Rumahnya sering disebut sebagai markasnya orang gila. Saat ini ada sekitar 150 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang ia rawat. Melalui salat dan zikir, mereka didampingi untuk sembuh.
Mojok bertamu ke Pondok Tetirah Zikir, sebuah tempat rehabilitasi ODGJ yang terletak di Dusun Kuton, Tegaltirto, Brebah, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pengelolanya bernama Muhammad Tri Hardono (53) seorang sarjana lulusan Jurusan Sejarah UGM yang memilih mengabdikan hidupnya untuk merawat ODGJ.
***
Muhammad Tri Hardono atau akrab dipanggil Ustad Tri menunjuk seorang santrinya yang tertidur di sebuah gubuk kayu. Nama santri itu Agus, asal Magelang, Jawa Tengah. Selama beberapa tahun terakhir, Agus yang seorang ODGJ sudah menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan. Boleh dikatakan sudah masuk pada fase kesembuhan.
Namun sayangnya, saat Ustad Tri hendak memulangkan, pihak keluarga menolak untuk menerima Agus kembali. Selain karena orang tuanya sudah berusia lanjut dan tidak sanggup merawat. Mereka juga masih takut dan khawatir, Agus akan kembali berperilaku negatif. Mengingat dulu Agus sering mengamuk bahkan sampai hendak melukai dan membunuh kedua orang tuanya.
“Kalau sudah seperti itu ya mau bagaimana lagi. Harus tetap kita tampung di sini. Tidak tahu sampai kapan. Bisa jadi selamanya. Kalau tidak kan kasihan, mau kemana lagi?,” ucap Ustad Tri.
Semua bermula dari ODGJ yang mengamuk
Kisah Agus adalah sedikit cerita dari banyak kisah selama Ustad Tri melakukan pendampingan ODGJ sejak 23 tahun silam. Semua bermula dari peristiwa di tahun 2000-an.
Saat itu, ia sudah aktif dalam kegiatan majelis zikir yang biasa ia ikuti bersama teman-temannya di sebuah pondok pesantren kawasan Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman.
“Suatu ketika saat sedang zikir bersama, tiba-tiba ada orang gila datang mengamuk. Dia teriak-teriak mengacau sambil telanjang. Lalu kita ajak dia untuk ikut salat dan zikir. Ternyata setelah beberapa waktu, dia bisa sembuh total. Dari situlah saya seperti mendapat petunjuk, dan tergerak untuk ikut membantu teman-teman yang mengalami masalah gangguan jiwa,” kenangnya.
Sejak saat itu, dengan memanfaatkan rumah kontrakan di kawasan Mlangi yang ia sewa, Ustad Tri yang ketika itu masih lajang, mulai merawat dan menampung para orang dengan ganguan jiwa yang ia temui. Dari awalnya hanya 1 orang, lalu bertambah menjadi 10 orang hingga mencapai sekitar 20 orang. Semua ia lakukan penuh keikhlasan tanpa pamrih apapun.
“Alhamdulillah ada yang beberapa bulan sembuh. Ada yang butuh sampai beberapa tahun. Tapi juga yang sampai sekarang belum sembuh. Ya mereka tetap kita rawat dan kita temani,” katanya.
“Mereka berasal dari bermacam-macam daerah. Ada yang kita ambil dari jalanan, lalu kita rawat di sini. Ada pula keluarga yang menitipkan karena mereka sudah tidak sanggup lagi mengurusi,” katanya.
Karena jumlah ODGJ yang ia tampung semakin banyak, Ustad Tri akhirnya memutuskan untuk mencari tempat baru yang lebih luas. Sekitar tahun 2010 ia akhirnya memutuskan pindah ke lokasi baru dan mendirikan Pondok Tetirah Zikir di Dusun Kuton, Tegaltirto, Brebah, Sleman ini. Ustad Tri kemudian menyewa tanah kas desa seluas 5.000 meter persegi.
Alasan memuliakan ODGJ
Tanah kas desa yang ia sewa berada di tepi bantaran sungai pinggir kampung. Letak Pondok Tetirah Zikir memang sedikit tersembunyi. Untuk ke sana, kita harus melewati sebuah jalan sempit yang di kanan dan kirinya masih penuh semak serta pepohonan tinggi. Jalan yang masih berupa tanah ini merupakan satu-satunya akses pintu masuk menuju pondok.
Begitu sampai, kita akan melihat sebuah komplek pondok desa yang terkesan begitu tenang dan damai. Hampir seluruh bangunannya terbuat dari kayu. Sebuah rumah panggung berlantai tiga, sebuah joglo modern, serta beberapa rumah kampung berjenis limasan menjadi bangunan utama komplek ini.
Berbekal niat tulus membantu sesama, ustad Tri pun dengan ikhlas menemani para santri ODGJ menyelesaikan segala problematika kehidupan yang sedang mereka hadapi. Baik itu mereka yang mengalami gangguan mental karena persoalan asmara, konflik dengan keluarga, maupun berbagai problematika kehidupan lainnya.
Ustad Tri berpikir bahwa perlunya memuliakan ODGJ sebagai layaknya seorang manusia. Cara yang ia lakukan dengan mengajak mereka untuk mendekatkan diri pada Tuhan YME, baik itu dengan salat taubat, atau zikir. “Ini merupakan metode paling ampuh yang selama ini saya jalani,” ujarnya.
Hal paling berkesan bagi Ustad Tri adalah melihat ODGJ yang awalnya suka mengamuk, teriak-teriak, dan lain-lain pada akhirnya bisa ikut salat, zikir, mengaji atau jadi muazin. Itu jadi sebuah hal yang paling menggembirakan
Jangan mengecap sebagai orang yang lemah iman
Ustad Tri beranggapan sebenarnya tidak ada orang gila. Mereka hanyalah manusia biasa yang sedang menghadapi masalah berat dalam suatu periode kehidupannya. Sehingga harus dibantu, bukan justru malah meninggalkan atau menjauhi mereka.
“Mereka juga tidak bisa disalahkan. Misalnya kita cap sebagai seseorang yang lemah imannya, yang tidak kuat menghadapi cobaan. Padahal, kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah kan beda-beda. Jadi tidak bisa menyalahkan mereka juga,” ungkapnya.
Ustad Tri mengaku yakin, pilihan hidupnya untuk membantu para ODGJ, juga merupakan salah satu jalan baginya dalam mencari keridhaan Allah SWT. Sehingga ia pun tak pernah khawatir bagaimana harus membiayai hidup ratusan santri yang selama ini tinggal bersamanya. Ia yakin, Allah SWT pasti akan memberikan jalan kemudahan baginya.
“Alhamdulillah selalu ada saja orang-orang baik yang mau membantu. Baik itu menyumbang uang, beras, obat-obatan, ataupun kebutuhan lainnya. Termasuk juga yang menyumbang tenaga dengan menjadi relawan,” ungkapnya.
Selain itu, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari Pondok Tetirah menjalankan sejumlah usaha seperti ternak ayam, domba, dan lain-lain.
Sempat dianggap aneh dan sulit jodoh
Bertahun-tahun tinggal dan bergaul dengan ODGJ, Ustad Tri mengaku sempat dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya. Ia bahkan mengaku sempat kesulitan untuk mendapatkan pasangan atau pendamping hidupnya. Sebab tak sedikit wanita yang ia kenal selalu menjauh saat mengetahui jalan hidup Ustad Tri.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi seorang wanita bernama Sukmawati. Wanita asal Jawa Barat ini merupakan istri sekaligus ibu dari 4 orang anak Ustad Tri. Terhitung sampai saat ini, sudah 16 tahun lebih ia tinggal dan menemani Ustad Tri bersama ratusan santrinya, baik saat pondok masih berlokasi di Mlangi maupun di Tegaltirto saat ini.
“Pertama kenal itu karena dikenalkan oleh kiai saya. Awalnya ya ragu begitu mengetahui keseharian bapak (Ustad Tri). Tapi akhirnya saya mengiyakan, setelah diyakinkan bahwa hidup saya akan mendapatkan ladang pahala jika ikut bapak,” kata Sukmawati.
Meski begitu, Sukmawati, menceritakan sempat mengalami hal-hal tak terlupakan pada saat awal masa pernikahannya. Selama 3 bulan pertama, ia mengaku cukup kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya di tengah-tengah kondisi serta kehidupan para santri yang semuanya merupakan ODGJ.
“Saat itu kan masih tinggal di kontrakan yang tidak terlalu luas. Sehingga setiap hari mau tidak mau harus berinteraksi langsung. Selama hampir 3 bulan itu saya sering nangis di kamar karena takut. Rasanya saya tidak betah dan ingin pulang. Tapi itu dulu, kalau sekarang ya sudah biasa saja,” ujarnya sambil tertawa.
Setiap hari ada 5 orang yang ingin menitipkan anggota keluarga yang ODGJ
Banyaknya ODGJ yang sembuh setelah dirawat Ustad Tri, membuat orang dari berbagai daerah semakin mengenal Pondok Tetirah Zikir. Hal itu juga membuat semakin banyak masyarakat yang ingin menitipkan anggota keluarga, atau saudaranya penderita ODGJ, ke pondok ini. Sayangnya akibat keterbatasan tempat, ustad Tri pun tak bisa menerima santri dalam jumlah lebih banyak lagi.
“Kalau dihitung sebenarnya sehari itu bisa ada sampai 5 orang yang ingin menitipkan saudara atau keluarganya d isini. Tapi terpaksa harus kita tolak, karena tempat ini sudah over kapasitas,” jelasnya.
Meski telah banyak berjasa membantu menjalankan peran negara dalam mengatasi persoalan sosial yang cukup kompleks di tengah masyarakat, nyatanya Pondok Tetirah Zikir asuhan Ustad Tri, selama ini tak banyak mendapat perhatian dari pemerintah. Hal itu diungkapkan sendiri oleh ustad Tri yang mengaku hampir sama sekali tak pernah mendapat bantuan dari pemerintah.
“Kalau pun ada perhatian dari pemerintah, bisa dibilang masih sangat minim sekali. Memang sempat ada bantuan masuk dari Kemensos. Tapi jumlahnya sangat kecil sekali. Tidak sebanding dengan apa yang harus kita sediakan untuk memenuhinya kebutuhan semua santri,” katanya.
Ustad Tri hanya bisa berharap, apa yang telah ia lakukan selama ini bisa mendapat dukungan dan menginspirasi banyak orang agar mau peduli dan membantu para ODGJ. Paling tidak, mengubah stigma masyarakat umum selama ini yang selalu menganggap ODGJ sebagai sebuah penyakit meresahkan yang tidak bisa sembuh. Bahkan ada yang menganggap sebagai beban masyarakat.
Penulis: Jatmika Kusmargana
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Preman Pensiun dari Semarang, Dirikan Panti Asuhan untuk Puluhan Anak di Sleman dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.