Memahami “Bahasa Bayi” Swasembada Pangan yang Dibanggakan Presiden Prabowo selama Satu Tahun Menjabat di Saat Petani Makin Nelangsa

Swasembada Pangan di era Prabowo. MOJOK.CO

ilustrasi - definisi swasembada pangan di era Prabowo mengulang era Soeharto. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto boleh berbangga atas hasil pencapaian swasembada pangan selama satu tahun ini. Namun, tak boleh menutup mata bahwa belum ada lompatan inovasi dan terobosan teknologi yang menyejahterakan hidup petani.

***

Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengungkap Indonesia sudah tidak lagi mengimpor beras dan jagung selama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Hal itu menjadi perwujudan dari swasembada pangan yang tercantum dalam Asta Cita ke dua.

“Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau dan ekonomi biru,” dikutip dari laman resmi Tentara Nasional Indonesia, Selasa (21/10/2025).

Sudaryono menyebut pemerintah Republik Indonesia (RI) justru sudah bisa melakukan ekspor. Pun tidak lagi mengimpor gula dan garam. Dampaknya, kesejahteraan petani mulai meningkat jika dilihat dari nilai tukar petani (NTP) yang terus naik.

“Tahun ini (2025), nilai NTP di sektor pertanian insyaallah menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah, yakni mencapai 124. Belum pernah kami capai pada periode-periode sebelumnya,” kata Sudaryono lewat keterangan resmi, Senin (20/10/2025).

Masalahnya, kata Anggota Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Khudori, pemerintah tak pernah menjelaskan apa yang dimaksud dengan swasembada pangan sejak dilantik pada tahun 2024 lalu.

Khudori menegaskan target swasembada pangan oleh pemerintah harusnya lebih konkrit, sebab ada swasembada berbasis gizi seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Atau seperti di era Presiden Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menerjemahkan swasembada pangan sebagai swasembada komoditas.

Nyatanya, menurut Khudori, pemerintah Prabowo sedang mencontek dan memodifikasi upaya pencapaian swasembada pangan yang pernah dilakukan Presiden Soeharto selama masa orde baru. Salah satunya, berhasil mengimpor beras jadi swasembada beras pada 1984.

Apa itu swasembada pangan?

Jujur saja, Khudori masih menerka-nerka pengertian swasembada yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo dan kabinetnya. Bisa jadi, swasembada yang mereka pahami adalah, saat 90 persen kebutuhan dalam negeri bisa dipenuhi dari produksi domestik. Artinya, masih ada ruang impor sebesar 90 persen.

Atau sepenuhnya tidak ada impor (100 persen), tapi kebutuhan domestik harus dipenuhi dan diproduksi sendiri. Begitu juga dengan definisi pangan yang masih rancu.

Pengertian pangan secara harfiah tercantum dalam Undang-Undang Pangan Nomor 18/2012. Di mana, pangan dimaknai sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air.

Pangan bisa jadi produk yang bisa diolah maupun tidak dan diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.

“Nah, kalau swasembada pangan yang dimaksud Prabowo mengacu pada definisi UU Pangan di atas, mustahil Indonesia bisa meraih swasembada pangan,” ucap Khudori melalui keterangan tertulis, Senin (20/10/2025).

Khudori tak menampik bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alam dan plasma nutfah, sehingga memungkinkan untuk mencapai swasembada pangan. Masalahnya, Khudori pesimis jika Indonesia mampu memproduksi kebutuhan pangannya sendiri.

“Apalagi, kalau menggunakan definisi swasembada, manakala tidak ada impor alias 100 persen kebutuhan konsumsi dipenuhi dari produksi sendiri,” tegas Khudori.

Swasembada pangan berbasis komoditas

Menurut pengamatan Khudori, yang juga merupakan anggota komite ketahanan pangan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO), pemerintah RI tengah menargetkan swasembada berbasis komoditas. 

Sebab, pemerintah telah memfokuskan komoditas padi dan jagung di tahun-tahun awal. Sementara, komoditas lain digarap pada tahun-tahun berikutnya.

“Jadi, definisi swasembada menurut pemerintah RI saat ini adalah ketika 90 persen kebutuhan dalam negeri bisa dipenuhi dari produksi sendiri,” kata Khudori.

Komoditas beras misalnya, diperkirakan mengalami surplus cukup besar yakni lebih dari 3 juta ton. Jujur saja, angka itu terbesar sejak tahun 2019. Sementara, produksi jagung naik lumayan tinggi yakni 8 persen.

Khudori menjelaskan surplus tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Mulai dari peningkatan jumlah volume pupuk subsidi, peningkatan anggaran, cuaca yang bersahabat, hingga pengawalan intens dari Kementerian Pertanian. 

“Maka, ketika produksi menurun justru bakal menjadi pertanyaan besar,” ucapnya.

Belum ada inovasi teknologi yang mempermudah

Khudori harus mengakui capaian swasembada pangan tersebut, tapi ia mencatat bahwa pemerintah RI belum melakukan adopsi inovasi dan teknologi untuk melipatgandakan produksi dan produktivitas hingga sekarang. Kenaikan produksi, kata dia, masih bertumpu pada penambahan luas panen. 

Sementara untuk menambah luas panen itu tidak selalu mudah. Produktivitas padi misalnya, dalam beberapa tahun ini tak bergerak dari 5,2 hingga 5,3 ton/ha. Angka itu, menurut Khudori memang tinggi tapi masih kalah dengan Vietnam dan China.

“Selain itu, sistem budidaya pertanian Indonesia juga kian menjauhi kaidah keberlanjutan,” ucapnya.

Merujuk pada Survei Ekonomi Pertanian 2024 oleh BPS, sebesar 66,49 persen sistem budidaya pertanian di Indonesia masuk kategori tidak berkelanjutan. Lebih dari 75 persen lahan sawahnya kekurangan bahan organik secara intensif. 

“Dengan kandungan bahan organik di bawah 2 persen membuat lahan sawah kurang optimal dalam usaha tani. Seresah panen perlu dikembalikan ke sawah dan mengombinasikan pupuk kimia dengan pupuk organik,” kata Khudori.

Usaha tani hanya sambilan 

Tak hanya sampai di situ. Khudori yang juga pegiat komite pendayagunaan pertanian mencatat, jumlah petani gurem atau orang yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha bertambah bayak dalam 10 tahun terakhir. Berdasarkan hasil rata-rata dari Sensus Pertanian 2023, penguasaan sawah petani cuman 0,2 ha. 

“Bagi petani berlahan secuil ini, pendapatan dari non-usaha tani jauh lebih besar dan jauh lebih penting. Karena itu, usaha tani hanya sambilan,” kata Khudori.

Padahal, jika mau menyimak Asca Cita kembali dalam poin swasembada pangan, reforma agraria menjadi masalah penting untuk menyejahterakan petani. Namun, hal itu belum terwujud hingga sekarang.

“Reforma agraria selalu jadi janji politik yang menjanjikan tapi tidak benar-benar dieksekusi secara serius tatkala menjabat. Itulah sebabnya konflik agraria terus meruyak,” ucap Khudori. 

“Ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan makin menganga. Hanya dengan modal lahan yang cukup janji-janji petani akan sejahtera setidaknya bisa ditunggu.” Kata Khudori.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Alkisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version