar untuk dipelihara saja, tidak perlu mandiin setiap hari, tidak pup sembarangan, baunya pun tidak menyengat,” jelasnya.

Tonny menambahkan banyak aspek-aspek keunggulan kura-kura dibanding peliharaan lain. Kemudian ia menekankan pada satu hal, “Sekarang pandemi kan Mas, kura-kura ini mudah dikirim ke manapun, 2-3 hari di ekspedisi tetap aman, kalau kucing dan anjing kan susah dikirim-kirim.”

Masalah pakan pun mudah didapatkan. Selain sawi, daun selada, kembang sepatu, wortel, dan rumput, kura-kura juga doyan buah-buahan. Saya kemudian memandangi rumput-rumputan yang nampak digeletakkan di kandang Sulcata seperti di peternakan kambing dan sapi.

“Itu doyan makan rumput gitu Pak?”

“Doyan Mas, la memang di alam bebas itu makan rumput, sudah cukup berserat, tapi untuk memaksimalkan pertumbuhan ya dikasih buah dan sayur.”

Mudah dipelihara, rumit dikembangbiakkan

Untuk sekadar memelihara saja nampaknya memang mudah. Seperti yang dijelaskan Tonny, cukup kasih rumput saja kalau perlu. Namun untuk dikembangbiakkan nampaknya urusan lain. Butuh modal dan keuletan.

Kura-kura Emys di Kampung Satwa. Foto oleh Hammam/Mojok.co

Modal itu nampak dari banyaknya perlengkapan yang dimiliki Safari Kura. Mulai dari inkubator untuk anakan yang baru menetas, seperangkat alat penetasan telur, pengukur suhu, kelembapan. Dan yang paling membuat saya heran adalah obat-obatan yang begitu lengkap. Beragam jenis vitamin hingga kalsium memenuhi sebuah boks besar yang dibukakan Tonny pada saya.

“Bapak kan baru beberapa tahun budidaya kura-kura darat, lalu belajar banyak hal tentang perawatan dari mana?”

“Jurnal Mas, sudah lengkap di sana, cek saja jurnal-jurnal berbahasa Inggris tentang kura-kura darat, penyakitnya, hingga perawatannya. Untung saya lumayan bisa berbahasa Inggris.”

Tuntas obrolan dengan Tonny, saya masih menyimpan beberapa rasa penasaran tentang kura-kura darat. Kemudian singgah ke Kampung Satwa yang terteletak di Moyudan, Sleman. Di sana terdapat berbagai koleksi reptil yang dikonservasi dan dikembangbiakan. Mulai dari iguana, ular, buaya, dan tentu kura-kura.

Saya langsung menjumpai setidaknya dua jenis kura-kura ketika masuk ke area Kampung Satwa, Sulcata dan Red Foot. Kemudian disambut hangat oleh Hanif Kurniawan, pria di balik macam-macam reptil ini. Berbeda dengan Tonny, Hanif memang tidak spesifik mengembangbiakkan kura-kura saja.

“Tapi kura-kura di sini pernah berkembangbiak Pak?” Tanya saya penasaran.

“Pernah bertelur Mas, tapi gagal menetas,” katanya sambil memandikan Sulcata betinanya.

Ia kemudian membawa saya ke salah satu kandang di mana kura-kura jenis Emys atau kaki gajah tinggal. Ada empat ekor kura-kura Emys di sana, satu jantan dan tiga betina. Hanif menunjuk betina dipojokkan yang pernah bertelur namun gagal menetas. “Sudah pelihara ini sejak 2008 Mas, ya sempat ada yang mati sekitar enam ekor, ini sisanya yang kuat-kuat,” katanya.

Menurut Hanif, banyak faktor yang menyebabkan pengembangbiakkan kura-kura tergolong susah-susah gampang. “Prinsipnya kalau saya itu tiga mas, pangan, papan, dan pasangan,” kata Hanif. Jika formuliasi itu sudah ditemukan pada kura-kura yang hendak dikembangbiakkan, maka kemungkinan berhasilnya tinggi.

Masalah pangan dan pasangan menurut hanif sudah cukup teratasi. Tapi masalahnya ada di papan, penyesuaian tempat, suhu, dan kenyamanan si kura-kura ini yang menemukan formulasinya butuh waktu lama. “Kalau Sulcatanya itu kan titipan orang, itu baru saya ambil dari Jogja Exotarium beberapa waktu lalu, yang sudah lama di sini ya Emys ini, asli Asia Tenggara tapi masih susah dikembangbiakkan.”

Hanif menambahkan bahwa kura-kura Emys ini masuk kategori dilindungi di Indonesia. Sehingga memang perlu perizinan dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk pemeliharaannya.

Terlepas dari belum berhasilnya Emys di Kampung Satwa berkembang biak, setidaknya ia bisa menemani sang pemilik selama sepuluh tahun lebih. Bicara tentang kura-kura yang menemani pria dewasa, bagaimana ya nasib kura-kura berusia 17 tahun bernama Kelun yang jadi teman Richard di film Love for Sale? Siapa yang merawatnya kala Richard memutuskan berkelana setelah ditinggal Arini?

BACA JUGA  Untuk Kamu yang Beternak Burung, Modal Sayang dan Kurungan Saja tak Cukup dan liputan menarik lainnya.

Exit mobile version