Orang-orang dari Dusun Blawong di Bantul dikenal sebagai ahli sumur di Jogja. Keahlian itu didapat secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Mojok ngobrol dengan beberapa ahli sumur di dusun tersebut untuk mengetahui cara kerja mereka.
***
Akhir Mei 2006 Jogja diguncang gempa bumi yang cukup hebat. Kawasan Bantul, terkhusus Jalan Imogiri Timur merupakan salah satu area yang paling terdampak. Rumah-rumah roboh bahkan rata dengan tanah.
Dusun Blawong, Trimulyo, Jetis, Bantul merupakan salah satu kawasan di area tersebut. Rumah-rumah di dusun ini mayoritas rusak. Namun, di bulan-bulan awal pasca-gempa, kampung ini mendadak sepi dari laki-laki.
Pagi hingga sore hari, jasa para lelaki Blawong dibutuhkan oleh banyak warga Jogja yang tedampak gempa. Mei gempa terjadi, kondisi sepi lelaki di Blawong terasa pada Juli dan Agustus.
“Habis gempa kan sumur pada kering. Banyak tanah dan pasir yang naik permukaan. Bikin panggilan perbaikan sumur banyak banget datang,” kenang Khanafi Khusaini (38), seorang warga asli Blawong yang sehari-hari berprofesi sebagai ahli sumur.
Pada masa itu, ia sampai kewalahan mencari kru untuk melayani kebutuhan pelanggan. Biasanya untuk pekerjaan bor sumur, ia butuh 2-3 orang pegawai yang kebanyakan juga laki-laki ahli sumur asal Blawong. Momen itu buat Khanafi, jadi masa ketika kemampuan lelaki dari kampungnya begitu dibutuhkan oleh masyarakat Jogja.
“Padahal ya di kampung kami saat itu juga terasa sekali dampak gempanya,” terangnya.
Kawasan dusun ini letaknya tak jauh dari pinggiran Kali Opak. Aliran kali yang dikenal menjadi lokasi patahan. Hal itu membuat kawasan di sekitarnya rentan ketika terjadi gempa.Patahan ini dikenal dengan sebutan Sesar Opak.
Khanafi menceritakan hal itu di teras rumahnya yang letaknya di tengah permukiman kampung Blawong yang letaknya di sisi timur Jalan Imogiri Timur. Saat memasuki kampung ini, di gang terlihat beberapa laki-laki sedang membenahi peralatan bor sumur.
Sebagai kampung ahli sumur, di pinggiran jalan raya utama sebelum masuk ke perkampungan, plang-plang bertuliskan “Jasa Bor Sumur” juga banyak terpampang. Belum lagi, deretan bis beton yang banyak tergeletak di pinggiran jalan. Bis beton yaitu sebutan untuk sebuah material siap pakai yang berfungsi untuk pembangunan saluran air, gorong-gorong, sampai sumur.
Di garasi rumahnya, ia menunjukkan sejumlah peralatan yang biasa digunakan untuk proses pengeboran sumur. Mulai dari mesin diesel, tiang penyangga yang biasa disebut jagrak, mata bor, hingga tangki air.
Musim penghujan seperti saat saya berkunjung, panggilan untuk ahli sumur membuat sumur bor memang tidak sebanyak saat kemarau. Jasa ini memang banyak dibutuhkan saat situasi sedang kering. Air sumur terkadang surut sehingga butuh “disuntik” lebih dalam.
Saat kemarau, sepekan bisa ada dua sampai tiga panggilan. Bahkan terkadang lebih. Namun di musim penghujan seperti ini, panggilan tidak menentu.
Para ahli sumur di Blawong memang tidak hanya menawarkan jasa gali dan bor sumur saja. Mereka juga punya keterampilan sedot WC, mengatasi saluran mampet, servis pompa air, dan beberapa urusan perairan dan sanitasi rumahan lainnya.
“Kalau sekarang memang paling banyak panggilan untuk bor sumur dan sedot WC,” paparnya.
Biaya jasanya terbilang beragam. Biaya jasa bor sumur tergantung tingkat kedalaman dan juga kontur tanah di tempat pengerjaan. Daerah dengan kontur bebatuan biayanya lebih mahal ketimbang daerah yang minim bebatuan.
“Daerah Bantul dan Kota Yogya yang nggak ada bebatuan itu sekarang sekitar Rp250 ribu per meter sudah termasuk pipa empat inch. Kalau daerah pegunungan, Rp700-800 ribu per meter karena bebatuan dan biasanya airnya dalam,” terangnya.
Khanafi menurutkan kalau daerah sisi utara Ring Road Utara Jogja, sudah merupakan batuan, tapi belum begitu sulit prosesnya. Sehingga biasanya, biaya yang dipatok sekitar Rp300-400 ribu per meter.
Modal pengalaman jadi kunci utama para ahli sumur di Blawong untuk mendapatkan kepercayaan. Sebab di luar, nama kampung ini sudah tersohor dalam urusan gali menggali sumur.
Kemasyhuran Blawong sebagai pusat ahli sumur tidak hanya di DIY, warga sini banyak yang kerap mendapat panggilan untuk mengerjakan tugas di sejumlah daerah Jawa Tengah. Khanafi misalnya, pernah mendapat panggilan pengerjaan sumur di Solo, Salatiga, Temanggung, dan sejumlah kabupaten lainnya.
Saat ini, trennya memang sudah sumur bor yang lebih praktis dan efisien. Sumur galian masih dibangun untuk daerah-daerah tertentu saja. Misalnya daerah dengan listrik yang tidak stabil lantaran sumur bor perlu listrik untuk proses memompa air.
Cerita di balik keterampilan menggali sumur
Keterampilan menggali sumur memang telah diturunkan lintas generasi para lelaki di Blawong. Khanafi misalnya, sudah sejak SMP mengaku sudah diajak orang tuanya untuk belajar beragam hal tentang sumur.
“Dari mulai buyut saya itu sudah tukang gali sumur. Blawong sudah dikenal dengan hal itu sejak lama,” terangnya.
Khanafi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya merupakan seorang perempuan yang tidak diwarisi kemampuan menggali sumur. Sedangkan ia dan sang adik lelaki, sama-sama diajari ilmu turun temurun ini sejak remaja. Keterampilan yang akhirnya jadi sumber penghidupan utama mereka.
Proses pembelajarannya juga dilakukan secara non-formal. Ilmu yang dimiliki Khanafi banyak didapat dari sang ayah, Sukirzin (62). Pada lawatan ke Blawong kali ini, saya juga berkesempatan berbincang dengan Sukirzin.
Lelaki paruh baya ini mengaku sudah belajar menggali sumur sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Bapak dan kakeknya mengajari langsung. Awalnya, ia diberi tugas menimba tanah yang sedang digali oleh pekerja di bawah permukaan.
“Saya dulu awal-awal, mengangkat tanah sampai tangan ini lecet-lecet,” kenangnya sembari mengangkat dua telapak tangan.
Tidak ada teknik khusus saat menggali dan menentukan kedalaman air. Untuk daerah selain pegunungan, biasanya para warga bisa memperkirakan lewat keberadaan sumur-sumur lain di sekitar tempat yang digali.
Untuk pegunungan, dulu memang masih sulit untuk menentukan akurasi titik air di dalam tanah. Namun belakangan, warga sudah bisa memanfaatkan teknologi geolistrik untuk memperkirakan titik permukaan dan kedalaman sumber air.
Pada era 1960-1970, sumur gali masih menjadi andalan sejumlah warga. Sistem bor masih belum terlalu populer dan sebagian warga Blawong belum menguasai tekniknya. Selain itu, konstruksi sumur galian juga masih menggunakan batu bengkok. Belum menggunakan buis beton yang umum dijumpai saat ini.
Menggali sumur dengan teknik tradisional tentu memakan waktu yang lebih lama. Menyusun batu bengkok di dinding sumur, tidak semudah memasang buis beton. Kirzin punya pengalaman menggali sumur terlama dengan durasi pengerjaan sampai dua bulan.
“Paling lama dulu itu saat mengerjakan sumur milik maestro campur sari dari Gunungkidul yang namanya Manthous,” kenangnya.
Kontur bebatuan di Gunungkidul tentu menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi titik air di daerah itu yang perlu proses penggalian dalam. Hal itu membuat berjalan cukup panjang.
Penggunaan bis beton menurut Kirzin mulai masif di era 1990-an. Hal itu mempersingkat proses pengerjaan galian sumur. Untuk sumur dengan kedalaman sepuluh meter, prosesnya bisa hanya satu hari dengan buis beton.
Untuk model promosi, baik Kirzin maupun Khanafi mengaku mengandalkan jejaring relasi. Salah satu relasi pentingnya yakni pemborong atau developer perumahan. Saat ada proyek pembangunan, keterampilan para penggali sumur ini dibutuhkan.
Selain itu, banyak di antara generasi muda di Blawong yang memanfaatkan internet sebagai model promosi. Mereka membuat website-website sampai mengiklan di Facebook dan Google untuk mengenalkan jasanya.
Kendati sudah lama dan sempat merasakan proses-proses tradisional, Kirzin mengaku tidak tahu cerita detail awal mula warga kampungnya menggeluti profesi ini. Ia hanya tahu, kakek buyutnya sudah jadi penggali sumur. Itu artinya, profesi ini sudah melekat di Blawong jauh sebelum Indonesia merdeka.
“Wah, pokoknya sudah dari jaman simbah saya. Dianggap bisa untuk hidup jadi diteruskan turun temurun,” ujarnya.